Gue dapet kabar dari Leon, kalau ternyata dokter yang akan memimpin operasi bokap itu adalah Dokter Herlan. Keputusan ini diambil oleh sebagian besar dokter senior dan tentunya nyokapnya si Leon sendiri.
Gue jelas gak bisa nerima hasil keputusan ini. Gue gak mau sesuatu sampai terjadi dengan bokap gue nantinya.
Operasi itu adalah tindakan medis dengan tujuan menyelamatkan jiwa pasien. Bukan sebagai ajang pembuktian keahlian dan percobaan! Dan yang lebih mengesalkan lagi jika operasi tersebut gagal, siapa lagi nantinya dokter yang akan mereka jadikan kambing hitam?
"Tuan Ferly --" salah satu informan gue masuk ke dalam kamar Aldi.
"Jangan bilang kalo suami isterti itu berulah lagi, hah!?"
"Siapa dia, Fer?" tanya Leon.
"Benar, tuan. Sepertinya mereka mendapat tawaran sekaligus ancaman."
"Persetan!" emosi gue mendidih lagi. Dua pagi kalian bayangin coba, gua harus ngadepin masalah kayak gini!?
"Saat ini mereka ada di ruangan Dokter Susatyo."
"Dokter Zidan?"
"Sepertinya Dokter Zidan belum mengetahui kabar ini."
"Bangsat Keluarga Wiguna itu!" Tukas gue dengan darah mendidih. "Oke. Kalo mereka masih mau main-main sama gue!"
Ssrrkksss...!
Pintu kamar Aldi terbuka. Sesosok perawat cowok dengan sebagian wajah tertutup masker medis, masuk sambil membawa beberapa obat.
Gue sempet ngeliat perawat cowok itu dan informan gue saling bertukar tatapan. Semoga aja dia gak tahu kalo petugas kebersihan itu adalah informan gue.
"Permisi ---" kata perawat cowok itu undur diri.
Gue kasih isyarat ke informan gue buat keluar dan berjaga. Gue deketin Aldi dan meriksa obat-obat apa aja yang baru diberikan oleh perawat tadi.
"Sebaiknya, mulai pagi ini lo jangan minum obat apapun yang mereka berikan."
Aldo sontak bangun. "Apa mereka berniat meracuni adekku?"
Gue telepon salah seorang informan gue lainnya. Gue suruh dia buat dateng ke kamarnya Aldi sekarang juga.
Cuma selang sepuluh menitan, orang gue pun dateng.
"Periksa, obat apakah ini. Dan juga --- ambil sample darahnya Aldi. Inget, jangan sampai ada yang tahu!"
"Baik, Tuan Ferly."
Terakhir gue kasih liat foto Yuka ke informan gue yang gue tugaskan buat nyamar jadi petugas lab di rumah sakit ini.
"Apa lo pernah liat dia?" gue pun mengirim foto Yuka ke hapenya dia. Sambil nunggu darah Aldi diambil, hapenya dia berkedip dua kali. "Gimana?"
"Paviliun Permata lantai 4 nomer 5A, Tuan."
"Yuka ada disini!?" Aldo syok banget. Terlebih adeknya.
"Untuk sementara awasin terus orang itu. Dan lo ---" gue noleh ke Aldo. "Gue udah nempatin orang-orang gue di lantai ini. Jadi gue mohon, lo gak usah cemas apalagi nekat buat nemuin dia!"
"Adekku gimana, Fer?"
"Aldi aman. Gue yang jamin. Kita harus pura-pura gak tau kalo dia ada di rumah sakit ini juga. Paham!?"
Leon narik tangan gue. "Gue minta penjelasan!"
"Sorry, gue gak ada waktu!"
Dia masih nahan gue. "Kenapa orang-orang itu manggil lo dengan panggilan 'Tuan Ferly'..?!"
Gue deketin wajah gue ke wajahnya. "Dan kenapa lo sendiri gak pernah inget kalo umur gue itu delapan tahun lebih tua dari lo, hah?!"
Leon kayak syok gitu. Dia ngelepasin tangannya juga.
"Lima belas tahun gue udah hapus memori bokap di kepala gue. Tapi asal lo tau, gue gak akan ngebiarin mereka ngejadiin bokap sebagai kelinci percobaan!"
"Fer ---" Dia nahan tangan gue lagi.
"Apa lagi sih?!"
"Gue --- gak suka sama Aldi."
"Penting ya ngomongin hal kayak gitu, hah?!"
Gue langsung putusin buat ke kamarnya Willy. Di tengah jalan gue sempet ketemu sama isterinya bokap. Boro-boro gue negur, noleh aja gue enggak!
"Willy!" Gak pake pikir panjang gue buka kasar pintu kamarnya.
"Haloo, sayang...!" Dia malah cengengesan nyambut gue. Duduk di atas kasurnya sambil lagi disuapin makan sama Om Dwi.
"Om bawain kamu ---"
"Panggil Om Zidan sekarang juga!"
"Wah-wah, lo kenapa Fer?"
"Buruan, Wil!"
Willy pun nelepon bokapnya. Dan gak lama, bokapnya itupun dateng. Namun dari ekspresi wajahnya gue rasa dia udah tahu masalah apa yang sedang terjadi.
"Kamu baik-baik saja kan, Wil?" Om Zidan mengalihkan topik.
"Aku baik, pap. Tapi -- kenapa papa nyureng gitu?"
"Mereka dateng lagi kan, om?"
Om Zidan tersentak mendengarnya.
"Siapa yang dateng, pap?"
"Mereka berani macem-macem sama aku rupanya...!"
"Zidan, apa mungkin keluarga itu --" Wajah Om Dwi berubah cemas.
"Gak ada cara lain, om --" gue tatap lekat-lekat Willy.
"Cara ---?" Om Zidan natap gue.
"Kita kembalikan jantung itu kepada mereka."
∆∆∆∆∆∆
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eye
Teen FictionTidak ada yang spesial dariku. Namun beberapa orang menganggapku malah sebaliknya. Ketika mulutku sekali terbuka, akan kubuat mereka semua terdiam. Mereka tidak pernah tahu, kalau aku --- mempunyai banyak mata yang akan selalu mengawasi. #cerita gay...