|IMY 13| Khawatir

285 50 13
                                    

Teman bisa menjadi cinta, semua kemungkinan bisa saja terjadi saat ini atau masa mendatang.

Upacara bendera telah usai. Semua murid yang mengikuti upacara tersebut harus kembali menjalankan pelajaran. Rani yang melihat upacara telah selesai, langsung berdiri dari duduknya. Ia menatap sekeliling kantin yang sudah terlihat ramai pembeli. Rani yang memang tak suka dengan keramaian segera bergegas pergi.

"Rani! Lo mau kemana?" tanya Allicia dengan suara yang keras.

Rani pun menjawab sembari berlalu pergi. "Kepo. Lo ke kelas duluan aja."

"Anjir, emang." Allicia kemudian pergi menuju kelas.

Rani malas untuk belajar. Baginya belajar adalah kebosanan tersendiri baginya. Ia sudah pintar, lalu untuk apa belajar? Saat ini tempat yang ia tuju adalah rootop sekolah. Tempat dimana ia sering membolos dan menghabiskan waktu tanpa di ketahui oleh banyak orang.

Ketika pintu sudah terbuka, pemandangan indah sudah menyambut matanya. Angin yang menerpa wajah, membuat ia memejamkan mata untuk menikmati angin yang terasa di tubuhnya. Rani duduk disalah satu bangku sekolah. Ia mengangkat kaki, membuat rok pendek itu tersingkap menampilkan paha putih millik dirinya. Rani tak perduli, karena disini tak ada siapapun.

"Tempat yang buat gue tenang," ujar Rani sembari membuka tangannya.

Rani kemudian bangun, menuju salah satu tempat yang sangat tersembunyi. Tangannya meraih benda berbentuk persegi panjang. Mengambil salah satu bagian dan menyelipkan di bibirnya. Benda itu adalah rokok. Rani memang sering merokok untuk menghilangkan rasa gundah di hatinya. Ia meraih korek dan membakar ujung puntungnya.

"Kalau gini, gue tenang," ucap Rani sembari menghembuskan asap rokok itu.

Pemandangan indah juga angin yang terasa membuat ia dalam keadaan damai sentosa. Jika dulu ia sulit untuk merokok, sekarang ia tak sulit lagi untuk menemukan tempat yang tepat. Tempat yang selalu membuat ia tenang. Ketika Rani ingin menghisap rokok itu lagi, ada tangan seseorang yang langsung membuang rokok itu. Rani yang terkejut segera menoleh pada pria itu. Pria itu adalah Fajar.

"Lo kurang kerjaan banget, sih!" sentak Rani marah.

Fajar hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi. Matanya yang tajam menatap lurus pada Rani. "Lo yang kurang kerjaan. Orang tua udah bayar sekolah mahal-mahal, tapi lo sia-siakan kaya gini? Lo udah gila?" Fajar bertanya dengan amarah yang memuncak.

Bagaimana tidak? Seorang wanita seperti Rani tak patut untuk melakukan kenakalan seperti seorang pria seperti ini. Yang membuat Fajar marah adalah ketika ia melihat Rani dengan santai menghisap zat nikotin tanpa memikirkan efek samping. Wanita yang bodoh baginya.

Rani pun berdeham. "Ya, terserah gue lah. Uang gue ini, kenapa lo yang repot?" tanya Rani membuat Fajar menariknya untuk berdiri.

Fajar sudah diambang batas kesabaran. Wanita ini terlalu keras kepala untuk di tegur dengan cara yang lembut. Fajar mencengkeram bahu Rani dengan kuat. Membuat Rani menatapnya takut. "Mungkin kalau lo bolos gue masih terima, tapi lo hisap zat berbahaya itu. Lo udah gila?" Fajar bertanya dengan gigi yang bergemelutuk.

Rani menghempaskan tangan Fajar. "Lo siapa gue? Berani banget atur-atur gue."

Angin yang menerpa wajah Fajar tak mampu untuk merendam segala emosi yang sudah di ujung batas kesabaran. Wanita yang ada di hadapannya ini terlalu keras kepala untuk di lawan. Fajar akhirnya menghela napas kasar. Tak ada gunanya untuk bertengkar dengan gadis keras kepala seperti Rani.

"Gue emang bukan siapa-siapa, tapi gue lebih peduli sama kesehatan lo, Ran," balas Fajar kemudian duduk disalah satu bangku.

Rani yang menatap pemandangan sekolah harus dibuat menoleh pada Fajar yang baru saja mengutarakan sesuatu. Rani luluh. Ia duduk disalah satu kursi tepatnya di samping Fajar.

"Lo gak perlu terlalu over sama gue. Jangan peduli, karena gue sakit kaya gini. Lo tahu, kan? Gua bukan gadis lemah atau alay." Rani tersenyum samar.

Rani tak mau Fajar perduli padanya karena kasian atau karena penyakitnya. Ia ingin Fajar perduli pada dirinya, bukan karena ia sakit. Kenapa semua orang menganggap dirinya lemah? Ia bukan gadis yang seperti itu.

"Gue gak bilang gitu," sangkal Fajar enggan untuk menoleh.

"Gak usah ngeles. Gue tahu arah pembicaraan lo kemana. Santai, Jar. Gue bukan cewek lemah yang nyerah gitu aja. Kalau pun gue nyerah, itu nanti saat gue gak bisa lagi bertahan sama keadaan yang ada," balas Rani membuat Fajar menoleh spontan.

"Gue tahu lo wanita kuat. Gue tahu lo orang yang gak mudah menyerah, tapi lo tau zat itu sangat berbahaya. Lo anak IPA. Lo seharusnya tau, apa yang terjadi atau efek apa yang akan ditimbulkan dari itu semua." Fajar berusaha untuk menjelaskan dengan kata yang lembut.

Rani tersenyum. Ia menatap manik mata Fajar yang begitu teduh, tapi tajam. "Makasih untuk perhatian yang lo kasih." Rani kemudian mengalihkan pandangan kearah lain.

Fajar terpaku sejenak. Ia harap Rani tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Ia hanya ingin mencari tahu tentang apa yang terjadi dengan gadis yang terlihat kuat, tapi punya berbagai macam masalah yang menghadang. Ia tersenyum, ketika melihat Rani dari arah samping. Baginya Rani adalah gadis yang antik.

"Eh, lo gak masuk kelas? Lo ketua OSIS, loh," ujar Rani membuat Fajar tersadar dari lamunannya.

"Enggak. Gue dapat tugas untuk jaga lo," balas Fajar membuat Rani menyenggol dirinya.

"Bisa aja lo. Sana ke kelas, pak. Nanti lo dihukum." Rani menatap kearah Fajar. Fajar terlihat sangat pucat. Ia baru menyadari hal ini. "Jar, lo sakit?" Rani bertanya sembari menempelkan tangan di dahi Fajar.

Rani sempat tersentak dan menurunkan tangannya secara cepat. Kenapa dahi Fajar sangat dingin? Membuat permukaan kulit yang ia tempelkan seakan membeku. Rani menatap kearah Fajar yang hanya diam tanpa bersuara.

"Jar, lo sakit? Badan lo kaya es. Gue aja kaget, dan gak kuat." Rani menggosokkan tangannya.

Fajar sudah duga bahwa ini akan terjadi. Ia bukan sakit, tapi raga yang terpisah dari jiwa membuat orang yang bisa melihat dirinya seakan orang yang sudah tiada. Tentu saja ia belum meninggal, karena sampai saat ini ia bisa merasakan selang impus yang seakan mengalir di badannya.

"Gue gak sakit, kok. Badan gue emang gini," balas Fajar nampak santai.

"Terus kenapa bisa sedingin es gitu? Gue kaget. Bahkan dingin badan lo masih bisa gue rasakan. Kalau lo sakit, bilang sama gue," celoteh Rani membuat Fajar menoleh.

"Gue gak sakit. Gue sehat. Lo bisa lihat gue, kan?" tanya Fajar membuat Rani menatapnya aneh.

"Bisa lah. Lo aneh banget, sih. Bilang sama Allicia pun gini. Lo, kan, manusia jadi gue bisa lihat lah. Orang pintar, tapi aneh kaya orang bego," sarkas Rani membuat Fajar menatapnya tajam.

Rani yang merasa ada aura aneh segera menoleh. "Apa? Emang bener, kok."

Fajar memilih tak bersuara. Percuma saja berdebat dengan gadis yang tak waras. Jujur ia belum percaya bahwa Rani bisa melihat dirinya. Apa Rani punya mata batin? Atau ada hal lain yang membuat Rani bisa berkomunikasi dengan dirinya yang tak kasap mata.

#TBC

Give me VOTMENT PLEASE 💜

Jangan lupa untuk baca cerita aku yang lain ya. Hehehe.

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Ada yang rindu IMY? Atau rindu sama Fajar?

Aku tunggu komen kalian. See you.

I Missing You (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang