Tiga Satu

1K 108 4
                                    

"Mas Aldo ---"

Meski belom terdengar jelas, tapi gue seneng banget biasa ngeliat adeknya Aldo udah siuman. Gue bisa ngebayangin gimana campur aduknya perasaan Aldo sekarang. Kalo aja waktu itu dia gak bawa adeknya ke klinik Om Zidan, dan gak ada satupun rumah sakit yang mau menerimanya lagi --- pasti dia gak akan bisa berkumpul dengan adeknya itu lagi.

"Selamat malem Aldi. Sekarang dokter akan memeriksa keadaanmu dulu ya.."

Gue agak suka dengan dokter yang baru aja masuk dengan suster pendampingnya itu. Oke, gue bisa bilang kalo dokter itu mungkin berumur tiga puluh tahunan. Dari postur badannya gak bisa dibilang kekar atletis juga. Tapi dari segi fisik, dia sangat ganteng. Putih, hidungnya mancung, bibirnya merah, suaranya berat, dan lagi sikapnya yang ramah dan hangat.

Tapi --- sekilas gue bisa ngeliat raut wajah Aldi yang berubah saat dokter itu lagi memeriksanya. Meski perubahannya itu cuma dua detik aja.

"Keadaan adikmu sudah jauh membaik." kata dokter itu. "Semua ini tak lepas dari usaha dan kerja keras kami para dokter dan suster di Sun Hospital."

Dan akhirnya, gue bisa nemuin kelemahan iblis berwajah pangeran itu. Bisa-bisanya dia mengatakan hal kebohongan seperti itu?!

"Aldo, kalau kamu mau malam ini juga kita bisa pindahkan adikmu ke ruang VIP."

Aldo ngelirik ke gue. Kayaknya dia gak mau langsung ngambil keputusan dan salah ngomong. Apalagi ada gue di depannya.

"Rumah sakit ini gak cuma bagus ya. Ternyata pelayanan para dokter dan susternya pun sangat baik sekali." dikira cuma mereka doang yang bisa bermain dengan kata-kata manis, hah?!

"Suster, nanti tolong pindahkan pasien ke ruang VIP. Selain itu, sediakan juga fasilitas tes kesehatan untuk kakak pasien."

"Baik, dokter."

Cih. Fasilitas tes kesehatan apa coba maksudnya?

Begitu dokter dan perawat itu keluar, Willy langsung ngebuka masker dan topinya. Gue yang nyuruh dia buat nyembunyiin identitasnya. Karena gue takut nantinya semua jadi berantakkan lagi.

"Di, kenalin --- teman mas."

Aldi natap ke gue. Dia gak langsung senyum seperti halnya yang dia lakuin ke Willy. Tapi dari sorot matanya, kayak ada yang ingin dia bilang ke gue. Entahlah. Mungkin cuma perasaan gue aja.

"Do, gue sama Willy balik dulu --"

"Maaf ya Fer, aku jadi ngerepotin kamu terus."

"Lo banyak istirahat. Gak usah mikirin yang macem-macem. Oke?"

"Hhaahh ---" Si Willy menghela nafas. "Besok, gue juga bakalan nginep disini.."

"Lahh, kan lo sendiri yang mau bodoh!" gue menanggapi.

"Nanti ---" dia dempet-dempet  "Lo temenin gue disini ya ---"

"Dihhh, males gila."





Jam sepuluhan malem, gue sama Willy baru sampai di rumah. Untung aja di jalan gue masih nemuin tukang jualan mie tek-tek. Kalo enggak, pasti gue bakalan gak bisa tidur gegara nahan laper.

"Makan dulu, Ferly --" Om Dwi nawarin. Tapi perut gue udah terlanjur penuh banget.

"Yuka udah dateng, om?"

"Belum. Tapi tadi ada Prabu sama rekannya." jawab Om Zidan.

"Aku ke rumah dulu ya, om."

"Mau gue temenin gak?" tanya Willy.

The EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang