"Del, hari ini kita harus lebih rajin ya kerjanya, meja-meja juga harus selalu bersih dan rapi," kata Mela, rekan kerja Delia. Gadis yang usianya tidak jauh berbeda dengan Delia itu sangat baik dan sudah berteman dengan Delia.
"Emang kenapa?" tanya Delia sambil mengelap gelas yang baru dicucinya.
"Big bos mau datang malam ini," jawab Lulu, yang ikut nimbrung bersama mereka.
"Iya Del. Emang kamu gak tau? Kemarin kan Brie udah kasih tau."
"Tau darimana sih Mel? Delia kan kemarin libur." ujar Lulu.
"Oh iya, lupa," ucap Mela kemudian cengengesan.
"Lagian, kenapa sih kamu gak punya hp? Kita jadi susah tau nge-hubungin nya."
"Maaf, tapi emangnya big bos itu siapa?"
"Ya orang tua Brie lah Delia. Itu Pak Theo sama Bu Hannah, ya walaupun mereka baik sih, tapi tetep aja restoran harus terlihat perfect kalo mereka datang."
"Siapa?" Delia bertanya sekali lagi.
"Pak Theo sama Bu Hannah, pemilik restoran ini. Mereka jarang ada di rumah, kerjaannya keliling dunia buat cari referensi restoran-restoran unik dan menarik gitu...."
Delia langsung membeku.
"Enak ya orang kaya, jalan-jalan terus," ucap Mela.
"Iya, yang lebih enak sih jadi Brie, udah cantik, kaya lagi. Sempurna banget deh hidupnya, mau apa-apa juga tinggal di kedip-in, langsung ada di depan mata."
"Anak tunggal lagi, semua warisan orang tuanya ya pasti cuma buat dia."
"Tapi gue heran deh, kenapa dia gak tinggal di Belanda aja ya? Ibunya kan orang sana?"
"Sejak kecil kan dia udah tinggal di sana, ya bosen kali. Lagian, siapa yang bakal ngurus restoran kalo mereka menetap di sana lagi? Bu Emma kan udah tua. Ih, gue sih males banget kalo dia ngurus restoran ini lagi, bawelnya itu loh." ucap Mela lalu bergidik ngeri membayangkan ibu dari pemilik restoran yang bawelnya minta ampun.
Delia tidak bisa mendengarkan obrolan mereka lagi. Dia sudah tidak bisa menata hatinya yang sudah tak beraturan bentuknya itu. Rasanya sungguh sakit, dan hampir saja gelas di tangannya akan jatuh andai dia tidak segera sadar dari lamunannya.
"Kenapa diem aja Del?" tanya Lulu.
"Hah? Gak apa kok."
"Kalo lo udah liat keluarga Adisaputra, gue jamin, lo pasti bakal mengkhayal pengen jadi bagian keluarga mereka juga. Siapa sih yang gak pengen? Secara, Pak Theo itu ganteng, Bu Hannah juga cantik banget. Ah, pokoknya semua orang pengen ada di posisi Brie."
×
Sejak siang hati Delia sudah tidak karuan, tapi dia selalu bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan malam ini, dirinya sudah tak tahu sedang merasakan hal apa.
Dia sibuk berdebat dengan dirinya sendiri. Bilang bahwa pemilik nama Theo Adisaputra itu bukan hanya ayahnya. Namun, kenyataan bahwa Brie bukan saudarinya justru malah semakin kecil. Dia tidak tahu harus berbuat apa nanti jika melihat wajah pria itu.
Akan pingsan kah dia? Atau dia akan menamparnya? Tidak. Dia harus selalu ingat kata-kata ibunya; bahwa dia tidak boleh membenci ayahnya. Akankah dia bisa?
Delia hanya membutuhkan ibunya sekarang, dia hanya ingin memeluk tubuh ibunya erat-erat sambil menangis di pelukannya.
"Kenapa jalan hidup gue harus serumit ini?"
"Ibu... Delia kangen... Delia butuh ibu sekarang.."
"Apa dia akan percaya Bu, kalo aku anaknya?"
Pertanyaan terakhir itu, adalah hal yang selalu menjadi keresahan Delia.
Delia tak berani keluar dari dapur sejak kedatangan dua orang istimewa itu. Dia sangat hafal wajah ayahnya meski hanya melihat dari foto lama, karena foto itu selalu dipandangnya hampir setiap malam. Seperti apa wajahnya sekarang?
Pria berkacamata yang mengenakan setelan jas hitam mewah itu tampak begitu serasi bergandengan dengan seorang wanita blasteran Indonesia-Belanda, yang sangat anggun dengan dress coklat selutut yang berkerlap-kerlip jika tersorot lampu -tidak bisa dibayangkan semahal apa harga dress itu- di samping pria paruh baya itu berdiri seorang gadis cantik dengan senyum menawan yang terus bersandar pada bahu sang ayah.
Semua pandangan pengunjung restoran terfokus pada mereka.
Theo menyapa para pengunjung dengan ramah, begitupun istrinya.
"Pa, ada waiters baru loh, dia temen aku," bisik Brie pada Theo.
"Oh ya, siapa sayang? temen kuliah kamu?"
"Bukan. Ini temennya Kelvin, tapi sekarang udah jadi temen aku juga."
"Gimana kerjanya?"
"Rajin kok Pa, sejak dia kerja di sini, resto jadi makin rame."
"Papa jadi penasaran," kata Theo.
"Kalo Mama gimana?"
Hannah hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
"Bentar ya, aku panggil dulu." Brie segera berlari dengan riang menuju dapur untuk memanggil Delia. Padahal, dia bisa menyuruh para pegawainya untuk memanggilkan Delia, tapi dia tidak memikirkan hal itu saking bahagianya.
"Del, kok gak ke depan sih?" tanya Brie pada Delia yang sudah bersiap untuk pulang.
"Jangan bilang kalo elo malu? Duh, udah deh gak usah malu. Orang tua gue baik kok. Dia mau kenal sama lo."
"Enggak deh, gue mau pulang aja."
"Lo berani nih nolak perintah bos? Gue bisa kecewa loh Del kalo lo gak mau ketemu mereka."
"Tapi kan...."
Sungguh, Delia belum siap menerima kenyataan ini. Sejak tadi dia sudah mati-matian menata hatinya agar tidak berantakan dan dia tidak mau menangis untuk pria itu.
Seperti biasa, Brie menarik tangan Delia. Meski Delia tetap menolak, tapi Brie malah semakin memaksa.
"Pa, Ma, ini Dandelion. Temen aku, cantik kan?"
Benar. Dia Theo Adisaputra ayah Delia. Lelaki yang dua puluh satu tahun lalu meninggalkan istrinya tanpa kepastian apapun. Lelaki yang tidak pernah tahu bahwa seorang malaikat kecil yang kini telah menjadi gadis menyedihkan telah tumbuh dan lahir dari rahim Diana, istrinya. Lelaki yang tidak pernah tahu sepahit apa perjalanan yang gadis itu lalui tanpa sosok ayah dalam hidupnya.
Sekarang, tolong katakan pada Delia bagaimana caranya agar dia tidak membenci lelaki di hadapannya ini?
"Tapi kalian bisa panggil dia Delia. Namanya unik ya, orangnya juga gitu."
Delia belum mengangkat tangannya untuk berjabatan dengan dua orang itu. Dia masih membeku menatap wajah Theo begitu dalam. Mempertanyakan banyak hal dalam benaknya.
Sementara Theo, hanya tersenyum kecil padanya, dan wanita di sampingnya juga melakukan hal yang sama.
Begini kah rasanya menatap wajah sang ayah? Begini kah rasanya berada di hadapan sang ayah? Harusnya Delia bahagia, tapi kenapa dia justru merasakan hal sebaliknya.
Tangannya bergetar, begitupun bibirnya. Air mata yang sejak siang berusaha sekuat hati dia tahan, akhirnya jatuh tanpa jeda. Mengalir begitu deras seperti air terjun.
Plak!
Amarahnya meledak sempurna, tanpa pikir panjang, dia menampar wajah pria paruh baya itu sekeras mungkin.
Semua orang yang berada di sana tentu menyaksikan aksinya. Kini, senyum Theo berubah menjadi wajah murka. Dia hampir akan membalas tamparan itu, tapi Delia keburu lari secepat kilat meninggalkan resto begitu saja.
TBC 🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.