14

4.9K 572 62
                                    


~Enjoy it guys~

Hari sabtu menjadi hari yang banyak dinantikan oleh orang sibuk di seluruh dunia. Ingin menghabiskan waktu bersama orang tersayang dan menikmati waktu luang setelah sibuk dengan kegiatan yang menyesakkan.

Lain orang lain, lain juga Fano. Laki-laki itu memilih menghabiskan waktu dengan mendekam di dalam kamarnya. Melupakan rasa sakit karena ucapan sinis papanya agar tidak terus berlarut. Menyibukkan diri dengan mempelajari materi matematika untuk Olimpiade satu bulan lagi.

Tok Tok

Suara ketukan pintu membuat Fano menolehkan kepalanya kearah sumber suara.

Cklek

Suara pintu kembali terdengar. Fano menatap bayangan yang tertangkap dari lampu kamar yang terletak di langit-langit.

Mengangkat kepala untuk melihat siapa orang yang datang ke kamarnya. Tidak mungkin jika Bik Tini, karena ia baru saja makan sekitar satu jam yang lalu.

Revan. Kakaknya berjalan menghampiri dirinya dengan kedua tangan yang dimasukkan di saku celana.

Langkah kaki itu semakin mendekati Fano. Berjalan lurus menatap kearah laki-laki yang perlahan beranjak dari duduknya.

"Makasih." Ucap Revan dengan mengeluarkan sebuah dasi dari saku celana. Mengulurkan kearah Fano yang masih bingung.

Flashback On to part 7

Tok Tok

Fano berdiri dengan menyandarkan bahu kirinya di dinding berwarna putih gading. Menunggu jawaban dari orang di dalam ruangan setelah mengetuk pintu beberapa kali.

Tok Tok

Ia mengetuk pintu dihadapannya lagi saat tidak juga mendapatkan balasan.

Cklek

Suara itu membuat Fano menegakkan tubuh, retina matanya menatap orang didepannya yang bahkan masih berpenampilan khas orang baru bangun tidur.

"Buat lu." Ucap Fano singkat. Ia melangkah menjauh tanpa menunggu balasan dari lawan bicaranya.

"Maksudnya?" Gumam orang itu yang tidak lain adalah Revan. Ia menatap dasi yang berada di tangan kirinya dengan heran.

Apa maksud dari adiknya itu? Kenapa ia bisa tau jika dirinya tidak memiliki dasi?

Flashback Off

"Ah, ya. Sama-sama." Balas Fano mengambil dasi itu lalu menaruhnya diatas meja.

Dirinya ingat, jika ia pernah memberi dasi untuk dipakai Revan, karena saat itu anak Osis mulai berkeliling untuk mencari siswa yang tidak mematuhi peraturan memakai atribut lengkap.

"Gua udah denger." Ucap Revan membuka suara.

"Denger, apa?" Tanya Fano mengangkat satu alisnya.

"Kemarin Kepala Sekolah nyebut nama lu di list siswa yang masuk seleksi buat Olimpiade Matematika satu bulan lagi." Jawab Revan.

"Dan lu tentu tau kalau nama gua juga ada di list itu." Lanjut Revan.

"Hm, ya." Balas Fano mengangguk. Di benaknya masih teringat jelas jika nama Revan Nathaniel Karelino disebutkan paling awal oleh Pak Umar.

"Gua sebenernya gak mau berkompetisi." Kata Revan.

"Tapi, hal ini jadi ajang siapa yang bisa banggain papa dan mama." Lanjut Revan dengan nada datar.

"Iya." Jawab Fano seadanya. Ia mengigit bibirnya gugup.

"Dari pada sakit hati, lebih baik lu mengundurkan diri sekarang juga." Kata Revan lalu beranjak pergi dari kamar adiknya.

Fano menatap kepergian Revan dalam diam. Matanya masih menatap lurus kearah punggung kakaknya yang perlahan menghilang.

"Haruskah ia menyerah saat ini juga?" Pikiran itu melintas di benak Fano.

🌵🌵

Rasanya waktu berjalan dengan begitu cepat. Fano merutuk kenapa kemarin ia malah ketiduran saat ingin belajar. Nabastala* pagi ini seperti bersahabat karena cuaca lebih cerah dari pada hari sebelumnya.

Fano turun dari bus umum dan membawa tungkai kakinya ke gerbang SMA Yolanda. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Ia hanya ingin menghabiskan waktu di Ruang Osis sampai bel masuk berbunyi.

"Hai Fan." Panggil Johan yang menjabat sebagai sekertaris Osis. Laki-laki blasteran Belgia itu tengah sibuk bermain game online dengan umpatan yang tak jarang dikeluarkan saat musuhnya mendekat.

"Bang Abay belum dateng?" Tanya Fano meletakkan tasnya diatas meja lalu duduk di kursi yang biasa ia tempati.

"Tadi pamit ke kamar mandi." Jawab Johan yang dibalas anggukan oleh Fano.

"Besok lu jadwal piket kan?" Tanya Johan. Ia memberhentikan gamenya dan meregangkan punggung yang rasanya ingin patah.

"Iya. Bukannya kita jadwalnya bareng?" Tanya Fano. Matanya menatap kearah mading yang tertempel tidah jauh darinya. Ada kertas berukuran A4 bertuliskan jadwal piket untuk semua anggota Osis.

"Oke. Besok berangkat kayak hari ini aja." Jawab Johan yang dibalas anggukan Fano.

"Gua ke kelas dulu." Pamit Johan dengan mengendong ranselnya lalu berjalan kearah pintu.

"Oke." Balas Fano singkat.

Sepeninggal Johan, Fano mengambil ponsel yang ia simpan di ransel. Mengambil charger yang tadi dibawa dari rumah.

Menghubungkan kepala charger ke stopkontak yang terletak diatas meja lalu menancapkan ujungnya di handphone. Layar hitam itu menyala menampilkan daya baterai yang masih terisi satu persen.

Cklek

Suara pintu membuat atensi Fano teralih. Ia terlalu malas untuk menghampiri siapa orang yang akan masuk.

"Baru dateng?" Tanya Abay. Ia mengambil duduk di ujung meja. Tempat dimana Ketua Osis berada.

"Udah sekitar sepuluh menit yang lalu." Jawab Fano yang dibalas anggukan oleh kakak kelasnya itu.

"Gua denger lu masuk buat seleksi Olimpiade. Selamat ya." Ucap Abay mengangkat bibirnya membentuk senyuman lebar. Laki-laki itu tidak masuk sekolah kemarin dan hanya mendapatkan informasi tersebut dari grup chat khusus anggota Osis.

"Iya, makasih bang." Balas Fano.

"Lu bisa absen buat rapat Osis sampai satu bulan kedepan." Kata Abay.

"Emang gapapa?" Tanya Fano merasa tidak enak.

"Anak-anak pasti juga ngerti kok. Lu fokus buat Olimpiade aja." Jawab Abay.

"Kita bangga karena lu jadi perwakilan Osis yang bisa masuk seleksi." Lanjut Abay.

"Tapi kalau gua gagal di tengah jalan, gimana?" Tanya Fano mengingat ucapan Revan dua hari yang lalu.

"Ya ngapain juga lu di tengah jalan. Tinggal minggir lah!" Seru Abay becanda tanpa tau perubahan mimik wajah adik kelasnya.

"Udah gak usah dipikirin. Menang dan kalah itu udah biasa. Kan lu udah usaha." Kata Abay menepuk bahu Fano berusaha menyakinkan.

Seulas senyum terbit di bibir Fano. Setidaknya ada pihak yang mendukung disaat ada banyak pihak yang ingin mematahkan semangatnya.

"Makasih bang. Lu terbaik." Kata Fano tulus.

"Yayadong. Gua ini abang lu." Ucap Abay dengan menepuk dadanya bangga.

"Seandainya lu adalah Revan bang. Gua pasti jadi adik yang paling beruntung." Monolog Fano dalam hati.

Faktanya, semua yang manusia inginkan akan selalu berjalan sesuai skenario yang sudah dirancang oleh Maha Kuasa, terlepas dari apa yang manusia itu impikan.

-

Nabastala: langit

Next? Comment and Vote.

Salam Rynd🖤

PERFECT?|END✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang