Chapter (34) // DIARI AILEEN

702 44 10
                                    

"Rasa bersalah membuatku takut untuk menemuinya. Hari demi hari harus kuhabiskan dengan pemikiran bercabang yng hanya tertuju padanya. Ragaku hidup, tetapi jiwaku seakan mati.

(Aileen Nathania)

J A N G A N   L U P A   V O T E,
K O M E N   D A N   S H A R E👍

Happy reading 🌻


Suasana di ruang inap Azka tampak begitu mencekam. Tiga manusia yang terdiri dari dua laki-laki dan satu wanita itu tampak terdiam dengan ekspresi yang berbeda. Beberapa menit mereka terdiam, selanjutnya tergantikan suara bentakan dari salah satu laki-laki yang berdiri di dekat nakas.

"Kalian memang manusia hina!" Suara laki-laki itu terdengar marah dan mengintimidasi, membuat dua orang di depannya meremang. "Kalian orang paling jahat yang pernah gue temui!"

Azka mengernyit heran, lalu berdeham. "Maksud lo apa?" tanyanya.

"Maksud gue? Gue cuma mau ingetin kalian! Gue yang nabrak lo karena dia!" Laki-laki berjaket hitam itu menunjuk Azka, kemudian menunjuk Thalita.

"Aldo, maksud kamu apa?" Thalita berkata dengan nada heran sekaligus kesal.

"Gue tadinya mau nabrak lo, tapi si brengsek ini datang tiba-tiba," ucap Aldo, membuat Thalita dan Azka membulatkan mata.

Azka marah mendengarnya. "Apa maksud lo? Lo mau bunuh pacar gue?"

"Itu rencana awal gue. Sayang semuanya gagal gara-gara lo!" Aldo menunjuk Azka dengan mata melotot.

"Jadi, bukan Aileen yang nabrak Azka?" tanya Thalita sambil menatap Aldo.

Mendengar hal tersebut membuat pandangan dua laki-laki itu mengarah pada Thalita. Azka menatap heran dengan penasaran, sedangkan Aldo menatap dengan pandangan mencemooh. Semuanya kembali hening dan itu membuat suasana canggung bagi mereka bertiga.

Aldo tertawa, kemudian menatap Azka dan Thalita secara bergantian. "Kalian tanya gue? Kalian harusnya lebih tau! Selama dua minggu lebih gue mendekam di penjara gara-gara nabrak lo. Gue bebas karena cewek yang kalian sakiti! Kalian munafik! Kalian memang benar-benar manusia hina!" Mata laki-laki itu tampak berkaca-kaca.

Azka dan Thalita saling menatap. Mereka masih bingung dengan apa yang dibicarakan Aldo. Mereka merasa ucapan Aldo tidak masuk akal.

"Wanita yang kami sakiti? Siapa?" Azka kembali bertanya.

"Aileen Nathania. Lo enggak kenal sama dia? Cewek yang selalu kalian sakiti, khususnya sama lo. Gue benci sama lo! Gue ingin bunuh lo sekarang juga," ucap Aldo. "kalau tidak ada pesan dari Aileen. Gue akan lakuin itu!" Suaranya tampak serak dan terlihatlah satu tetes air mata turun ke pipi laki-laki itu.

"Kita enggak pernah menyakiti dia! Gue enggak pernah ngelakuin itu," ucap Azka, membela diri.

"Lo lupa sama kesalahan lo? Lo lupa kalau Aileen sahabat lo? Lo lupa kalau dia enggak punya sahabat selain lo? Lo lupa kalau dia selalu bergantung sama lo? Lo lupa kalau lo selalu jadiin dia pelampiasan saat cewek munafik lo itu marah? Lo lupa siapa yang dukung lo jadian? Lo lupa juga kalau dia selalu ada buat lo, tapi lo enggak ada buat dia? Dia selalu berjuang buat lo bahagia, meski dia harus terluka! Dia yang tersakiti akibat lo egois dan mentingin cinta lo doang. Lo egois enggak ngehargain pemberian dia, padahal dia harus rela satu bulan tanpa uang jajan. Apa lo enggak sadar kalau dia kesepian dan bersedih? Ah, bahkan gue yakin lo enggak pernah mau tahu keadaan Aileen saat ini." Aldo berucap dengan nada marah yang membuat Azka terdiam memikirkan semuanya, sedangkan Thalita menangis.

Ada jeda cukup lama sebelum Azka mulai berkata, "Gue cuma jaga perasaan cewek gue. Gue juga cuma diemin dia, bukan nyakitin dia. Masalah pemberian dia, gue udah ada barang yang sama. Lagian Aileen enggak marah sama itu semua, kenapa lo yang marah? Atau, jangan-jangan lo suka sama dia? Apa alasan lo mau nabrak Thalita?"

"Apa harus lo kembaliin barang itu jika lo punya barang yang sama? Apa harus lo jaga perasaan cewek lo dengan nyakitin perasaan cewek lainnya? Apa lo enggak sadar kalau selama ini Aileen menahan diri karena rasa sayangnya sama lo terlalu besar? Alasan dibalik tabrakan itu karena gue benci sama cewek lo," balasnya, "bahkan lo belum baca buku ini. Lo memang enggak pernah hargain perjuangan orang." Aldo melempar buku bersampul coklat di atas nakas ke arah Azka.

"Gue enggak pernah mau liat kalian bahagia, tapi sekali lagi Aileen ada di balik semua ini. Gue muak dengan kalian! Gue selalu berharap kalian menyesal sampai kalian mati." Aldo menendang kursi yang ada di dekatnya hingga kursi itu terbalik. Setelah itu, ia berlalu meninggalkan Azka yang tengah memeluk Thalita.

"Ka, aku minta maaf sama kamu. Mungkin ini salah aku yang selalu larang kamu dekat sama Aileen. Aku telah merampas satu-satunya orang yang dia miliki sebagai sahabatnya. Aku menyesal," ucap Thalita sambil terisak.

"Jangan nangis! Ini bukan salah kamu. Kalau besok aku udah bisa pulang, kita ke rumah Aileen buat jelasin semuanya. Lebih baik sekarang kamu pulang, ini udah sore. Nanti jangan lupa makan dan jangan lupa telpon aku kalau sudah sampai rumah," ucap Azka sambil menangkup pipi Thalita dan menyeka air mata gadis itu.

Thalita hanya mengangguk. "Besok aku ke sini lagi," gumamnya.

"Terima kasih," ucap Azka.

"Sama-sama. Aku pamit dulu. Assalamualaikum." Thalita berdiri dan langsung meninggalkan Azka sendiri.

Azka menatap kepergian Thalita yang tampak masih menangis. "Waalaikumussalam," balasnya.

Dalam hati kecilnya, Azka merasa bersalah juga karena kata-kata Aldo tadi. Ia memungut buku yang tadi dilempar Aldo. Ia memeriksa dengan teliti depan buku ini. "Apa ini semacam diari?" Azka bermonolog.

Azka membuka lembar pertama buku ini dan tahu bahwa pemilik diari ini adalah Aileen. Ia berniat menutup buku diari ini karena merasa tidak sopan membaca diari orang lain. Namun, niatnya urung saat mengingat bahwa diari ini diberikan oleh ibu sang pemiliknya. Azka menjalankan kursi rodanya menuju ke arah sofa. Ia mencari tempat ternyaman untuk membaca.

Azka membaca halaman pertama dari buku diari itu. "Rasa bersalah membuatku takut untuk menemuinya. Hari demi hari harus kuhabiskan dengan pemikiran bercabang yng hanya tertuju padanya. Ragaku hidup, tetapi jiwaku seakan mati. Aku tidak sanggup melanjutkan hidup saat kenyataan bahwa Azka mengalami kebutaan pada matanya karena aku."

Azka terdiam, mencerna kalimat-kalimat yang tertulis di kertas itu. Ia mulai tertarik dengan buku diari ini karena sepertinya buku ini memuat namanya. Ia kembali melanjutkan bacaannya. "Aku sudah putuskan semuanya hari ini juga. Tiga hari lagi, aku akan melakukan rencana yang kubuat. Rasanya perih harus meninggalkan bunda sendirian di dunia ini, tapi aku juga merasa begitu tertekan saat orang yang aku cinta terluka karena aku. Aku memang orang jahat karena telah menyakitimu tanpa sadar."

Azka kembali membuka lembaran selanjutnya. "Bunda, Aileen pamit kepada bunda. Aileen enggak maksud benar-benar meninggalkan bunda, tapi rasa bersalahku makin hari makin besar, Bun. Untuk kesekian kalinya aku minta maaf karena memilih mengakhiri hidup ...." Ucapan Azka terhenti ketika melihat kalimat selanjutnya yang ia baca.

Azka melotot, napasnya tidak teratur, dan hatinya kembali membaca was-was. Ia membaca lagi dan setelah itu, rasa tidak enaknya berubah. Ia menggerakan kursi roda ke arah nakas dan membawa ponsel miliknya. Ia menghubungi Mama Aileen untuk memastikan sesuatu.

"Halo, Assalamualaikum, Ma. Di mana Aileen?"

"Walaikumsalam, Ka. Aileen ...."

"Meninggal?" tanya Azka dengan perasaan was-was.

Hanya terdengar tangisan di seberang telepon. Hal tersebut membuat air mata Azka menetes tanpa diminta. Pegangan tangan pada ponselnya melemah hingga membuat ponsel itu jatuh. "Ini tidak mungkin!" teriak Azka.

To be continued ....

Stuck Friendzone (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang