~Enjoy it guys~Rutinitas yang dijalani Fano akhir-akhir ini yakni sarapan bersama di meja makan jam enam pagi lalu berangkat sekolah bersama Dimas lima belas menit kemudian.
Sekarang hari jum'at dan itu artinya jam sekolah lebih pendek daripada biasanya. Fano memakai sepatu lalu mengikat talinya dengan kencang sebelum berdiri menyusul Dimas yang sudah siap diatas motornya.
"Fan." Panggil Dimas ditengah kericuhan lalu lintas pagi ini.
"Iya, kenapa!" Balas Fano dengan sedikit berteriak. Berusaha mengalahkan deru bus yang keras disebelah motor mereka.
"Nanti lu pulang sendiri, gapapa?" Tanya Dimas.
"Oh, iya gapapa. Gua hari ini juga ada urusan kok, gak bisa langsung pulang. Santai aja bang." Jawab Fano lalu menepuk pundak orang didepannya dua kali.
"Oke."
🌵🌵
Fano masuk kedalam ruang Osis lalu menaruh proposal yang sudah dikerjakan keatas meja milik Abay.
"Widih, kemana aja sang pujangga selama ini!" Seru Abay dengan membawa kakinya kedalam ruang Osis.
Fano melirik kearah kakak kelasnya itu dengan sinis. Demi apapun kalau membunuh bukan perbuatan dosa, ia sudah mencekik lawan bicaranya itu.
"Widih, widih pala lu benjol." Kata Fano sarkas. Ia menggeser proposal itu dengan gerakan kasar kearah Abay.
Abay mengambil kumpulan kertas yang sudah dijilid spiral dengan apik itu lalu membacanya. Membalikkan per halamannya dan dibaca dengan cermat lalu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Berlagak sok sepeti pengusaha yang sedang mengoreksi pekerjaan karyawannya. Lalu akan berteriak keras dan berkomentar pedas saat karyawannya tidak becus bekerja.
"Bulan bahasa udah tinggal satu minggu. Gua harap lu paham dengan semua isi proposal itu bang." Kata Fano mengingatkan.
"Iya, gua paham." Balas Abay lalu menutup proposal itu saat sudah membaca sekilas isinya.
"Thanks udah mau gua repotin buat proposal ini." Lanjut Abay yang dibalas anggukan oleh Fano.
"Mau kemana?" Tanya Abay saat Fano beranjak berdiri.
"Ck, posesif banget lu. Kepo!" Seruan dari Fano mengundang tendangan di pantat yang dilayangkan oleh Abay.
"Dasar kutil badak!" Gemas Abay.
Fano terbahak lalu menepuk bahu Abay sebagai tanda kepergiannya.
🌵🌵
Laki-laki itu menaruh tasnya keatas meja. Mengambil sebuah buku paket serta buku tulis untuk persiapan pelajaran pertama dan meletakkan tasnya digantungan laci meja.
"Kayaknya gua tadi udah liat lu di parkiran sekolah. Kok baru sampai?" Tanya Sapta.
"Gua ke ruang Osis tadi." Jawab Fano.
"Fan." Panggilan itu membuat Fano menoleh pada Sapta. Menatap temannya itu yang menampilkan ekspresi serius.
"Hm. Ada apa?" Fano menanggapi dengan santai.
"Lu masih ikut les privat?" Tanya Sapta hati-hati. Berusaha agar pertanyaannya tidak menyakiti hati Fano.
"Lu ngasih pertanyaan itu seakan orangtua gua masih biayain hidup gua aja." Jawab Fano santai.
"Semenjak gua diusir dari rumah, detik itu juga marga Karelino udah gak ada dibelakang nama gua."
"Orang sekitar gua, termasuk lu selalu bilang 'Fan, pikirin diri lu sendiri.', 'Fan lu harus bahagia.' Saat itu gua berpikir tentang sedikit kemungkinan, bahwa akan ada saatnya keluarga gua menerima gua sebagai bagian dari mereka."
![](https://img.wattpad.com/cover/222400307-288-k862894.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT?|END✔
Roman pour AdolescentsApa yang kalian rasakan saat dituntut kesempurnaan? Bukankah memuakkan? Atau itu memang menjadi tujuan dalam list setiap impian? Delfano Azka Karelino, nama laki-laki itu. Hidup dengan segudang peraturan nyatanya membuat laki-laki berumur 16 tahun m...