Chapter (28) // RENCANA

702 51 4
                                    

"Kata orang, laut itu ujung dunia dan tidak memiliki tuan, selain Tuhan tentunya. Jadi, lo bebas meneriaki dia sekencang lo bisa."

(Aldo Cakra Mahesa)

J A N G A N   L U P A   V O T E, 
K O M E N   D A N   S H A R E👍

Happy reading 🌻

Keadaan kafe terbilang cukup ramai. Semua meja di sana tampak sudah ada yang menempati. Hanya satu meja yang belum ditempati, letaknya cukup jauh dari pintu masuk dan berada di pojok. Tampaknya orang lain tidak akan menyadari meja itu ketika mereka masuk tadi, sama seperti Aileen dan Aldo. Mereka sudah akan berbalik badan kalau tidak ada yang menginterupsinya untuk duduk di sana.

Hari ini adalah hari minggu. Keadaan Aileen yang sudah membaik, membuat Aldo mengajaknya untuk menghirup udara segar. Mereka juga sudah berencana akan mendiskusikan perihal balas dendam mereka.

Mereka duduk saling berhadapan satu sama lain. Aldo langsung membuka buku menu yang tersedia di meja. "Len, lo mau pesen apa?" tanyanya.

"Al, kita pindah kafe aja, yuk!" ucap Aileen, "duit gue bisa habis buat makan di sini."

Aldo menatap Aileen sambil tersenyum. "Kali ini gue yang traktir. Lo pesen aja yang lo mau. Kalau mau pesen buat dibawa pulang juga boleh."

"Ih, jangan sok kaya, deh. Kamu itu ... eh, maksud gue lo itu masih pelajar. Enggak baik kalau hamburin uang cuma buat makan, apalagi traktir orang." Aileen tampak salah tingkah karena ditatap terus oleh Aldo.

Aldo mengacak gemas puncak kepala Aileen, membuat gadis itu menatapnya tajam. "Gue punya usaha sendiri, Len. Semenjak bokap gue meninggal, nyokap gue terpuruk. Gue juga udah cerita ke lo, kan? Waktu gue pindah ke sini adalah karena nenek, itu karena nenek tidak punya anak lagi selain bokap gue. Nyokap gue ikut karena dia juga enggak punya keluarga. Waktu bokap gue meninggal, semua orang kayak ninggalin gue, Len. Gue enggak punya keluarga lagi yang bisa diajak berbagi. Nyokap gue hidup, tapi enggak bisa menanggapi semua yang gue omongin. Itu semua karena Thalita. Makanya, gue benci banget sama dia. Kalau bukan karena dia, gue enggak akan ke Bandung, bokap gue enggak akan meninggal, dan nyokap gue enggak bakal kritis." Aldo berbicara dengan nada santai, membuat Aileen termenung.

Aileen menatap sekelilingnya, ia takut ada orang yang menguping pembicaraan mereka. Namun, tidak ada satu pun dari orang-orang di sana yang menatap mereka. Mereka jadi leluasa bercerita, terlebih mereka berada di pojok kafe ini.

"Maaf gue enggak maksud buat lo nginget-nginget itu."

"Santai aja. Iya, gue kerja."

"Kerja apa?" tanya Aileen, menaikkan sebelah alisnya.

Aldo tersenyum miring dan menjawab, "Bos."

"Bos apa?"

"Gue punya banyak toko sembako dan beberapa kos di sini. Sebenarnya itu warisan nenek gue buat bokap, tapi karena bokap gue udah enggak ada dan nyokap gue sakit, semuanya jadi milik gue. Tiap bulan gue nanggih uang kos dan dua minggu sekali gue cek toko, kadang juga kalau lagi luang gue ke sana."

Aileen menatap Aldo takjub. "Gue pikir lo enggak kayak gitu. Hebat, ya."

"Lo mau muji gue terus? Gue udah laper, belom makan sama sekali," ucap Aldo, tersenyum kecil.

"Kenapa kita enggak makan di rumah aja? Lebih privasi, sehat, dan bebas."

Aldo memutar bola matanya. "Kalau enggak pesen sekarang, gue enggak akan bantuin lo."

Ancaman itu membuat Aileen segera mengambil buku menu, menunjuk salah satu makanan dengan asal dan ia juga memilih minuman dengan asal. Ia melipat tangan di depan dada, memperhatikan Aldo yang memanggil pelayan dan memesan makanan. Setelah itu, keadaan hening tercipta di antara keduanya. Aileen pikir Aldo akan memulai pembicaraan karena tadi laki-laki itu mengancam.

Aileen mulai kesal. "Lo enggak niat ngomong?" tanyanya, membuat Aldo menggeleng dan hal tersebut makin membuat kesal Aileen.

"Gue ke sini itu karena mau makan, bukan mau ngobrol." Aldo berucap santai.

"Tapi ... tadi ...."

"Gue enggak bilang mau omongin itu di sini. Lebih baik makan dulu. Kalau lo enggak habisin makanan lo, gue enggak akan bantu lo."

Tepat setelah itu, pesanan tadi diantarkan oleh pelayan. Aileen makan dalam diam, ingin cepat menyelesaikannya. Di sisi lain, Aldo tampak tersenyum miring karena senang melihat ekspresi kesal Aileen.

Setelah makan, Aileen langsung keluar kafe, sedangkan Aldo menuju ke kasir untuk membayar makanan. Ia juga memesan lagi makanan untuk dibawa pulang ke rumah Aileen. Laki-laki berjaket hitam itu berjalan dengan langkah lebar ke parkiran dan menemukan sosok Aileen yang menatap tajam.

Aldo merogoh saku untuk mengambil kunci mobilnya. "Gue emang ganteng, tapi liatin guenya jangan sampai gitu. Mata lo bisa keluar dari tempatnya," ucapnya, "ayo, masuk!" Aldo masuk ke mobilnya.

Aileen tidak menolak sama sekali untuk masuk ke dalam mobil. Sepanjang jalan menjadi sangat hening untuk keduanya. Mobil terhenti sekitar satu jam dari kafe. Aileen menatap heran Aldo, kemudian pandangannya beralih ke luar mobil yang menyuguhkan pemandangan sangat indah.

"Lo ngapain ngajak gue ke sini?"

"Gue tau lo lagi memendam kekesalan. Lo bisa lampiaskan semua itu dengan berteriak di hadapan laut. Kata orang, laut itu ujung dunia dan tidak memiliki tuan, selain Tuhan tentunya. Jadi, lo bebas meneriaki dia sekencang lo bisa. Setelah lo tenang dan pikirin matang-matang, kita bisa mulai berpikir untuk rencana. Kalau lo enggak berubah pikiran," ucap Aldo sambil tersenyum.

Beberapa detik Aileen merasa terpesona dengan senyuman menawan milik Aldo. Namun, gadis itu segera menggelengkan kepala, kemudian keluar dari mobil. Hal pertama yang dirasakan gadis itu adalah kelembutan pasir yang menyapa kakinya yang bersandal biru. Ia tersenyum kecut. Ia berlari ke tepian air, merasakan ombak yang mengenai kakinya.

Ia tidak pernah melihat pantai secara langsung. Ini adalah pengalaman pertamanya karena sebelumnya saat ingin liburan ke sini selalu saja ditolak Azka. Laki-laki itu trauma ketika melihat air banyak. Jika saat hujan kulitnya ruam, ketika mengenai air laut, Azka bisa muntah dan pingsan. Itu katanya, Aileen tidak tahu pasti semuanya.

Tidak terasa air matanya meleleh. Entah karena sedih, entah karena terharu. Hanya satu yang ingin Aileen lakukan, yaitu menangis. Ia berteriak meneriakan nama Azka sebagai laki-laki pujaannya dan meneriakan Talitha sebagai perempuan yang ia benci.

Aldo hanya duduk di atas pasir sambil memperhatikan Aileen yang tengah melampiaskan amarah. Ia sebenarnya tidak sengaja untuk pergi ke sini, tetapi raut wajah kesal Aileen membuat Aldo melajukan mobilnya ke sini.

"Udah tenang? Udah plong? Gimana rasanya," tanya Aldo, "kita jadi bikin rencana, enggak?"

Aileen terdiam, kemudian berkata, "Apa lo bakal celakain Thalita atau Azka?" tanyanya, menaikan sebelas alinya.

"Gue enggak mau nyelakain orang lain. Gue cuma mau Thalita dan Azka sadar dan minta maaf." Aldo menatap laut.

"Kalau gitu, gue akan ikutin rencana lo. Sekarang apa rencananya?" tanya Aileen.

Aileen menatap Aldo yang mulai berbicara serius tentang rencana mereka. Gadis itu hanya sesekali menanggapi dengan anggukan dan tidak menyela sama sekali. "Kita akan jalankan rencana ini mulai besok," ucap Aldo di akhir bicaranya.

To be continued ....

Stuck Friendzone (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang