Chapter (32) // TIDAK SELAMAT?

668 46 0
                                    

"Setidaknya aku sudah berjuang untukmu, walau aku harus menyiksa hidupku terlebih dahulu."

(Stuck Friendzone)

J A N G A N   L U P A   V O T E, 
K O M E N   D A N   S H A R E👍

Happy reading 🌻

Ira berteriak histeris dan langsung menghampiri Aileen dengan tangis yang membingkai wajahnya. Ia mengangkat kepala anak gadisnya yang terbaring lemah di lantai. "Apa yang kamu lakukan, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Bunuh diri itu dosa!" ucapnya sambil menangis tersedu.

Ia melihat pergelangan tangan Aileen yang tengah memegang sebuah surat itu mengeluarkan banyak darah. Ia benar-benar tidak habis pikir kenapa putrinya melakukan hal seperti ini. Dengan hati-hati, ibu tunggal itu membalut pergelangan tangan Aileen, kemudian membopong tubuh lemah anaknya itu.

Aileen menatap sedih ke arah Ira. Ia sama sekali tidak bisa berkata apa pun. Satu hal yang ia harapkan hanya surat di tangannya itu dibaca ibunya. Kini tubuhnya seakan tidak punya daya untuk bergerak, bahkan sekadar untuk berkedip saja tidak bisa. Rasanya terlalu sakit untuk dirasakan dan sedetik kemudian, ia mulai menyerah dan tidak merasakan apa pun.

Ira makin panik ketika melihat Aileen menutup mata. Ia begitu ketakutan, apalagi mereka belum sampai rumah sakit. Sesekali ibu paruh baya itu mengusap air mata yang tidak berhenti turun untuk memperjelas pandangannya. Ia bertekad sampai di rumah sakit secepat mungkin.

Tubuh Ira gemetar saat sampai di rumah sakit. Ia langsung berteriak membuat beberapa perawat datang ke arahnya. "Tolong anak saya! Tolong selamatkan dia!" teriaknya sambil terisak.

Wanita paruh baya itu sedikit bersyukur karena perawat di sana sangat gesit untuk membantu Aileen. Ia hanya berharap putri semata wayangnya selamat dan tidak apa-apa. Ia mengikuti para perawat dengan langkah tergesa dan berhenti di depan ruangan bertuliskan UGD.

Beberapa menit yang terasa menyiksa bagi Ira. Wanita paruh baya itu tidak menyangka anak gadisnya akan melakukan itu, terlebih tadi lagi Aileen kemarin terlihat begitu ceria. Ia tidak pernah memaksa Aileen bercerita tentang kejadian kecelakaan itu dan ia juga tidak memaksa anaknya melakukan sesuatu.

Dokter keluar dari ruang UGD membuat Ira segera berdiri dan menghampiri. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok? Dia tidak apa-apa, kan? Dia sudah stabil, kan?" Tidak ada jawaban dari sang dokter membuat Ira menggoncangkan bahu dokter itu.

"Ibu, mohon tenang!" Seorang suster datang melepaskan tangan Ira dari bahu Dokter Abi.

Ira kembali mengusap air mata dengan kasar. "Bagaimana saya bisa tenang, kalau tidak tahu keadaan putri saya?" tanyanya, membuat Dokter Abi melihat iba.

"Anak ibu ...." Dokter Abi menggantungkan kalimatnya.

"Jawab saya, Dok! Atau, saya periksa sendiri ke dalam!" ancam Ira.

"Maafkan kami, Bu. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa anak Anda. Namun, Tuhan tampaknya sudah sangat rindu padanya. Dia sudah meninggal," ucap Dokter Abi dengan suara lembut.

Namun, suara lembut itu bagai sambaran petir di siang hari. Tulang-tulang kakinya seperti lunak dan tidak bisa menahan badannya lagi. Ira terduduk sambil menangis pilu. "Katakan jika itu bohong, Dok," lirihnya.

Seorang suster membantu Ira berdiri. "Sebelum kami menangani anak Anda, kami menemukan sepucuk surat di tangannya." Ia menyerahkan surat itu pada Ira.

"Anda bisa melihat jenazahnya sekarang. Setelah itu, ada hal yang harus saya diskusikan dengan Anda tentang Aileen." Dokter Abi berbicara.

Tanpa membuang waktu lagi, Ira menerobos masuk ke dalam ruang UGD dan menuju ke arah putrinya yang terbaring lemah di ranjang. Ia sama sekali tidak menyangka putri semata wayangnya harus berakhir dengan cara mengenaskan.

Beberapa suster yang masih di sana ikut menangis ketika melihat Ira berbicara pada jasad anaknya yang tidak bernyawa. Mereka tahu pasti sangat berat untuk kehilangan seseorang, apalagi dengan cara yang tidak diinginkan.

*****

"Apa benar itu yang menjadi keputusan Anda?" tanya Dokter Abi, memastikan lagi.

"Anak saya yang minta itu dan sepertinya inilah alasan dia melakukan bunuh diri." Wanita paruh baya itu tersenyum dengan air mata yang kembali mengalir.

"Kalau begitu silakan tanda tangani berkas ini. Kami harap ini bukan paksaan dan berasal dari hati. Kami tidak ingin Anda menyesal."

Ira memegang pulpen dengan tatapan terluka. Ia melakukan ini setelah membaca surat Aileen yang menceritakan kejadian kecelakaan dan permintaan Aileen. "Saya akan lebih menyesal jika tidak melakukan ini. Sungguh saya sudah jadi ibu yang tidak berguna." Ira mengusap air matanya dan segera membubuhkan tanda tangan, kemudian menyerahkannya pada Dokter Abi.

"Anda salah, Bu. Aileen bilang Anda adalah wanita hebat yang selalu menjadi panutannya. Dia bilang jika hanya Anda yang benar-benar tulus mencintainya dan tidak pernah meninggalkan dirinya. Saya sampai salut mendengarkan cerita tentang perjuangan Anda membesarkan gadis hebat seperti Aileen," ucapnya, "karena Anda setuju, kami akan segera melakukan operasi."

"Perlakukan Aileen dengan baik di ruang operasi, Dok."

Dokter Abi hanya mengangguk dan memanggil salah satu suster lewat interkom di sebelahnya. "Segera siapkan ruang operasi dan beritahu Pak Mahendra untuk segera ke ruangan saya."

Dokter Abi menatap Ira dengan senyumnya. "Kami dari pihak rumah sakit sangat-sangat berterima kasih atas jasa yang diberikan Aileen dan terima kasih untuk Anda karena mengizinkan semua ini terjadi."

"Tidak perlu berterima kasih. Ini kemauan anak saya. Saya tidak berhak mendapatkan terima kasih itu. Tolong sampaikan juga isi surat ini pada ayahnya Azka. Saya ingin menemui anak saya lagi." Dokter Abi hanya mengangguk dan menatap kepergiann Ira.

"Tangguh sekali Ibunya Aileen," gumamnya.

****

Setelah kejadian meninggalnya Aileen, Ira kembali ke rumah sakit. Ia akan menemui Azka dan menyampaikan sesuatu pada laki-laki yang menjadi sahabat Aileen, sekaligus dianggap sebagai anaknya. Ia sudah ikhlas melepas kepergian putrinya, meski sesekali ada rasa sesal karenanya.

"Nak, ibu ke sini hanya ingin menyampaikan maaf dari Aileen dan memberikan ini. Semoga kamu baca sampai selesai." Ira menyerahkan sebuah buku bersampul cokelat pada Azka.

"Aileen ke mana, Bu? Dia tidak pernah menjenguk Azka ke sini. Apa dia sedang sakit atau marah pada Azka?" tanya Azka, membuat Ira menahan napas untuk beberapa detik.

Ira tersenyum sambil melihat manik mata yang mengingatkan pada putri semata wayangnya. "Aileen pasti tengah berbahagia jika tahu kamu sudah sembuh. Aileen tidak bisa menjenguk. Jadi, kalau kamu udah sembuh, kamu yang datang ke sana."

"Azka udah sembuh, kok. Sekarang Azka bisa sahabatan lagi sama Aileen. Iya, kan, Tha?" tanya Azka, menoleh pada Thalita yang ada di sebelahnya.

"Tentu. Aku juga mau minta maaf sama dia. Nanti kita bareng-bareng nemuin Aileen, ya?" balas Thalita, sumringah. Azka mengangguk cepat, ketika mendengar ucapan Thalita.

"Ibu harus pulang dulu," ucap Ira cepat dan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan sepasang kekasih yang dilanda kebingungan karena sikap wanita paruh baya itu. Tepat ketika pintu ruangan Azka ditutup dari luar, tangisnya pecah.

To be continued ....

Stuck Friendzone (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang