~Enjoy it guys~Fano turun dari bus, menatap kepergian kendaraan itu hingga berbelok di persimpangan kemudian membawa langkah kakinya menjauhi halte. Beruntung di jam sepuluh malam ini masih ada bus yang masih beroperasi dan bisa mengantarkannya ke sekolah dari rumah Sapta.
Fano mengedarkan pandangannya mencoba berpikir dimana kiranya ia bisa menemukan kos-kosan yang jaraknya tidak jauh dari sekolah dan biayanya tidak terlalu mahal. Dirinya mengambil langkah berbelok kearah gang yang tidak jauh dari tempatnya saat ini, menyusuri rumah demi rumah yang saling berdekatan dengan diiringi suara burung yang menemani perjalanannya.
"Tolong!" Seruan itu berhasil membuat Fano menghentikan langkahnya, berusaha memfokuskan pendengarannya dan memastikan jika ia tidak salah dengar.
"Tolong saya!" Seruan itu kembali terdengar. Fano bergerak refleks mencari sumber suara meski daerah yang ia lalui saat ini menjadi asing baginya dan mungkin bisa membahayakan keselamatannya.
Fano melemparkan tas ranselnya begitu saja saat ia sudah berada di tempat seruan yang berasal tadi. Menggulung lengan jaketnya hingga siku hingga memperlihatkan urat tangannya.
BUG
BUG
Kepalan bogeman itu melayang dari tangan Fano untuk dua preman di depannya. Mata elangnya menatap dengan tajam sang lawan bicara. Laki-laki itu siap untuk kembali berkelahi.
"Kalian pergi atau gua lapor polisi!" Perintah Fano menatap garang kearah dua preman dihadapannya.
"Gua bakal balas dendam sama lu!" Seru salah satu preman itu dengan menunjuk tepat diwajah Fano. Fano menyingkirkan tangan itu dengan kasar, bibirnya mendesis remeh.
"Gua tunggu." Jawab Fano santai. Setelah memastikan kedua preman itu menjauh, ia segera membalikkan tubuhnya menghadap orang yang menjadi target dua preman tersebut.
🌵🌵
"Bu, ada yang terluka?" Fano kembali menetralkan suaranya menjadi biasa.
"Perlu saya bawa ke Rumah Sakit?" Tanya Fano khawatir karena mendapati seorang wanita paruh baya itu hanya diam saja.
"Tidak, terima kasih." Ucap wanita itu. Beliau terlihat pucat mungkin karena syok dengan kejadian yang ia alami dan juga melihat perkelahian di depan matanya.
"Saya antar pulang ya. Rumah ibu di dekat sini?" Tanya Fano beruntun. Matanya mengedar ke sekitar yang memang lampu-lampu pun sudah meredup karena waktu semakin malam.
"Ya. Rumah ibu di sekitar sini." Mendengar jawaban dari lawan bicaranya Fano mengangguk lalu mengikuti langkah sang ibu yang sudah berjalan terlebih dahulu.
"Terima kasih sudah menolong saya."
"Sama-sama." Fano menoleh pada wanita itu lalu mengulas senyum.
"Jika saya boleh tanya, memang kenapa ibu malam-malam keluar rumah?" Tanya Fano.
"Anak ibu sedang demam, jadi ibu harus ke apotek untuk membeli obat." Mendengar jawaban dari lawan bicara membuat Fano secara tidak sadar membandingkan perilaku beliau dengan mamanya.
Wanita yang ia panggil mamanya itu tidak pernah ada saat dirinya sakit. Hanya ada Bik Tini yang menemani.
"Ibu bisa masuk. Lain kali saya sarankan untuk lebih berhati-hati saat berjalan sendiri, terlebih malam hari." Ucap Fano saat mereka sudah sampai didepan rumah sederhana.
"Siapa namamu nak?" Tanya wanita itu.
"Fano." Jawab Fano tersenyum.
"Saya pamit ya bu." Lanjut Fano dengan menyalami tangan ibu Wati.
![](https://img.wattpad.com/cover/222400307-288-k862894.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT?|END✔
Teen FictionApa yang kalian rasakan saat dituntut kesempurnaan? Bukankah memuakkan? Atau itu memang menjadi tujuan dalam list setiap impian? Delfano Azka Karelino, nama laki-laki itu. Hidup dengan segudang peraturan nyatanya membuat laki-laki berumur 16 tahun m...