~ Enjoy it guys~"Fan." Suara itu mengurungkan niat Fano untuk beranjak dari tempatnya. Ingin menyusul Sapta dan mencoba meminta maaf pada temannya. Sekalipun ia harus bersujud di kaki laki-laki itu.
Fano menoleh kearah Revan yang berdiri di depan sana. Berjarak tujuh meter darinya.
Revan melangkah dengan tertatih, bagaimanapun juga berusaha berdiri tegak dengan kondisi kaki terkilir itu tidak mudah.
Fano mengangkat alis saat Revan mengulurkan sebuah kopi hangat. Revan menunjukkan dengan dagu, gerakan verbal agar adiknya menerima kopi pemberiannya.
Fano menerima dengan ragu, matanya mengikuti pergerakan Revan yang melewatinya. Duduk di sebuah kursi dan menatap pemandangan malam kota itu.
"Bohong kalau gua gak dengar semua obrolan lu sama Sapta." Revan membuka suara.
Sebenarnya Fano terkejut dengan ucapan Revan barusan, tapi ia segera mengendalikan diri.
Revan meraih tangan Fano, menuntunnya untuk duduk disampingnya.
"Maaf kalau perkataan gua akhir-akhir ini bikin lu marah. Gua gak ada maksud untuk ngebawa lu dalam masalah gua." Kata Revan.
"Lu memang seharusnya begitu. Menyelesaikan apa yang memang harus diselesaikan tanpa ada gua didalamnya." Ucap Fano. Ia menatap lurus. Kedua tangannya memegang cup kopi, menggengamnya erat berusaha mendapatkan rasa hangat dari segelas kopi itu.
"Roo." Panggilan itu membuat Fano menegang. Panggilan itu akhirnya terdengar lagi. Panggilan yang disematkan oleh keluarga kepadanya.
Dadanya sesak, bergerumuh hebat. Bulu kuduknya berdiri, meremang karena mendengar panggilan yang telah lama ia ingin dengar akhirnya kembali.
"Roo, adek gua." Revan menatap Fano. Memeluknya dalam dekapan kuat. Ia terisak keras, berusaha menyalurkan rasa rindu yang selama ini ia pendam.
"Roo, maaf gua bukan kakak yang bisa diandalkan." Revan menepuk bahu Fano. Mengeratkan pelukannya pada adiknya, takut jika pelukan itu lepas dan adik kecilnya tak bisa kembali lagi.
"Gua kakak gak becus." Mendengar ucapan itu Fano terulur membalas pelukan sang kakak.
Merasakan usapan lembut dibahu dari Revan, membuat liquid bening milik Fano mengalir begitu saja.
Ia terisak. Ia menangis. Semakin lama semakin kencang. Semakin mengeratkan pelukan.
"K-kak." Panggil Fano terbata.
"Sa-kit." Fano melanjutkan kalimatnya dengan susah payah. Nafasnya tersedak karena dadanya semakin sesak.
"Dada gua sakit." Ucap Fano. Ia ingin mengadu sebanyak mungkin pada kakaknya. Ingin memberitaukan pada kakaknya jika ia telah banyak melalui hal sulit dihidupnya.
Revan mengangguk berkali-kali. Ia memeluk Fano semakin erat. Berusaha menyalurkan rasa aman untuk adiknya.
"Maaf, kakak minta maaf." Revan berucap.
"Gua gak mau kayak gini." Kata Fano menangis. Air matanya semakin mengalir tanpa bisa berhenti.
Biarkan saja. Ia ingin semesta tau jika luka yang selama ini ia rasakan akan tumpah ruah pada akhirnya.
Ia hanya manusia biasa. Yang akan menyerah jika keadaan semakin kacau dan tanpa bisa dikendalikan. Yang akan menangis jika beban dipundaknya semakin berat.
"Gua gak mau hidup jadi Fano."
"Itu bukan kemauan gua."
Mendengar pengakuan Fano membuat Revan melepaskan pelukan. Ia menatap Fano yang terisak hebat. Pundaknya bergetar kuat.
"Sapta pergi karena Fano yang dia kenal udah gak ada. Gua gak tau harus apa." Fano menatap kakaknya, memaksa agar ia diberi solusi ditengah rasa frustasinya.
"Kak, bilang sama Sapta. Kalau yang perlu disalahkan atas kematian Fano itu gua."
"Gak. Itu semua takdir. Kematian Fano bukan salah lu dek." Sangkal Revan.
"Tapi kenapa takdir gua jahat kak." Suara Fano bergetar. Ingatannya saat bermain bersama saudara kembarnya itu berputar di kepala. Seperti memori menyesakkan yang dipaksa untuk terus berputar.
Semakin mengingatnya semakin membuat ia merasa bersalah. Semakin ia benci dengan hidupnya sendiri.
"Gua lahir gak sempurna. Benar kata papa, gua seharusnya gak perlu dilahirkan."
"Gua gak berguna kak."
"Seharusnya gua yang mati, bukan Fano."
"Seharusnya gua yang kasih jantung ini buat dia. Seharusnya dia yang hidup. Seharusnya dia yang temenan sama Sapta sampai sekarang."
Revan menggeleng, ia membawa Fano dalam dekapannya.
"Roo, dengar ucapan kakak. Kamu anugerah. Keputusan Fano untuk kasih ginjal dia ke kamu, karena Fano ingin kamu hidup dengan baik." Kata Revan.
"Kamu pantas dilahirkan, pantas pula untuk bahagia. Jika ada kedudukan tertinggi untuk kakak terbaik maka Fano adalah juaranya."
"Diakhir nafas Fano, bukan mama atau papa yang dia ingin temui, tapi kamu."
"Jauh sebelum kondisi Fano semakin memburuk, dia yang minta kakak untuk antar ke rumah sakit. Dia mengurus donor organ itu sendirian. Dia selalu merahasiakannya dari kakak. Tiap kali kakak tanya kenapa dia selalu ke rumah sakit walau bukan jadwal check up, dia akan selalu bilang bahwa dia ingin menjadi malaikat."
"Waktu itu kakak gak paham kenapa dia mau jadi malaikat. Tapi sekarang, kakak paham apa yang Fano inginkan selama dia hidup."
Cerita Revan membuat Fano semakin rindu dengan kehadiran kakaknya. Kakaknya yang ceria, memiliki tawa yang indah, dan sifat baik hatinya.
"Dia sungguh malaikat. Dia benar-benar menjadi malaikat sekarang." Fano berucap dan Revan mengangguk setuju.
"Fano itu definisi penjaga rahasia yang handal. Ia mampu menyembunyikan rasa sakitnya, menyembunyikan apa yang seharusnya dia harus bicarakan pada orang lain. Tapi dia memilih untuk menutup mulut, semua tersimpan dengan rapi."
"Fano mau kamu jadi orang yang memberikan banyak hal baik untuk orang lain, Roo." Ucap Revan.
"Tapi Sapta butuh Fano, bukan gua kak." Kata Fano.
"Sapta memang butuh Fano, tepatnya ia butuh raga seorang Fano. Tapi gak bisa disangkal, jika Sapta berteman dengan jiwa kamu. Jiwa seorang Faro."
Mendengar penuturan Revan membuat Fano diam. Selama ini Sapta memang berteman baik dengannya. Melakukan banyak hal bersama. Tertawa dan menangis bersama. Jatuh dan bangkit bersama.
Keheningan itu merayap selama sepuluh menit. Revan menunduk, menatap kopinya yang tinggal sedikit. Ia menatap adiknya yang tetap memandang lurus. Pandangannya kosong seperti orang yang tak tau arah.
"Roo, ada sebuah rahasia yang selama ini kamu gak tau." Kata Revan.
Fano menoleh, menaikkan alisnya.
"Rahasia apa lagi?" Tanya Fano.
"Bisa aja ini makin nambah luka kamu. Tapi kakak harus bilang walau nanti faktanya akan menyakitkan."
"Memang apa yang kalian sembunyikan?" Tanya Fano. Nada suaranya berubah menjadi dingin dan datar.
"Reputasi adalah alasan dari perubahan identitas kamu." Perkataan Revan membuat Fano menegang. Realita apalagi yang akan menamparnya. Menampar hingga membuatnya berdarah-darah. Tertatih-tatih untuk bisa bangkit lagi.
"Dan kakek adalah dalangnya." Lanjutan kalimat dari Revan membuat Fano tersentak. Ia terkejut bukan main.
Dibenaknya sekarang ada banyak pertanyaan: Kenapa harus ada pemeran baru lagi di dalam drama hidupnya?
Kenapa semesta selalu ingin bermain-main dengan kehidupannya?
-
Maaf jika cerita ini lamban. Maaf jika aku banyak mengecewakan pembaca. Semoga part ini bisa mengobati rasa rindu yang dirasa💙
Next? Comment and Vote
Salam Rynd🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT?|END✔
Teen FictionApa yang kalian rasakan saat dituntut kesempurnaan? Bukankah memuakkan? Atau itu memang menjadi tujuan dalam list setiap impian? Delfano Azka Karelino, nama laki-laki itu. Hidup dengan segudang peraturan nyatanya membuat laki-laki berumur 16 tahun m...