Ketika semuanya mengorbankan semuanya untuk kamu, tapi kamu tak memperdulikan itu.
Motor sport berwarna hitam itu membelah jalanan yang ramai lancar. Panas yang menerjang juga membuat ia silau untuk mengemudikan laju kendaraan. Kecepatan itu relatif normal dan tidak kebut.
Pikiran yang terus melayang pada kejadian dimana ia memikirkan Maharani, terus berputar di otaknya, seperti kaset yang rusak. Fajar menyipitkan matanya ketika melihat sosok wanita yang tengah bergandengan dengan seorang pria. Ya! Itu Delima, kekasihnya. Motor yang awalanya melaju, ia hentikan dipinggir trotoar jalan. Helm full face ia buka untuk memperjelas penglihatannya.
"Delima!" panggil Fajar dengan suara keras.
Delima yang berada dipinggir jalan pun tersentak kaget. Fajar? Apa itu benar Fajar kekasihnya? Ini bisa bahaya.
"Sayang, kita pergi, yuk." Delima langsung menggait tangan pacarannya untuk pergi.
Fajar yang melihat itu tak percaya. Ia menengok kanan dan kiri untuk memastikan tak ada satupun kendaraan yang lewat. Ketika ia berlari kurang lebih lima langkah, ia terdiam ketika mobil truk datang dari arah yang berlawanan dengan kecepatan abnormal.
Kaki Fajar seakan tak bisa digerakkan ketika mobil itu semakin dekat dengan jarak badan. Ia memejamkan mata, seketika ia merasakan hantaman keras di bagian kepala, juga tubuhnya yang seakan melayang di udara.
Tubuh ringan Fajar terseret jauh dari lokasi tabrakan. Tubuh itu terhenti, ketika bagian kepala, untuk kedua kalinya terhantam oleh trotoar jalan. Kepala yang bersimbah darah, juga bau anyir yang terus menguat membuat orang lain berdatangan membantu Fajar.
"Tolong! Ada orang kecelakaan, nih!" teriak salah satu warga yang mendekat menghampiri Fajar.
Fajar hanya bisa menatap langit yang terlihat indah. Nafas yang sudah menipis, juga kepala yang teramat sakit, menjadi saksi bisu dimana cinta memang selalu menyakiti hati juga pikirannya.
"Delima," gumam Fajar tersenyum kemudian menutup mata rapat-rapat.
"Cepat telpon ambulance! Kita harus tanganin dengan cepat." Salah satu dokter yang kebetulan lewat menghampiri Fajar yang terlihat tak sadarkan diri dengan kondisi yang memilukan seperti ini.
Tak lama dari itu, ambulance beserta mobil polisi merekap tempat kejadian kecelakaan. Polisi bertugas untuk menanyakan kepada sopir truk yang juga masih syok dengan keadaan yang baru saja terjadi, sedangkan para petugas rumah sakit segera membopong tubuh Fajar yang lemah menaiki ambulance. Seketika mobil ambulance itu melesat meninggalkan aspal yang bersimbah darah juga bau anyir yang menyertainya.
***
Maharani sedang terduduk di kasur miliknya. Ia meraih laptop dan mencari fakta tentang kejadian yang selalu menghampiri dirinya. Mimisan setiap saat, itu karena apa? Padahal ia anak IPA, tapi jika fakta kurang jelas, tentu ia tak percaya. Yang diungkapkan Allicia hanya sekedar opini dari sebuah observasi, belum menunjukkan fakta dan data yang sebenarnya.
"Kalo kayak gini, gue bisa mati penasaran." Maharani berceloteh sembari membuka laptop untuk mencari informasi.
Jari jemari yang lentik menyentuh lembutnya touch keyboard. Jari itu mulai melakukan tugasnya mengetik apa yang ia rasakan pada orang yang tau informasi apapun di dunia ini. Yap! Mbah Google. Sebuah layanan informasi yang bisa diakses kapan pun dan dimana pun. Eh, tapi harus punya perabot elektronik, ya. Jangan gak punya smartphone, tapi mau akses. Mau akses pakai apa? Mulut?
"Sampai sekarang gue masih gak ngerti, kenapa layanan ini disebut Mbah Google. Emang ada, orang tua didalamnya? Atau perangkat ini udah tua? Makanya dikasih nama Mbah Google?" Maharani terus saja bermonolog pada dirinya sendiri. "Gue rasa, bentar lagi layanan ini mati. Nah, dapat!" Seru Maharani ketika informasi yang ia mau terpampang jelas didepan mata.
Matanya menjelajahi kata demi kata dalam bahasa atau informasi yang ia dapatkan. Ekspresi yang terlihat santai, berubah ketika ia menemukan suatu fakta yang mengejutkan bagi dirinya sendiri.
"Informasi ini benar, gak, sih?" Maharani kemudian mencari dari sumber lain, dan informasi yang ia dapatkan pun sama saja. "Jadi, mimisan terlalu sering itu, karena penyakit kanker otak? Masa iya, sih? Atau Mbah mau bohong sama gue, ya?" Maharani berpikir keras, berusaha menyangkal informasi yang ia dapatkan.
Ketukan pintu juga masuknya seorang wanita paruh baya membuat ia menutup laptop dengan sangat cepat. Raut wajahnya menjadi dingin tak tergapai sedikit pun.
"Ran, nanti malam mama gak pulang," ucap Evi duduk disamping anaknya.
Maharani hanya memutar bola matanya kesal. Hubungan dengannya apa? Toh, selama ini tak ada waktu untuknya bercerita tentang keluh kesah yang ia rasakan selama ini.
"Rani, jawab perkataan mama," pinta Evi ingin mengelus kepala Rani, tapi ia tahan terlebih dahulu dengan cara menghindarinya.
"Apa yang harus, Rani jawab?" Maharani berkata begitu dingin pada sang mama yang terlihat menatapnya tak percaya. "Mau mama ada disini, mau pergi sekalipun terserah. Bukannya kita sama-sama gak peduli, ya?" Maharani kemudian mengambil baju di lemari pakaian dan membawa pakaian itu ke kamar mandi.
Evi hanya bisa diam ditempat. Tak tahu harus berkata apa itulah yang ia lakukan saat ini, namun saat melihat Rani menggunakan baju yang tak sewajarnya digunakan, ia pun mendekat. Untuk kalangan remaja SMA, baju itu terlalu memperlihatkan bentuk badan. Dengan gaya kerah model Sabrina, rok diatas lutut, juga rambut yang digerai membuat anaknya terlihat dewasa.
"Ganti baju, kamu." Evi meraih Rani dan menatapnya dari atas hingga bawah, seperti menilai. "Mama gak suka, kamu pakai baju seperti ini. Ini terlalu seksi sayang. Ganti, sana."
Maharani tersenyum mengejek. Terserah dia. Kenapa sekarang sang mama seolah peduli dengan apa yang ia kenakan? Ini membuat hatinya terasa sakit juga mual melihat tingkah laku yang sok perhatian seperti ini.
"Apaan, sih!" Rani menghempaskan tangan sang mama dengan suara ketus. "Enggak, usah, sok peduli. Muak tau gak." Maharani kemudian meraih tas beserta kunci mobil yang dibelikan oleh sang papa kala itu.
Terjadi percekcokan di tangga antara ibu dengan anak. Maharani muak bersikap baik-baik saja seperti ini. Perhatian sang mama membuat hatinya sakit tak terkira.
"Rani, tunggu!" pekik Evi melebar ke seluruh ruangan.
Rani seakan menulikan kedua telinganya. Maharani justru menaiki mobil dan meninggalkan halaman rumah dengan kecepatan tinggi. Maharani tak peduli dengan hidup lagi. Hidupnya penuh kemuakan. Perhatian yang terlalu dibuat-buat membuat ia merasa jijik. Dunia ini tak adil, membiarkan dirinya yang terluka, sementara mereka tak pernah merasakan apa yang ia rasakan selama ini.
"Kenapa, sih, harus gue yang seperti ini?" tanya Maharani pada diri sendiri.
Satu tetes air mata turun bersama dengan darah yang menetes dari dua lubang hidungnya. Maharani menepikan mobil dan mengambil tisu untuk membersihkan darah ini.
"Datang disaat yang tidak tepat." Maharani dengan kesal mengelap darah yang terus keluar dan tak mau berhenti.
Maharani membuang tisu yang terdapat darah keluar, namun gerakannya terhenti, ketika ia melihat bercak darah yang begitu banyak di aspal. Darah siapa itu? Baunya sangat anyir dan amis membuat Maharani bergerak cepat untuk menutup kaca jendela mobilnya.
Matanya menjelajahi seluruh aspal dari dalam mobil. Seperti ada yang kecelakaan disini. Benar. Ini adalah lokasi yang ada diberita tadi. Kenapa ia dengan bodoh memberhentikan mobilnya disini? Tepat dimana lokasi kecelakaan yang baru saja terjadi. Maharani kemudian melajukan mobil meninggalkan daerah itu.
#TBC
GIVE ME VOTMENT PLEASE 💜
JANGAN LUPA UNTUK FOLLOW AKUN WATTPAD AUTHOR 💜
KOMEN
KOMEN
KOMENTIM SIAPA?
KAMU SEDANG MEMBACA
I Missing You (COMPLETED)
Fanfiction"Kamu itu nyata, tapi tak terlihat ada." ~Maharani~ Kamu hanyalah ilusi terbesar bagiku. Orang lain tak bisa melihatmu, tapi aku bisa menemukan kehadiranmu di sisiku. Kamu hidup, tapi tak pernah terlihat. Kehadiranmu ada, tapi...