"Kamu itu nyata, tapi tak terlihat ada."
~Maharani~
Kamu hanyalah ilusi terbesar bagiku. Orang lain tak bisa melihatmu, tapi aku bisa menemukan kehadiranmu di sisiku. Kamu hidup, tapi tak pernah terlihat. Kehadiranmu ada, tapi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Harta, tahta, kesuksesan tak menjamin seseorang mempunyai hidup yang bahagia.
Allicia memberhentikan langkahnya, ketika tangannya di tarik oleh Rani. "Kenapa, Ran?"
Rani pun melepaskan tangannya. "Gue boleh menginap di rumah lo, gak? Gue gak mau tinggal di rumah dulu."
"Boleh, kok. Lo udah bilang?" tanya Allicia.
Rani pun tampak berpikir sejenak. Kalau ia mengatakan belum izin, maka Allicia tak akan boleh mengizinkan dirinya. Rani pun harus berbohong kali ini. "Udah, kok. Cuman jangan sampai ketahuan mobil warna hitam itu, ya."
Allicia pun menyatukan kedua alisnya. "Loh, kenapa? Bukannya dia sopir lo?"
"Bukan. Gue gak kenal. Bantu gue, ya?" tawar Rani membuat satu anggukan kepala di Allicia.
Rani dan Allicia pun masuk ke dalam kerumunan para murid yang akan keluar gerbang. Rani sudah panas dingin, ketika sopir itu sempat mengarahkan pandangannya ke arah mereka. Rani tak mau pulang, jika ia pulang, maka mamanya akan membawa dirinya ke psikiater. Jujur saja, ia tak gila. Ia masih mempunyai akal sehat.
Satu angkot pun melintas di depan mereka. Bahkan berhenti ketika Allicia melambaikan tangannya. Allicia pun menarik tangan Rani agar masuk ke dalam mobil angkot yang sesak akan pengguna. Ketika mobil itu jalan, Rani menghela napas berat. Ia berhasil kabur sekarang.
"Ran, lo gak papa naik angkot ini?" tanya Allicia seakan mengerti siapa Rani.
"Enggak, kok. Emangnya kenapa?" Rani pun menatap ke sekeliling. Walau angkot ini ramai, tapi angkot ini yang membuat dirinya merasa tenang. "Angkot ini gak terlalu buruk. Gue senang, kok. Asik juga."
"Serius lo? Padahal gue tahu, lo itu gak betah ada di sini," balas Allicia hanya mendapatkan ceingiran khas dari Rani.
Rani pun hanya mengalihkan pandangannya. Ia menatap jalan yang sangat padat. Beberapa kali, angkot itu terhenti. Bersamaan dengan itu, para penumpang pun Sili berganti turun dan berganti. Ternyata naik angkot tidak buruk juga. Mungkin setiap hari ia selalu membawa mobil mewah dan pergi pulang di antar sopir, kali ini rasanya berbeda. Citra kemewahan sekarang sudah hilang sekarang. Ia senang terbebas dari jeratan sesak, ya, walau hanya sementara.
"Pak, minggir." Allicia pun berbicara, membuat mobil itu terhenti.
"Ayo, Ran," balas Allicia setelah memberikan sejumlah uang.
Mereka berdua pun turun. Rani menatap bingung, ketika Allicia membuka gerbang mini. Bahkan rumah itu terletak di pinggir jalan membuat Rani bertanya-tanya. Apa itu rumah Allicia? Jujur saja, baru kali ini ia main ke rumah Allicia.