~Enjoy it guys~Fano membuka matanya, ia meringis pelan saat tidak sengaja mengigit bibirnya yang terluka. Laki-laki itu melirik jam dinding yang tertempel di samping kanannya. Pukul sepuluh malam, terhitung dua jam ia baru sadarkan diri sejak kejadian beberapa jam yang lalu.
Perlahan ia bangkit dari tidurnya, duduk pada tepi ranjang untuk sekedar mengumpulkan nyawa. Setelah dirasa cukup sadar, ia membawa kakinya melangkah menuju meja belajar.
Tangannya bergerak membuka ransel sekolahnya dan mengeluarkan semua isinya. Besok hari Selasa dan mata pelajaran pun juga berubah.
Iris matanya fokus pada kertas berukuran A4 yang tertempel di dinding di hadapannya. Kertas dengan berjudul MATA PELAJARAN tercetak dengan huruf kapital disana.
Fano mengambil beberapa buku yang digunakan untuk esok hari pada rak buku di samping kanan meja belajar miliknya yang tertata rapi. Meletakkannya di atas meja lalu membuka buku pertama.
Sekedar mengingat materi yang minggu lalu disampaikan oleh guru di kelas dan mengevaluasi apa yang belum atau tidak dirinya pahami.
Layar handphone yang menyala membuat perhatian Fano teralih. Ia mengambil benda persegi yang terletak tidak jauh dari posisinya. Sebuah notifikasi baterai hampir habis menjadi poin penting.
Tangan laki-laki itu mengulur ke arah laci di mejanya, membuka dan mengambil charger berwarna putih. Ia menancapkan charger itu pada stop kontak yang berada di tepi meja lalu menghubungkan pada handphonenya.
Notifikasi chat dari guru Bahasa Belanda muncul sesaat setelah ia menyalakan data seluler.
"Nilai kamu sempurna. Pertahankan ya."
Pesan singkat itu tanpa sadar membuat bahu Fano menurun. Setidaknya ia merasa sedikit lega sekarang. Tadi saat evaluasi, dirinya sudah sangat takut jika hasil ulangan Bahasa Belandanya mendapat nilai buruk. Mengingat percakapan antara dirinya bersama gurunya membuat ia semakin berfikir negatif.
Fano mematikan handphonenya setelah memastikan tidak ada informasi atau pengumuman penting yang mendesak. Laki-laki itu mulai membaca beberapa sub bab materi dari buku yang ia buka tadi.
🌵🌵
Tok Tok
Suara ketukan membuat kepala Fano menoleh ke arah pintu, memilih untuk tetap pada posisinya tanpa repot untuk membukakan pintu berwarna putih itu, karena ia tau jika pintu kamarnya dirancang untuk tidak bisa dikunci.
Apalagi alasannya jika bukan orang tuanya itu akan selalu memeriksanya sepanjang waktu, apa ia melakukan tugas dengan baik atau sedang melakukan apa dirinya sekarang. Benar-benar memuakkan.
"Mas Fano sudah bangun? Dari kapan?" Pertanyaan beruntun itu selaras dengan langkah kaki yang tergopoh.
"Mungkin sepuluh menit yang lalu." Jawab Fano pada Bik Tini.
"Lukanya masih sakit mas?" Tanya Bik Tini dengan raut cemas.
"Sudah lebih baik kok." Jawab Fano tersenyum.
Dalam hati, ia terluka.
"Kenapa yang peduli kepadanya malah orang lain?"
"Dimana orang yang selalu menyebut diri mereka sendiri keluarga disaat ia terluka?"
"Apa dirinya tidak pantas mendapat perhatian?"
"Atau dirinya tidak punya hak untuk ingin dicintai oleh keluarga sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT?|END✔
Teen FictionApa yang kalian rasakan saat dituntut kesempurnaan? Bukankah memuakkan? Atau itu memang menjadi tujuan dalam list setiap impian? Delfano Azka Karelino, nama laki-laki itu. Hidup dengan segudang peraturan nyatanya membuat laki-laki berumur 16 tahun m...