Chapter (12) // HARUSKAH SEPERTI INI?

735 66 10
                                    

"Tidak ada yang peduli tentu saja, manusia tidak pernah sebaik itu untuk menolong tanpa diminta atau sekedar bertanya keadaan."

(Aileen Nathania)

J A N G A N L U P A V O T E,
K O M E N D A N S H A R E👍

Happy reading 🌻

Aileen masih duduk di tempatnya sambil memikirkan kejadian beberapa saat lalu. Mata hitam pekat milik gadis itu terfokus pada makanan yang terdampar di dekat kakinya. Ia mengerucutkan bibir karena makanan favorit yang dibeli dengan uang terakhinya harus terbuang sia-sia seperti itu. Ia masih belum menyangka kalau Azka tega melakukan itu dan meninggalkannya sendiri di sini, apalagi laki-laki itu pergi dalam keadaan marah karena hal sepele.

"Tadi gue ngikutin mereka, gue diabaikan. Terus waktu gue pergi, mereka baru sadar kalau gue ada. Sebenarnya mereka mau apa, sih? Kenapa gue yang disalahin? Bukannya bagus gue pergi? Jadi enggak ganggu mereka. Gue dari tadi di sini dan waktu Azka nelpon, gue langsung angkat. Lalu kenapa Azka marah dan bilang nyariin gue ke mana-mana? Sebenernya siapa yang salah di sini, sih?" batin Aileen.

Aileen menghela napas gusar, mengusir semua pikiran yang membuatnya kesal. Ia harus pulang, tidak peduli kalau ia harus jalan kaki untuk sampai ke rumah. Ia sudah terbiasa berjalan jauh, sehingga tidak masalah kalau ia melakukannya hari ini. Baru beberapa langkah ia berjalan, langit menumpahkan air matanya, mencoba menyentuh bumi. Aileen menangis saking kesalnya, jarak rumahnya cukup jauh dari sana. Bukan karena takut basah, tetapi karena ia takut ibunya khawatir ketika pulang dalam keadaan basah. Ibunya sering khawatir berlebihan dan Aileen tidak suka itu.

Beberapa orang menatap Aileen yang berjalan di bawah hujan dengan pandangan aneh, mereka beranggapan gadis itu tengah patah hati karena penampilannya yang sudah basah kuyup dan terlihat berantakan. Tidak ada yang peduli tentu saja, manusia tidak pernah sebaik itu untuk menolong tanpa diminta atau sekedar bertanya keadaan Aileen. Gadis itu berpikir, orang yang tidak pernah dicintai ayahnya, tidak akan mungkin dicintai lelaki lain. Takdir memang selalu kejam kepadanya.

Di sisi lain, Azka tengah menikmati teh hangat yang dibuatkan Thalita di rumah gadis itu. Tadinya ia akan langsung pulang saja karena ia yakin tidak akan kehujanan, tetapi karena Thalita yang minta Azka untuk diam dulu, akhirnya menurut juga. Azka mendengarkan cerita masa kecil Thalita dengan asyik sambil sesekali meneguk teh hangatnya. Ia hanya menanggapi beberapa kata saja.

Gadis ceria dengan lesung pipit itu telah mencuri hati Azka dari awal mereka bertemu. Paras dan sikap Thalita sangat anggun dan feminim yang khas, mengingatkan dirinya pada sosok ibu yang sudah lama meninggal. Ia menyukai gadis itu melakukan apa pun, khususnya ketika tersenyum dan tertawa bersamanya, momen-momen itu begitu akan Azka ingat sebagai momen paling penting di hidupnya.

"Kok aku terus sih yang cerita, masa kecil kamu gimana?" tanya Thalita sambil menatap Azka.

Azka gelagapan. "Aku ... mmm dari kecil itu enggak punya teman. Teman sekaligus sahabat pertamaku itu adalah Ail--" Azka berhenti berucap membuat Thalita menaikan kedua alisnya heran.

"Aileen, ya?" tanya Thalita yang dibalas anggukan cepat oleh Azka.

"Aku harus pulang karena ini udah hampir sore. Besok aku jemput, boleh?"

"Kalau enggak ngerepotin aku mau, kok. Beneran mau pergi sekarang? Ini hujannya masih deras, loh," ucap Thalita.

"Oke, aku jemput kamu besok. Aku kan bawa mobil, kalau pun deras juga enggak apa-apa," balas Azka sambil berdiri.

"Ya udah, bawa mobilnya hati-hati, langsung pulang aja. Kalau mau mandi, kamu pakai air anget. Jangan lupa juga kabarin aku kalau sudah sampai rumah!" pesan Thalita.

Azka mengacak rambut Thalita membuat gadis itu tersipu malu. "Iya, nanti aku lakuin semua yang kamu minta. Cie yang mau dikabarin," ucap Azka.

"Ih, ya udah kalau enggak mau, aku enggak maksa, kok."

"Hehe. Aku bercanda, Sayang."

"Hah?"

"Eh, maksudnya ... aku pulang, dah. Assalamualaikum." Azka berlari, meninggalkan Thalita yang mukanya memerah seperti kepiting rebus.

"Walaikumussalam. Azka apaan, sih," ucap Thalita memegang kedua pipinya yang terasa panas.

Azka berjalan menuju mobilnya sambil merutuki mulutnya yang dengan lancang berbicara. Telinganya sampai memerah karena malu, tetapi ada sesuatu yang membuncah di hatinya. Ia tersenyum memikirkan kejadian tadi dan sangat senang melihat wajah merona Thalita.

*****

Aileen berdiri di lantai dua sambil menatap nanar pasangan yang baru saja tiba di parkiran. Ia sudah menduga kalau Azka tidak akan menjemputnya, bahkan laki-laki itu tidak menelepon untuk meminta maaf padanya. Semalam ia mengalami flu, tetapi tetap bergadang menunggu Azka menelepon. Setidaknya kalau pun tidak minta maaf, laki-laki itu harus menanyakan kabarnya.

Tadinya Aileen akan meminta maaf duluan, meskipun ia tidak tahu di mana letak kesalahannya. Ia juga mengira Azka tidak minta maaf karena dalam prinsip persahabatan mereka tidak ada kata maaf dan terima kasih. Aileen yakin Azka tidak minta maaf karena prinsip itu. Namun, saat Aileen akan menyapa Azka, laki-laki itu mengabaikannya. Aileen tetap berpikiran positif dengan itu, mungkin saja Azka tidak melihatnya berdiri di sana.

Aileen menatap heran ke arah bangkunya yang diduduki Thalita. "Eh, hai Aileen. Maaf aku duduk di bangku kamu selama seminggu ini. Aku pindah, deh," ucap Thalita.

"Enggak apa-apa, sekarang ...."

"Enggak usah pindah! Kamu kan udah di sini duluan, biarin aja dia cari tempat lain," sela Azka dengan nada ketus.

Aileen merasa hatinya sakit. Azka benar-benar marah padanya, tetapi ini sudah keterlaluan. Ia sudah ingin meledak sekarang juga dan menggebrak meja membuat beberapa orang kaget dan menatap Aileen.

"Masalah lo apa, sih? Lo marah sama gue karena hal sepele kemarin?" geram Aileen dengan bahu naik turun, karena amarah menguasainya.

Azka ikut berdiri dan menggebrak meja. "Iya, kenapa? Lo marah juga sama gue? Gue enggak peduli. Satu lagi, kemarin itu bukan hal sepele! Lo harusnya udah sadar diri kemarin. Lo ngerepotin pantes aja papa lo benci sama lo. Lo itu enggak tau diri! Harusnya kalau lo salah, lo harus minta maaf! Untung aja gue mau temenan sama lo," bentak Azka.

Aileen menatap Azka dengan pandangan kaget. Dengan berkaca-kaca Aileen berkata, "Memangnya kalau dia benci sama gue kenapa? Penting banget lo bilang gitu? Kalau lo enggak mau temenan sama gue juga enggak apa-apa, gue enggak ada masalah. Gue cuma enggak nyangka lo berubah cuma karena dia!" Aileen menunjuk Thalita.

"Kalau gue ...."

"Ka, udah jangan dilanjutin," bisik Thalita di sebelah Azka, gadis itu tidak bisa membiarkan pertengkaran itu terjadi.

"Gue bodoh karena menjatuhkan hati di orang yang enggak punya hati kayak lo, Ka." Aileen membatin dan meninggalkan kelas dengan air matanya.

Azka merasa jahat karena membuat Aileen menangis, ia tidak pernah melihat gadis itu menangis kecuali saat Aileen mengkhawatirkannya saat terluka. Ia ingin menahan Aileen pergi, tetapi ego dalam dirinya lebih tinggi, membuatnya tidak melakukan itu. Ia bahkan memarahi dirinya yang telah lancang mengungkit tentang ayah Aileen, padahal ia tahu kalau itu adalah hal yang selama ini tidak mereka bahas karena Aileen benci itu.

"Apa maaf masih berlaku, jika kesalahannya terlalu besar seperti ini?"

To be continued ....

Stuck Friendzone (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang