Delia berjalan dengan cepat menaiki anak tangga, tapi kakinya terasa lemas. Langkahnya pun akhirnya terhenti, ia merasa tidak memiliki tenaga lagi untuk terus berjalan. Perlahan, ia duduk di antara anak tangga menuju kosannya itu, dan menyandarkan kepalanya pada tembok pembatas.
Hari ini sungguh melelahkan. Seharian ia bekerja terus disalahkan hanya karena melakukan satu kesalahan kecil. Ia sebenarnya sudah sangat muak bekerja di pabrik tas itu. Masuk di jam yang sama, bertemu dengan orang-orang yang sama, istirahat di waktu yang sama. Harus melihat barisan mesin yang sama, mendengar suara mesin yang sama. Semuanya serba sama, tak pernah ada yang istimewa. Sampai kapan ia akan terus bertahan? Bertahan dengan lemburan yang melelahkan. Bertahan dengan para rekan kerja yang selalu menatapnya dengan pandangan tidak suka. Bertahan dengan godaan para lelaki yang bahkan sudah ada yang beristri. Bertahan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Sungguh membosankan.
Yang jelas, Delia juga tidak mau hidupnya seperti air yang mengalir, ia ingin melawan arus. Ia tidak mau bekerja di pabrik itu sampai mati. Sudah lama ia berencana ingin resign, tapi selalu ada saja alasannya. Entah takut tidak bisa dapat pekerjaan lagi, takut menjadi gelandangan, dan lain sebagainya. Namun, kali ini tekadnya sudah bulat. Ia tidak bisa bertahan untuk tetap bekerja di sana lagi. Apalagi, gangguan Arfan semakin menjadi-jadi. Delia harus resign, bagaimanapun keadaannya nanti, ia akan tetap resign. Tidak masalah jika ia harus jadi pengangguran. Tabungannya yang lumayan sedikit, pasti cukup untuk menghidupinya selama beberapa bulan ke depan, selama ia hanya makan dengan tempe atau mie instan. Tidak masalah, yang penting hidupnya bisa lebih tenang.
"Del," Kelvin melangkah perlahan mendekati Delia.
Delia segera mendongakkan kepalanya, menahan air mata yang hampir jatuh, tapi usahanya gagal. Air mata itu malah sudah mengalir dengan lancang. Dengan cepat, Delia menyekanya. Entah kenapa, dadanya terasa amat sesak mengingat semua masalah di tempat kerja, jadi ia tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak menangis.
"Maaf," kata Kelvin, entah untuk apa ia meminta maaf.
Kelvin sebenarnya sudah menunggu lama di kosan Delia, tapi karena Delia tak kunjung pulang, akhirnya Kelvin memilih untuk menjemput Delia dengan jalan kaki. Karena ia tahu, cewek itu pasti akan sulit diajak naik motor. Ia datang ke sini dengan terburu-buru, sampai tak sempat untuk sekedar mengganti pakaiannya.
Dengan rambut berantakan, tas hitam besar berisi beberapa buku juga laptop, dan baju PDH berwarna biru tua, juga sepatu kumal. Sudah pasti sangat tidak nyaman, tapi Kelvin seolah menghiraukan semua itu.
Kelvin merasa dadanya nyeri saat melihat Delia menangis. Ia tak suka melihat seorang perempuan menangis, dan sekarang ia malah melihatnya.
"Del, kalo cowok tadi masih berani ganggu kamu, aku berani jamin, hidupnya gak akan lama lagi."
Delia diam saja, enggan memandang Kelvin.
"Apa kamu marah karena aku ngaku pacar kamu? Atau, kamu marah karena aku gak nemuin kamu selama lima hari ini? Pasti kamu kangen kan sama aku, hayo ngaku deh," ucap Kelvin berusaha mencairkan suasana.
Namun, Delia tetap enggan merespons.
"Harus kamu tau ya, gak ada niatan sedikit pun bagi aku buat nyerah. Aku gak ada nemuin kamu karena akhir-akhir ini banyak banget tugas kampus, dan kegiatan organisasi. Sampe lupa kabarin kamu, jangankan ngabarin kamu, makan aja aku sering lupa, hehehe... tapi ini serius, jadi kamu harus percaya."
Delia merasa ingin muntah mendengar ocehan Kelvin yang tidak ada hentinya. Bisakah mulut cowok itu diam saja? Sumpah, ia tidak ada mengabari Delia seratus tahun pun Delia tidak peduli.
"Del, kita lima hari loh gak ket-"
"Lo bisa diem gak sih?!" bentak Delia murka.
Delia segera bangkit dan berlari menuju kosannya. Secepat kilat ia mengunci pintu kosannya. Dan secepat itu pula Kelvin mengejarnya...
"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya Del, dan kamu gak akan bisa ngelewatin semuanya kalo terus kayak gini. Kamu butuh teman, aku yakin itu."
"Aku siap jadi teman kamu. Bahuku siap untuk jadi sandaran kamu. Kedua telinganya ku juga siap buat dengerin semua keluh kesah kamu selama ini. Tolong buka pintunya Del. Kita bisa bicara baik-baik kan?" Kelvin terus mengetuk pintu kosan itu. Sementara pemiliknya hanya diam menatap pintu itu dengan mata yang basah.
Tidak. Delia tidak membutuhkan seorang teman.
°
Hari ini sedikit berbeda dari hari biasanya. Delia merasa lebih semangat untuk bekerja, sebab ini hari terakhir ia bekerja.
Sudah menjelang sore, sebentar lagi bel pulang berbunyi. Senang rasanya mengetahui fakta jika ini terakhir kalinya ia mendengar bel pulang. Akhirnya, setelah sekian lama ia menunggu, hari ini tiba juga.
Selamat tinggal semua yang telah berlalu. Selamat tinggal pabrik yang telah mempekerjakannya selama hampir dua tahun lamanya. Selamat tinggal mesin jahit dan segala targetan yang memusingkan. Meski Delia tidak pernah memiliki teman, setidaknya mesin jahit itu telah menjadi temannya, karena waktu Delia lebih banyak dihabiskan bersama mesin jahit itu daripada berinteraksi dengan orang. Walau tak ada kenangan yang indah, biarlah semua menjadi bagian dari masa lalu yang tak boleh di lupa.
Tidak ada satu orangpun yang tahu kalau hari ini Delia resign, kecuali atasannya sendiri. Atasannya itu bertanya kenapa Delia begitu tiba-tiba ingin keluar. Seperti biasa, Delia hanya menjawab singkat, bahwa ia sudah tak nyaman lagi bekerja di sini. Jadi, tidak ada yang namanya perpisahan dengan rekan kerja sambil berpelukan atau foto bersama. Jangankan foto bersama, foto sendirian di tempat kerja saja Delia tidak pernah melakukannya. Dirinya sangat kaku jika berada di depan kamera, saking lamanya tidak pernah berfoto.
Bel yang sejak tadi ditunggu pun berbunyi. Suara nyaring dari segala penjuru pabrik itu menghamburkan ribuan karyawan. Delia tersenyum, dirinya merasa begitu lega, seolah satu beban dalam hidupnya telah terlepas. Ia berjalan dengan langkah pelan, tak seperti biasanya. Ia hanya ingin menikmati hari terakhirnya di pabrik ini. Kedua matanya menjelajah pada segala bagian yang ada di dalam pabrik. Jejeran mesin jahit, tas-tas yang belum sempurna, toilet-toilet kotor, tabung gas merah pemadam kebakaran dan segala halnya, Delia ucapkan selamat tinggal.
Untuk pemilik perusahaan, atasannya, para rekan kerjanya yang tak pernah berteman dengannya, Arfan, lelaki-lelaki yang pernah mendekatinya, sampai para satpam pabrik ini, Delia mendoakan semoga hidup mereka selalu baik-baik saja.
Melangkah ke luar dari gerbang, Delia menghirup udara dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Seolah ia baru keluar dari sel tahanan. Senyumnya tak bisa berhenti mengembang. Ia memandang seragamnya, seragam yang selalu menemani hari-harinya. Pandangannya begitu dalam, dalam hatinya ia mengucapkan selamat tinggal pada seragam merah maroon kebesarannya itu.
Jika ada yang bertanya pada Delia kapan terakhir kali ia merasa bahagia, maka Delia akan menjawab; hari ini.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.