~Enjoy it guys~
Pagi telah tiba dan Fano sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia mengenakan seragamnya yang dibalut kaos polos berwarna putih dibaliknya.
Fano menatap refleksi dirinya di cermin berukuran persegi yang sengaja ia tempelkan di dinding saat hari dimana ia pindah kesini. Ke kamar barunya. Memakai dasinya dengan gerakan lihai lalu menyisir rambut dengan jemarinya. Seperti pria sejati pada umumnya.
Sedikit ringisan keluar dari mulut Fano saat laki-laki itu memakai jaketnya. Luka di punggungnya belum benar-benar sembuh. Ucapkan terima kasih pada Bik Tini karena wanita itu menyobati lukanya tadi malam dengan sangat telaten.
Fano mengeluarkan semua isi di dalam ranselnya lalu mengambil buku sesuai mata pelajaran hari ini dan memasukkan ke dalam ransel. Tidak lupa, ia juga membawa beberapa buku tambahan untuk pelajaran les privatnya.
Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, Fano memakai sepatu yang terletak di dekat pintu. Ia membuka pintu kayu di depannya dan tidak lupa menutupnya kembali.
"Pagi Bik." Sapa Fano saat kakinya menginjak di ruang dapur.
"Pagi mas Fano." Sapa Bik Tini menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.
"Saya bawakan bekal ya mas." Ucap Bik Tini. Wanita itu mematikan kompor setelah semua masakannya sudah dipastikan matang.
"Boleh Bik." Balas Fano. Ia duduk di kursi yang terletak di samping pintu belakang. Membuatnya bisa melihat halaman belakang rumah mereka yang dibilang cukup luas.
Kenangan mereka dimulai dari sini. Ditempat itu. Dulu, Fano dan Revan sering sekali bermain di halaman belakang selepas pulang sekolah. Entah bermain sepak bola, basket, atau hanya sekedar bermain petak umpet semasa mereka kecil. Bayangan-bayangan menyenangkan itu menjadi menyesakkan jika diingat saat ini. Tanpa sadar senyum tipis terbit di bibir laki-laki itu.
Jika awalnya dimulai dengan indah ditempat itu. Maka juga harus berakhir dengan indah pula.
"Mas, ini teh hangatnya diminum dulu." Suara Bik Tini menyadarkan lamunan Fano.
"Ah, terima kasih." Ucap Fano tersentak pelan.
Fano menyeruput teh hangatnya dengan pelan. Lalu mengambil sarapan yang sudah dibuatkan Bik Tini untuknya dan memakannya dengan lahap.
"Bik, aku berangkat dulu ya." Pamit Fano beranjak berdiri. Ia meletakkan alat makannya di wastafel lalu mencucinya. Kegiatan yang rutin ia lakukan setiap kali dirinya selesai makan. Meskipun Bik Tini sering kali melarang, dengan dalih bahwa mencuci piring dan alat makan adalah tugasnya.
"Hati-hati mas." Balas Bik Tini. Ia menepuk beberapa kali tangan Fano yang menjabat tangannya. Mengulas senyum lebar lalu memeluknya singkat.
🌵🌵
Fano berjalan kearah halte dengan langkah yang sedikit pincang. Meski tadi malam Bik Tini juga sudah memijat kakinya, tetapi yang namanya rasa sakit juga tidak bisa hilang begitu saja.
Semoga obat yang tadi ia minum bisa membuat keadaannya sedikit lebih baik. Bagaimanapun juga jika pergi bersekolah dengan merasakan sakit yang mendera itu sangatlah tidak nyaman.
Fano menghela nafas lega setelah ia berhasil duduk di salah satu kursi halte. Ia meluruskan kedua kakinya lalu tangannya kembali memijit pelan kaki kanannya.
Ia melirik kearah jam tangan yang melingkar di lengan kirinya menunjukkan pukul enam pagi. Sepuluh menit lagi bus akan datang sesuai jadwal yang ada di banner yang terletak di halte.
Fano mengeluarkan ponsel serta earphonenya dari dalam tas. Ia membuka aplikasi pemutar musik lalu memasangkan dua anak earphonenya ke telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT?|END✔
أدب المراهقينApa yang kalian rasakan saat dituntut kesempurnaan? Bukankah memuakkan? Atau itu memang menjadi tujuan dalam list setiap impian? Delfano Azka Karelino, nama laki-laki itu. Hidup dengan segudang peraturan nyatanya membuat laki-laki berumur 16 tahun m...