|IMY 28| Terguncang

219 37 0
                                    

Aku adalah daun, dan kamu adalah pohonInginku hanya ingin melekat kuat pada dirimu, Walau pada saatnya, aku akan gugur juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku adalah daun, dan kamu adalah pohon
Inginku hanya ingin melekat kuat pada dirimu,
Walau pada saatnya, aku akan gugur juga.

Psikiater merupakan dokter spesialis tentang jiwa manusia, barangkali jiwa manusia itu sedang terganggu. Dokter ini mempunyai peran penting sebagai penyembuh atau pengembalian jiwa manusia yang mengalmi kehilangan jiwa aslinya. Menangani seseorang yang stres dan tak mampu untuk mengendalikan dirinya sendiri, cenderung untuk menyakiti orang lain, itu lah tugas psikiater, sebagai media pemeriksaan.

Jika jiwanya tak terganggu, untuk apa harus di periksa? Begitu lah yang tengah Rani rasakan sekarang. Mamanya sudah membuat janji dengan dokter psikiater untuk mengobati jiwanya, begitu kata sang mama, tapi ia tak pernah merasa memiliki gangguan jiwa. Rani hanya bisa terdiam, ketika pada sore hari, dokter itu secara tiba-tiba datang dan tengah memeriksa dirinya. Ia benar-benar gila sekarang, apa lagi dengan tangan yang diikat juga kaki yang tak bisa bergerak membuat ia seperti orang yang tidak waras sekarang.

"Rani, ini Kak Anton. Dia Dokter psikiater yang akan menanyakan beberapa hal pada kamu. Dia ini dokter terkenal, dan biasa menangani orang yang seperti kamu." Evi pun mengenalkan seorang pria muda dengan tinggi badan di atas rata-rata tengah duduk di kursi sebelah dirinya.

Ia tak menjawab. Matanya menatap tajam ke arah sang mama yang tersenyum di atas penderitaan yang ia derita sekarang. Apa mamanya tak punya perasaan? Membiarkan anaknya yang tak gila di periksa oleh ahli kejiwaan. Rani hanya bisa meratapi nasibnya sekarang.

"Kenapa dia harus di ikat, Bu?" tanya Dokter itu merasa keheranan.

"Dia suka kabur kalau gak di ikat seperti ini," balas Evi seolah menyatakan bahwa Rani memang gila.

"Aku bukan orang gila, Ma! Buat apa panggil orang gak guna kaya dia!" sentak Rani sembari menunjuk dokter muda itu dengan telunjuknya.

"Kami hanya ingin tahu tentang jiwa kamu. Bagaimana bisa tak gila? Kalau setiap hari kamu mengatakan bahwa tengah bermain atau bercerita sama Fajar, kalau kita sendiri gak bisa lihat dia ada. See? Kamu berbicara sendiri sayang." Evi memang sering kali memperhatikan Rani yang sibuk dengan ceritanya di kamar, padahal tak ada satu pun orang.

"Harus berapa kali Rani kasih tahu? Fajar ada, Ma! Fajar bisa dilihat. Bahkan Allicia bisa lihat dia, tapi kenapa Mama enggak?" tanya Rani terus memikirkan ini.

Rani pun menatap kearah dokter muda yang tengah memperhatikan dirinya. "Katanya Dokter, tapi gak bisa bedakan mana orang yang punya masalah jiwa dan mana yang enggak. Coba Dokter perhatikan saya sekarang, apa wanita cantik seperti saya terlihat gila?"

Dokter pun menggeleng. Jujur saja, dilihat dari cara berbicara pasien yang ada di depannya, tak ada tanda-tanda kejiwaan yang terganggu. Tapi melihat bagaimana ibunya bercerita, membuat ia berpikir siapa yang harus ia percaya? Apa teman dari pasiennya ini makhluk tak kasap mata? Kemungkinan besar ini bisa terjadi, tapi ia tak percaya.

"Dilihat dari tingkah kamu berbicara dan penampilan kamu saya tak percaya, tapi ketika Bu Evi mengatakan bahwa kamu sering berbicara sendiri, membuat saya curiga. Manusia normal, tidak mungkin berbicara sendiri tanpa teman." Dokter itu pun menatap Rani. "Sepertinya kamu mempunyai masalah jiwa. Jiwa dia sedikit terganggu, Bu."

Evi yang mendengar itu hanya bisa menatap Rani dengan air mata yang menetes. Sudah ia duga, bahwa Rani memang sedang mengalami gangguan jiwa. "Lalu apa yang harus saya lakukan?"

"Jika dalam seminggu Rani tak ada perubahan, maka dengan berat hati Rani akan di masukan ke rumah sakit jiwa untuk memulihkan jiwanya yang sedikit terganggu. Untuk sementara ini, saya rasa obat penenang sudah cukup," tutur Dokter itu membuat batin Rani terguncang.

"Ma! Aku gak mau! Aku gak gila, Ma!" panggil Rani berteriak ketika kedua orang itu tanpa perasaan menyimpulkan bahwa dirinya gila sekarang.

Rani pun teguncang di tempatnya. Rumah sakit jiwa? Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia berada di sana. Rani pun berusaha untuk melepaskan ikatan itu dengan giginya, ia tak mau di bawa ke rumah sakit jiwa. Berulang kali ia berusaha, sampai pada akhirnya satu tali berhasil ia lepaskan. Ketika ia ingin membuka satu tali lagi, kedatangan sang mama membuat Rani terus menerus berusaha untuk melepaskan tali itu.

"Ali! Cepat kemari!" teriak Evi merasa panik, ketika Rani berusaha melepaskan kedua ikatan di tangannya.

Orang suruhannya pun masuk ke dalam dengan berlari dan menghadap dirinya sekarang. "Borgol kakinya akan tak bisa ke mana-mana. Sisakan kedua tangannya saja!"

Rani yang mendengar kata itu tak percaya. Bagaimana bisa sang mama mengatakan itu padanya? Air mata Rani pun menetes sempurna.

"Ma, Rani gak gila," lirih Rani sembari menatap sang mama yang sedikit menjauh darinya.

"Ini demi kebaikan kamu. Mama hanya ingin yang terbaik bagi kamu," balas Evi menahan air matanya.

"Rani gak gila, Ma. Kenapa Mama melakukan ini pada Rani? Kenapa kaki Rani harus di borgol kaya gini?" Rani pun bertanya dengan pasrah, ketika kedua kakinya di borgol dan tak bisa bergerak ke mana-mana.

"Lebih baik kamu diam! Kami hanya ingin kamu sembuh. Kami hanya ingin kamu sehat kembali. Turuti apa kata Mama, Rani. Ini yang terbaik buat kamu," ucap Evi kemudian pergi di ikuti oleh orang suruhannya.

Rani pun hanya bisa menatap kepergian sang mama dengan pandangan nanar. Di saat yang tepat, darah segar keluar dari hidungnya, membuat Rani melupakan sesuatu, hari ini seharusnya ia kemoterapi dan melakukan terapi lainnya, tapi itu semua tak berarti apa-apa. Bagaimana bisa ia menjalankan pengobatan, sedangkan untuk berjalan saja ia tak bisa.

"Tepat sekali. Mending gue mati dari pada di anggap gila," ujar Rani pada dirinya sendiri. Ia pun tersenyum dengan menyandarkan kepalanya di ranjang. "Kenapa kepala gue harus sakit lagi? Kenapa darah ini keluar lagi? Gue benci hidup ini."

Rani pun memegang tangannya erat, ketika rasa sakit di kepalanya teramat sangat sakit. Bahkan ia berulang kali menggelengkan kepalanya, ketika rasa sakit itu menjadi-jadi dan membuat dirinya tertarik pada gelombang elektromagnetik yang membuat kepalanya pusing. Jika ia boleh memilih pada takdir, ia tak ingin di berikan cobaan seberat dan selemah ini. Kenapa hanya ia yang di beri cobaan? Sedangkan mereka yang membuat dirinya tersiksa tak diberikan apa pun, malah bahagia di atas penderitaan dirinya yang dia anggap gila.

Rani tak kuasa menahan rasa sakit itu, hingga kepalanya jatuh dan terbentur ranjang dengan pandangan yang mengabur. "Fajar ..."

Hanya satu nama yang ia harapkan hadir sekarang, hanya satu nama yang bisa mengobati rasa sakitnya sekarang. Ia pun pingsan dengan keadaan darah yang terus keluar dari kedua lubang hidungnya. Mungkin ini takdir semuanya.

#TBC

Part kali ini gimana?

Give me VOTMENT PLEASE 💜

Jangan lupa untuk baca cerita aku yang lain ya. Di jamin gak kalah seru juga kok.

Yuk komen guys.

I Missing You (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang