19. Be Strong

397 69 0
                                    

Langit sempurna berwarna biru cerah, gumpalan awan berbentuk permen kapas menjadi penghias nya. Matahari menyongsong dengan terik-teriknya.

Meski bau asap kendaraan mengganggu indera penciuman, dan debu jalanan mengganggu sistem pernapasan. Namun, hal itu tidak menurunkan semangat Delia untuk mencari pekerjaan baru.

Sejak pagi hingga siang ini Delia masih mondar-mandir ke satu perusahaan lalu perusahaan lainnya. Kemarin dia juga sudah ikut tes di yayasan, tapi tidak lolos. Dan sekarang, surat lamaran kerjanya belum juga ada yang mau menerima. Memang tidak mudah mencari pekerjaan, Delia tahu itu, tapi dirinya tidak menyesal telah mengambil keputusan ini. Dia juga tidak sedih jika belum mendapatkan pekerjaan lagi, selama tabungannya belum habis dan dia masih bisa makan minimal satu kali sehari juga masih mampu bayar kosan.

Delia pernah merasakan hal seperti ini saat pertama kali dia datang ke kota ini. Sendirian, dompet pas-pasan, tak punya kenalan, tak punya tempat tinggal pula. Untung saja saat itu dia bisa cepat mendapatkan pekerjaan, andai dua bulan saja dia belum juga dapat kerja, mungkin sampai sekarang dia sudah jadi gelandangan. Delia menggeleng, tak mau hal buruk itu menimpa dirinya. Se-miskin apapun, dia tidak boleh jadi gelandangan apalagi mengemis meminta belas kasihan orang lain.

Kemeja putihnya sudah kusut, begitupun map coklatnya, juga rambutnya. Delia terlihat seperti pengangguran yang begitu menyedihkan.

Dalam lamunannya, dia berandai bagaimana jika dia tidak akan mendapatkan pekerjaan sampai beberapa bulan lamanya. Lalu tabungannya akan semakin menipis, dan habis. Setelah itu dia akan ditendang dari kosan karena tidak bisa membayar sewanya. Lalu, dia akan tinggal di mana? Delia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. "Tenang Del, kolong jembatan kan masih luas." ucap dirinya sendiri.

"Di samping rel kereta juga banyak gubuk tak berpenghuni, lo bisa tinggal di sana kalo mau."

"Tapi lo beneran udah siap buat jadi gelandangan?"

"Enggak sih."

"Bego! Siapa yang bakal siap kalo ditanya kayak gitu. Pokoknya, mau jadi gelandangan atau enggak, itu gak masalah, yang penting lo masih bisa makan."

"Tapi masa iya gue jadi gelandangan, emang bener ya gue gak punya cita-cita?"

"Apa seburuk itu hidup gue?"

"Gak ada yang mengharapkan lo ada Del, bahkan kalo lo mati hari ini pun, gak akan ada yang nangis-in lo."

"Iya, kayaknya hidup gue emang gak pernah diharapkan deh."

"Gue harus pergi ke mana?"

"Apa iya gue harus mati aja?"

"Enggak Delia! Lo gak sebodoh itu. Awas kalo lo berani bunuh diri!"

"Tapi gue capek hidup kayak gini... gue pengen kayak mereka, yang bisa ngerasain kehangatan keluarga... gue pengen pulang."

"Pulang ke mana? Emang lo punya rumah?"

Delia menggeleng dan menghapus air matanya ketika sadar dari lamunannya. Tidak, perasaan insecure ini tidak boleh menguasai hati dan pikirannya. Dia harus bangkit bagaimanapun keadaannya. Sungguh, berperang dengan batin selalu melelahkan.

Delia bangkit kemudian membayar es kalapa yang sudah dia minum sejak tadi sebelum melamun, lalu berjalan meninggalkan warung itu.

Saat di perjalanan, dia melihat tong sampah, dia mendekati tong sampah itu lalu membuang map coklatnya yang sudah lecek tanpa pikir panjang. Dia sudah lelah melamar kerja ke sana-kemari. Kini, dia telah memutuskan sesuatu yang membuat perasaannya jauh lebih tenang sekaligus sedih secara bersamaan.

___

"Kak Delia!!" anak-anak kecil itu berlari girang menghambur ke tubuh Delia. Delia tertawa bahagia.

Iya, Delia tidak boleh merasa sendiri dan tak berharga. Ada orang-orang yang menyayanginya, ada keluarga yang menanti kedatangannya. Dia punya rumah, dan di sinilah rumah juga tempat seharusnya dia tinggal; kolong jembatan.

Memang terdengar menyedihkan, tapi Delia merasa hanya merekalah yang bisa menerima Delia apa adanya. Dan merekalah keluarga Delia.

Sudah setahun lebih Delia mengenal tempat ini, dia sering berkunjung ke sini setiap bulan setelah gajihan, membawa banyak makanan juga mainan untuk adik-adiknya. Melihat wajah mereka yang selalu menyiratkan kebahagiaan di atas penderitaan, itulah alasan Delia masih bertahan menjalani kejamnya kehidupan hingga detik ini.

Delia merasa senang dan tenang bila memang harus tinggal di sini, tapi di sisi lain dia sedih, karena itu tandanya dia tidak akan bisa membawa makanan enak juga mainan dan uang lagi untuk mereka.

"Kalian apa kabar?" tanya Delia hangat.

Dandelion empat tahun lalu kembali jika berada di sini.

"Baik, Kakak kenapa baru ke sini lagi?" tanya seorang bocah perempuan yang berada di rangkulan Delia dengan wajah lugunya.

"Kakak sibuk, tapi mulai hari ini Kakak janji, bakal sering dateng ke sini."

"Beneran Kak?" tanya bocah lelaki berusia delapan tahunan tak percaya. Namanya, Ilham. Dia anak yang cerdas dan ceria, Delia selalu sedih ketika harus menerima kenyataan bahwa anak secerdas Ilham, tak bisa sekolah karena tak memiliki biaya.

Delia selalu bicara pada ibunya Ilham agar mau menyekolahkan anaknya, dan Delia mau menanggung biayanya, tapi ibunya selalu melarang dengan alasan tak akan ada yang mencari uang jika Ilham sekolah. Anak malang dengan otak cemerlang itu sudah tak memiliki ayah, dan dia memiliki dua adik yang satu berusia tiga tahun, satunya baru satu tahun. Jadi, mau tak mau dia harus menjadi tulang punggung keluarga dengan mengamen atau mencari botol plastik bekas untuk menghidupi keluarganya. Hati Delia selalu sesak jika mengingat fakta itu, dan dirinya harus merasa jauh lebih beruntung karena masih bisa sekolah sampai SMA.

"Iya. Dan Kakak beliin makanan nih buat kalian, kasih ayah ibu kalian juga ya," ucap Delia sambil mengangkat kantung plastik hitam besar di tangan kanannya, berisi beberapa bungkus nasi Padang.

Lima bocah itu tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. "Wah, makasih Kak."

"Oh iya, Kakak juga beliin mainan dong buat kalian," ucap Delia mengangkat satu kantong besar lagi berwarna merah.

Senyum mereka semakin lebar lagi. Delia membagikan satu per satu mainan itu pada mereka, sisanya masih di dalam plastik karena mereka belum kumpul semua. Pasti yang lainnya sedang bekerja.

"Ilham, ini buat kamu," ucap Delia memberikan tiga buah komik pada Ilham. Bocah itu senangnya luar biasa. Meski usianya baru delapan tahun dan dia belum sekolah, tapi Ilham sudah pandai membaca dan menghitung sejak setahun lalu, saat diajari Delia.

Bola mata Ilham yang cerah itu selalu berbinar setiap kali Delia ber-dongeng atau menceritakan film-film animasi yang pernah ditontonnya sewaktu kecil. Dia tidak pernah tahu siapa itu Naruto, Sasuke, Doraemon, atau karakter siapapun. Tidak ada televisi di gubuk reyot nya. Jangankan televisi, kompor gas saja tidak ada. Bila mandi pun mereka harus pergi ke kali yang airnya kotor dulu, karena tidak ada yang memiliki kamar mandi. Mengingat film animasi, ingatan Delia malah berpusat pada Kelvin. Menyebalkan! Kenapa pula cowok itu harus hadir dalam pikirannya? Delia segera membuangnya jauh-jauh.

Dia sangat bahagia ketika melihat adik-adiknya bahagia mendapatkan mainan baru dan orang tuanya yang gembira bisa makan dengan lauk yang lebih enak. Tidak masalah jika tabungannya semakin menipis, dia juga sudah siap untuk tinggal di sini, bersama mereka, bersama keluarganya.

Dandelion✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang