"Sebab, di saat semua terlalu memuakkan, kamu berhak untuk tidak peduli."
...o0o...
Delia memalingkan wajahnya ketika lagi-lagi Kelvin ngotot ingin diantar ke rumah sakit. Dia kan bisa mengendarai motor sendiri, lalu kenapa harus diantar Delia?
"Gak mau."
"Ya udah, aku gak akan mau ke rumah sakit," ucap Kelvin dengan nada kecewa, lalu mencebikkan bibirnya, sungguh menggemaskan.
"Tapi luka-luka lo itu parah, gimana kalo kenapa-kenapa?" ucap Delia dengan jengah.
"Jadi kamu cemas?"
Kembali, Delia membuang muka. Ke mana saja, yang penting pandangannya tidak bertemu dengan wajah Kelvin. "Enggak."
Kelvin menghembuskan napas kecewa, dan melangkah mendekati motornya yang sejak tadi dibiarkan tergeletak begitu saja.
Delia masih mematung, tidak enak juga, tapi apa masalahnya? Ini bukan salah dia.
"Terserah kalo lo gak mau ke rumah sakit, yang sakit juga lo, bukan gue."
Usai mengucapkan kalimat dingin itu, Delia segera melangkah pergi dan kini tak berniat menoleh ke belakang apalagi menghentikan langkahnya lagi. Harinya sudah cukup lelah, dan semakin lelah karena cowok itu.
Dia ingin segera istirahat, ingat jika besok pagi harus berangkat kerja lagi. Masa bodoh dengan nasib pemuda itu. Semoga ini kali pertama dan terakhir dia bertemu cowok dengan nama sepanjang jalan tol itu.
Kelvin sebenarnya sangat ingin mengejar langkah Delia, tapi dia kesulitan untuk berjalan. Akhirnya, dia hanya bisa diam bersandar di motornya sambil memandang langkah Delia yang semakin menjauh darinya, kemudian menipiskan bibir membentuk garis lurus.
"Aku yakin Del, gak lama lagi kita akan jadi teman dekat." ucap Kelvin lalu tersenyum dengan penuh keyakinan.
🌙
Delia mengunci pintu indekosnya, kemudian melemparkan tasnya ke sudut kasur. Dia ingin menghempaskan tubuh ke atas kasur tipis di hadapannya, tapi sadar jika bajunya basah dan kotor akibat cipratan di jalan tadi. Akhirnya, dia masuk ke kamar mandi untuk segera membersihkan tubuh.
Selesai mandi dan mengenakan piyama, dia mematikan lampu dan berbaring di kasur. Matanya belum terpejam, sibuk memandang plafon yang sedikit terang karena cahaya lampu dari luar yang masuk dari celah kecil di kosannya.
Sudah hampir jam sepuluh. Hari ini terasa sangat melelahkan. Setiap hari memang begitu, selalu melelahkan bagi Delia.
Usianya belum genap 20 tahun. Harusnya, gadis seusia dia sedang di sibukkan dengan tugas kuliah. Namun, Delia bukan gadis yang beruntung. Dia harus bekerja karena tidak ada yang menghidupinya kecuali dirinya sendiri.
Delia sudah tidak memiliki siapa-siapa. Dulu dia punya seorang ibu, tapi ibunya telah tiada dua tahun lalu. Setelah ibunya tiada, dia memutuskan untuk pergi ke luar kota, mencari pekerjaan sekaligus melupakan semua kenangan di kota kelahirannya. Hingga dua tahun sudah dia berada di kota ini, dan dia tidak pernah menyangka bisa sekuat ini bertahan di tempat kerja yang tak pernah membuatnya merasa nyaman.
Sebenarnya, tidak ada yang memaksa juga dia mau bekerja atau tidak, dia menjadi gembel sekalipun tidak akan ada yang peduli. Dia sendiri bingung kenapa masih bertahan di tempat kerja yang seperti neraka itu.
Andai ibunya masih ada, mungkin hidupnya tidak akan se-menyedihkan ini. Setidaknya, dia masih punya alasan untuk membuat seseorang bangga padanya. Namun, setelah ibunya tidak ada, entah kenapa semua semangat hidupnya hilang, dia tak punya tujuan hidup lagi. Apapun yang akan terjadi pada dirinya, dia sudah siap menerima—bahkan jika dia harus mati hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.