4. Ayah

1K 155 55
                                    

19:35

Rian melangkah cepat menaiki anak tangga. Suara pecahan barang-barang menggema di dalam rumah megahnya.

Rian meninggikan volume musiknya yang ia dengarkan lewat earphone, mencoba untuk tidak peduli dengan kerusuhan yang terjadi di ruangan tengah. Ia sangat muak mendengar pertengkaran yang terjadi hampir tiap hari itu.

Mengunci kamar, mendengarkan musik dengan volume tinggi, dan menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan wajah gusar adalah hal yang selalu ia lakukan setiap pulang sekolah.

Lihatlah, ia baru pulang sekolah semalam ini pun tidak ada yang memperdulikan.

"Kapan kamu berhenti kayak gini? Saya lelah terus dibohongi!" wanita itu berteriak diiringi isak tangis dan terus membanting barang apa saja yang ada di dekatnya. Sepuluh detik lalu sebuah pigura foto pernikahan ia banting hingga kacanya pecah.

"Membohongi apa? Saya yang lelah melihat kamu selalu bersikap seperti orang gila begini!" pria dengan setelan jas rapi yang wajahnya terlihat frustasi itu tak kalah meninggikan suaranya.

"Jangan pikir saya tidak tahu, kamu sering bermain gila dengan wanita lain, kan?"

Pria setengah baya itu bungkam, darimana istrinya tahu hal ini? Mereka memang sering berdebat, tapi biasanya yang mereka debat kan adalah kesibukan bekerja dan hal-hal sepele masalah keluarga lainnya.

Istrinya tertawa getir. "Benar kan dugaan saya selama ini? Kenapa kamu melakukan ini, Mas??" wanita dengan riasan minimalis dan pakaian kerja yang masih melekat itu kembali terisak.

"Lebih baik kamu ceraikan saja saya jika masih bersama perempuan jalang itu." cicit wanita itu pilu, kemudian melangkah memasuki kamarnya. Suaminya masih termenung dengan ketidakpercayaan.

Apa? Perempuan jalang? Bercerai?

Rian mengacak rambutnya frustasi, ia menghajar pintu kamarnya begitu keras hingga tangannya terluka. Rasanya ia ingin menghajar ayahnya juga hingga babak belur karena selalu menyakiti hati ibunya, tapi setiap ia akan melakukan hal itu, ibunya pasti akan datang dan menghalangi aksinya.

Kali ini ia sudah berjanji, akan mencari tahu kebenaran itu.

~

"Bu, liburan sekolah nanti kita ke rumah kakek-nenek ya," ucap Delia kepada ibunya yang sedang asyik mengepang rambutnya.

Diana menghentikan kegiatannya, tatapannya mendadak kosong, kali ini ia harus memberi alasan apa lagi?

"Bu, kok diem aja sih?" Delia memutar kepalanya, Diana kemudian tersenyum dan kembali melanjutkan kepangan pada rambut Delia.

"Kakek sama nenek kamu kan udah gak ada, Nak. Kamu tahu kan Ibu udah jadi yatim piatu sejak masih remaja?"

"Tapi kalo kakek-nenek dari ayah masih ada kan? Aku kan juga pengen kayak temen-temen Bu, bisa pulang kampung ke rumah kakek-neneknya setiap liburan sekolah. Apa mereka gak kangen ya sama aku? Kok, aku gak pernah tau mereka sih Bu? Padahal, aku pengen banget liat wajah kakek, mirip gak ya sama wajah ayah?"

Air mata Diana sudah mengalir deras, ia menangis tanpa terisak. Dengan cepat ia menyeka air mata itu agar Delia tidak mengetahuinya.

"Mereka juga udah gak ada, Sayang."

Delia langsung berbalik arah menatap wajah ibunya. "Kapan Bu? Kenapa Ibu gak pernah bilang? Bukannya dulu Ibu bilang kalo mereka tinggal di kampung yang jauh banget dari sini?" air muka Delia langsung berubah saat melihat mata ibunya yang sudah merah.

Ibunya menggeleng lemah sambil menunduk. "Maafin ibu, Nak...," ia kembali menangis.

Delia kemudian memeluk ibunya se-erat mungkin. "Ibu jangan nangis. Aku janji gak bakal tanya soal kakek-nenek lagi. Aku janji gak akan bahas ayah lagi." ucap Delia sambil mengusap air mata ibunya yang terus mengalir.

Dandelion✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang