17

4.7K 546 81
                                    

Pasti ada yang komen "kapan Fano bahagianya?" Jujur entah kenapa aku suka banget siksa Fano😂 tapi mungkin(bisa jadi) ada waktu buat Fano bahagia.

Tergantung otakku aja kalau lagi baik pasti bikin Fano bahagia. Tapi lain lagi kalau otakku lagi jahat😈 awokawok

Fyi, kalau ada typo minta tolong koreksi yaw😄 maaciw

~Enjoy it guys~

Laki-laki itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan standart. Jam menunjukkan pukul 14.15. Masih ada beberapa waktu untuk bisa bersantai tanpa terlambat ke kelas Bahasa Chinanya.

Mobil berwarna putih itu membelah jalan raya yang tampak lenggang. Kendaraan lain juga tampak santai dalam mengendarai koleksi kendaraannya tanpa terburu untuk sampai tujuan.

Sapta menoleh kearah Fano. Sedari tadi temannya itu terus menyandar di jok kursi tanpa mengucapkan sepatah kata. Kedua telinganya juga disumpal oleh earphone dan matanya tertutup.

Apa Fano sedang tertidur?

Pertanyaan itu muncul di benak Sapta. Ia menatap lurus kearah Fano berusaha menimang untuk membangunkan temannya atau tidak.

Kakinya menginjak pedal gas saat lampu traffic sudah menyala warna hijau. Tidak lama, ia membelokkan stir kearah kiri dan mengendarai mobil untuk ke basement.

Dari luar gedung bisa dilihat jika sudah banyak siswa yang melewati lobby. Bisa dipastikan jika kelas akan dimulai sebentar lagi.

Sapta mematikan mesin mobilnya. Melepas sabuk pengaman dan mengulurkan tangan kirinya kearah Fano.

"Fan, bangun." Ucap Sapta pelan. Ia takut membuat Fano kaget jika membangunkan dengan suara keras.

Mata itu terbuka. Kedua bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali.

"Lu tidur?" Tanya Sapta.

"Gak." Jawab Fano. Ia menegakkan punggungnya lalu melepas sabuk pengaman. Pandangannya mengedar dan ia baru sadar jika mereka sudah ada di basement tempat lesnya.

"Lu kenapa? Kok dari tadi kayak gelisah gitu?" Tanya Sapta yang akhirnya mengutarakan rasa penasarannya.

"Gapapa. Mungkin perasaan lu aja." Jawab Fano. Ia keluar dari pintu penumpang dengan membawa tasnya.

Sapta segera bergerak mengikuti temannya. Menekan tombol lock pada kunci lalu menyusul langkah Fano yang berjalan menuju lift.

"Lu kayak orang linglung." Komentar Sapta. Ia memasukkan kedua tangannya di saku jaket.

Satu hal yang Sapta benci dari Fano adalah temannya itu terus berpura-pura.

"Gak kok. Udahlah jangan dibahas." Balas Fano. Ia sungguh malas berdebat untuk saat ini. Suasana hatinya sudah buruk sejak ia keluar dari auditorium. Perkataan Revan sedikit banyak menganggu dirinya.

"Sampai kapan lu terus kayak gini?" Ucapan itu bukanlah sebuah pertanyaan. Sapta pun juga tidak berniat bertanya kepada Fano. Ia hanya berucap tanpa arah.

"Ya gua tau lu orang yang susah terbuka untuk orang lain. Gua paham." Ucap Sapta. Ia menekan angka lima setelah mereka sudah memasuki lift.

"Tapi untuk ukuran temenan enam tahun, rasanya gak pantes aja buat gak selalu terbuka." Lanjut Sapta. Ia menundukkan kepalanya melihat sepatu yang ia pakai rasanya lebih menarik dari pada pandangan sekitar.

"Lu kayak gak anggap gua temen." Komentar Sapta terkekeh miris.

"Disaat gua cerita apapun, tapi lu menyembunyikan apapun. Disaat gue terbuka, lu tertutup. Ngerti gak sih punya temen tapi kayak merasa gak punya temen?" Ucapan itu seakan sebuah monolog dengan bertanya pada diri sendiri tanpa ada lawan bicara.

PERFECT?|END✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang