Kalau hati di buat setengah utuh untuk pegangan, apa bisa berkurang dengan patah dan kehilangan?
"Anjir! Baru beberapa menit gue ke alam mimpi, tuh, bocah malah ninggalin gue gitu aja," ucap Rani kesal kemudian beranjak pergi dari perpustakaan.
Kakinya membawa ia menyusuri lorong sekolah yang tak terlalu ramai. Matanya berusaha meneliti di mana Allicia? Dengan teganya membiarkan ia tidur sendiri di perpustakaan. Ketika pintu lift terbuka dan ia ingin kembali melangkah, badannya di tabrak oleh seorang wanita, membuat Rani berdiri dan ingin mengumpat, tapi ia urungkan ketika ia paham siapa wanita itu, Allicia.
"Sialan lo. Hampir gue ngumpat," tutur Rani membuat Allicia memeluknya dengan isakan membuat Rani emosi.
Jujur saja, Rani tak tega melihat Allicia menangis seperti ini. Bahkan tangannya pun mengepal erat. Baginya, Allicia adalah adiknya sendiri, dan tak ada satu pun yang boleh membuat sahabatnya menangis seperti ini, ya, kecuali dirinya.
"Bilang siapa yang buat lo kaya gini? Biar gue geplak palanya," tutur Rani membuat Allicia menggeleng.
"Gue minta maaf, gue udah jelaskan ke Fajar semuanya," lirih Allicia merasa bersalah.
Kepalan tangan itu berangsur normal, tergantikan oleh tubuh lemas dan terkejut dengan apa yang di ucapkan oleh Allicia.
"Kenapa lo bilang? Lo ngelanggar janji," ucap Rani menatap Allicia dalam.
Allicia pun menghapus air matanya, "gue gak mungkin biarkan dia gak tahu, padahal lo terluka karena dia. Gue minta maaf."
Memang sebelumnya Rani sudah memberikan dirinya peringatan, bahwa tak menceritakan apa pun pada Fajar, namun kali ini, kesabaran dirinya sudah tak ada lagi. Sebagai sahabat, ia tak tega melihat Rani terluka dengan ingatan Fajar yang belum kembali.
Ketika Rani ingin membalas, suara erangan yang cukup kuat membuat Rani berlari dan meninggalkan Allicia yang ada di dekatnya. Allicia hanya bisa menangis, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Rani berlari dan membuka pintu ruangan OSIS dengan sangat kuat. Ia segera mendekati Fajar yang tengah menggulingkan badannya karena merasakan kesakitan di kepalanya. Rani pun segera meraih tubuh Fajar dan berusaha untuk menenangkannya.
"Sadar. Jangan paksa untuk lo ingat semuanya," lirih Rani merasa tak tega melihat Fajar kesakitan di pangkuan dirinya.
Mata merah Fajar pun menatap manik mata Rani yang dalam. Dapat ia lihat, bahwa Rani ada di dekatnya. Hal itu membuat Fajar terluka dan bersalah.
"Maafin, gue. Gue gak bisa ingat apa pun," ucap Fajar dengan rasa sakit yang membuat matanya memerah.
Rani pun menggeleng lemah. "Enggak, lo gak salah. Jangan buat gue khawatir, dong. Tarik napas, buang." Rani menuntun Fajar dengan suara yang bergetar menahan tangisnya.
Bagaimana tidak? Fajar sangat kesakitan karena memaksa untuk mengingat semuanya. Bahkan ia tak memaksakan agar Fajar ingat dengan dirinya, tapi kali ini, Allicia membongkar semuanya di depan Fajar. Rani tak tinggal diam, ia segera mengambil air minum dan memberikan pada pria yang tengah bersandar di dinding.
"Minum dulu," ucap Rani sembari memberikan minum dan langsung di ambil oleh Fajar yang sepertinya mulai mereda rasa sakitnya.
Fajar pun menarik napas dan menghembuskan secara perlahan. Ini terlalu sakit bagi dirinya. Bahkan seperti ada palu yang membuat sakit dan mengerang kesakitan. Efek yang sangat luar biasa bagi dirinya.
"Jangan paksakan untuk mengingat semuanya. Anggap aja apa yang Allicia omongkan angin lalu aja, ya," ucap Rani dengan keteguhan hati.
Fajar pun menatap Rani dengan mata yang berkaca-kaca, melihat Rani tegar seperti ini, justru membuat ia semakin bersalah saja. Apa lagi, ketika senyuman indah terbit dari bibirnya, itu membuat hatinya tersiksa. Senyum yang selalu mengingatkan dirinya pada seseorang yang bahkan ia tak mengenalinya.
"Gimana gue bisa lupa gitu aja? Gue kasih harapan dan nyakitin lo di saat yang bersamaan. Gue terus merasa bersalah di dekat lo. Senyum lo selalu mengingatkan gue pada seseorang, tapi gue gak tahu orang itu siapa. Sebenarnya lo siapa, sih?" tanya Fajar menahan rasa sakit.
Rani pun terdiam membisu. Pertanyaan Fajar menekan luka yang ada di dasar hatinya. Pertanyaan yang bisa meruntuhkan benteng kokoh yang ia bangun dari tadi, juga bisa membobol bendungan yang ada di matanya. Rani pun tersenyum dan menggeleng kan kepalanya.
"Gue? Partner sains lo. Udah, jangan pikirkan apa-apa, ya. Ayo bangun," ucap Rani sembari mengulurkan tangannya dan memberikan senyuman pada Fajar.
Fajar pun menatap senyum yang ia rasa menimbulkan banyak luka. Tak mungkin Allicia berbohong, sedangkan status Allicia adalah sahabat Rani. Fajar pun meraih tangan Rani, bukan untuk berdiri, namun untuk menarik tubuh Rani dalam dekapan hangat miliknya.
"Bantu gue ingat semua kenangan yang ada di antara kita. Gue gak mau kita saling menyakiti, hanya karena gue yang gak ingat apa-apa tentang semuanya. Kalau emang lo cinta sama gue, bantu gue untuk ingat semuanya," ucap Fajar dalam dekapannya.
Semua pertahanan Rani luruh seketika. Jarak dan dekapan hangat seperti ini membuat ia ingat dan mengingat jelas bagaimana Fajar mengatakan bahwa apa pun yang akan terjadi, semuanya akan baik-baik saja. Rani pun meneteskan air matanya. Ia bangun dan menatap manik mata hitam milik Fajar yang sedang terduduk di depannya. Ia mensejajarkan tubuhnya dengan Fajar. Mata yang meneteskan air mata menatap manik mata dalam milik Fajar.
"Lo bilang kita berhenti menyakiti? Lalu apa kabar dengan gue yang maksa lo buat ingat semuanya? Posisi gue serba salah, dalam hati yang paling dalam, gua mau lo ingat semuanya, tapi di hati gue, gue gak tega nyakitin lo sama sekali. Bahkan liat lo kaya tadi, menimbulkan luka tersendiri bagi gue. Terus gue harus gimana?" tanya Rani dengan ekspresi yang sedih.
"Cuman lo yang bisa bantu gue. Bantu gue ingat semuanya. Kembalikan gue ke Fajar yang dulu." Fajar menatap Rani dengan ekspresi sendu.
"Gue gak bisa. Gue gak bisa buat lo sakit. Biar waktu yang menjawab semuanya. Kita jalani aja apa yang akan terjadi sekarang. Satu yang harus lo ingat, gue gak bisa bertahan lama." Rani pun menghapus air matanya dan keluar dari ruangan OSIS.
Rani menutup pintu dengan perasaan hancur. Hancur bahwa ia tak bisa mengembalikan Fajar lagi. Ketika pintu tertutup rapat, di saat yang tepat, darah mengalir, membuat ia segera berlari dan menuju kamar mandir. Tetesan darah itu terlihat jelas di keramik koridor yang ia lalui. Untuk saja, tak ada satu pun orang yang melihat dirinya dalam keadaan lemah seperti ini. Biar semua menjadi rahasia dirinya.
#TBC.
Satu kata untuk Rani?
Fajar?
Berikan dukungan dengan cara vote dan komen sebanyak mungkin guys. Aku tunggu loh.
Jangan lupa follow akun wattpad shtysetyongrm dan Instagram shtysetyongrm.
Budayakan MEMFOLLOW kemudian membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Missing You (COMPLETED)
Fanfic"Kamu itu nyata, tapi tak terlihat ada." ~Maharani~ Kamu hanyalah ilusi terbesar bagiku. Orang lain tak bisa melihatmu, tapi aku bisa menemukan kehadiranmu di sisiku. Kamu hidup, tapi tak pernah terlihat. Kehadiranmu ada, tapi...