Tiga Delapan

936 100 3
                                    

Gue lagi ngeliatin si Willy sama suami isteri brengsek itu dari kejauhan. Semoga aja dia bisa ngulur waktu sampai dua puluh menit ke depan. Gue yakin, ini bakal ngebuat kedua orang itu syok, dan terus menyesali segala perbuatan mereka sampai mati.

"Aku gak tahu kalo orang-orang itu ternyata anak buahmu."

Gue ngelirik ke Leon. Aneh aja dia yang biasanya ngomong ceplas ceplos kayak Willy, jadi berubah gitu.

"Hmmm, yang waktu nude party itu ---" Leon mepet gue. "Please, jangan kasih tau bokap sama nyokap ya.."

Gue menghela. "Lagian, lo udah punya Aldi tapi masih aja gatel nyari yang lain.."

"Aku kan gak tau kemana Aldi. Dia tiba-tiba ngilang gitu aja."

Gue noleh ke dia. "Gila ya. Berarti waktu itu gue ngisep kontol adek tiri gue dong?"

Leon garuk-garuk tengkuknya. "Sorry. Lagian mana tau juga kalo kamu itu anak dari bokap."

"Isepan gue enak gak?!"

"Banget! Aku aja sampai kepikiran terus dan  ---"

Gue jinjit dan gue jewer telinganya si Leon. "Kalo lo sampai berani lagi kayak gitu, bakal gue kebiri lo!"

"Jangan-lah..., hhehee.."

Gue kembali ngeliatin Willy. Ternyata tuh anak pinter juga sandiwaranya. Pakai acara tiduran di pangkuan si wanita tua, ditambah lagi sok-sok nangis terharu gitu.

"Aku belom bisa nerima Aldi, Fer."

"Maksudnya?"

"Dia terlalu baik buat cowok brengsek kayak aku."

Gue geser, si Leon ikutan geser juga. "Terus, lo udah punya sendiri?"

"Kamu --"

Gue noleh dengan mata terbelalak. "Heh anak ingusan! Lo ngaca diri sana!" refleks emosi gue meluap-luap. "Sorry aja, gue gak level sama anak sekolahan!"

"Tapi, waktu itu lo bilang kalo kamu mau jadi pacar aku?"

"Astaga, Leon!" gue menghentak. "Bisa gak sih, kita ngebicarain itu nanti?!"

"Maaf ---"

Sekarang waktunya. Gue kasih isyarat ke orang gue, buat nyuntikkin sesuatu ke Willy. Tujuannya adalah ngebuat si Willy kejang, dan hilang kesadaran untuk sementara waktu.

Jantung gue berdebar-debar nunggu reaksinya Willy atas obat itu. Gila, gue pikir tuh orang gak bakal bisa nyuntikkin obatnya ke Willy dengan diem-diem. Tapi ternyata ---

"Kak Willy kenapa tuh?!" Leon jadi panik. Pun begitu dengan gue. Tapi disini gue harus bersikap biasa. Gue tahu kalo obat itu cuma bereaksi sesaat. Dan Om Zidan pun telah memastikannya tadi.

"Kenapa anak ini, dok?!" wanita itu kini panik. Dia sudah mulai masuk perangkap gue.

Om Azka dateng. Dia langsung pura-pura memberi pertolongan pada Willy dengan menekan-nekan dadanya.

"Tidak ada detak jantung!"

"Selamatkan dia, dok!"

"Selamatkan dia...!"

"Suster...!!"

"Apa dia akan baik-baik aja?" Tanya Leon.

"Kita liat aja." Gue berpindah posisi sambil memberi isyarat pada Prabu agar mengosongkan lorong menuju ruang operasi.

Ting...!

Om Zidan keluar dari lift sambil menelepon. Dia sudah sempat melihat, namun berbalik memunggungi.

The EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang