Delia berdiri di depan rumah megah Theo seorang diri. Rumah berlantai tiga yang sangat luas dengan design modern. Dia menatap rumah itu dengan perasaan sakit. Di sini, orang itu hidup bahagia dengan segala kemewahannya. Sementara anaknya, hidup menderita sendirian. Jangankan merasakan hidup mewah, untuk makan dua kali sehari saja dia sering kesulitan.
Sebelum ke sini, dia datang ke restoran untuk menanyakan alamat rumah Brie pada Mela. Untung resto sedang sepi dan Brie tidak ada di sana, dan beruntungnya para pegawai juga sedang sibuk bekerja, jadi tak banyak yang tau kehadirannya. Di sana dia dilemparkan banyak pertanyaan oleh Mela, tapi dia hanya menjawab sekenanya saja, dan langsung pergi ketika sudah mendapat alamat rumah Brie.
"Siapa ya?" tanya satpam di rumah itu saat membukakan Delia gerbang.
"Temennya Brie."
"Oh. Apa sudah buat janji?"
Ya Tuhan, ingin masuk ke rumahnya saja sulit sekali.
"Udah." jawab Delia sekenanya.
"Sebentar ya, saya beritahu nyonya Brie dulu."
"Kan udah bilang saya udah buat janji, kenapa harus kasih tau lagi?" tanya Delia semakin jengah.
"Karena nyonya Brie tidak ada memberitahu bahwa hari ini ada temannya yang akan main."
Delia berdecak. "Udah deh, saya bukan maling. Tolong biarkan saya masuk."
"Maaf, saya tidak bilang anda maling ya, kenapa begitu ngotot ingin masuk?" satpam itu mulai tersulut emosi.
"Siapa sih Pak?" tanya Brie yang berjalan menghampiri karena penasaran saat mendengar suara ribut dari halaman rumahnya.
"Ini Non, orang ini ngotot mau masuk, padahal belum ada buat janji."
"Biarin dia masuk Pak."
Satpam berkulit hitam itu kemudian mengangguk dan membiarkan Delia masuk...
"Gue ke sini bukan buat minta maaf."
"Oh ya? Lo pernah bilang, ini gak ada hubungannya kan sama gue? Kebetulan nanti malam ada acara keluarga dan sekarang di dalem lagi banyak orang. Lo bisa ngomong sama bokap gue di depan mereka dan gue gak akan ikut campur."
Kebetulan sekali. Biar saja. Biar semua orang tau rahasia ini.
Delia masuk ke dalam rumah yang terlihat ramai itu, di dalam sana ada banyak para pekerja yang terlihat sedang sibuk menata ruang tengah dengan pita dan beberapa meja bundar yang dipenuhi beragam makanan serta minuman. Entah akan diadakan acara apa, Delia tidak peduli.
Delia terlihat seperti gembel yang salah masuk rumah. Pakaiannya sangat berbeda dari keluarga Adisaputra. Bahkan, jika dibandingkan dengan pakaian para pekerja itu, baju mereka lebih menarik dari baju Delia.
"Mereka ada di belakang."
"Tapi gue cuma mau bicara sama bokap lo." ucap Delia setelah banyak berpikir-dia merasa tak sanggup jika harus bicara di depan keluarga Adisaputra.
"Gak bisa. Ayo ikut gue."
Brie melangkah ke halaman belakang rumahnya. Diikuti Delia yang berjalan dengan langkah ragu...
"Oh, anak ini. Berani juga datang ke sini," ucap Hannah dengan wajah sinis.
"Siapa dia, Sayang?" tanya seorang wanita tua pada Brie. Dialah Emma, ibunya Theo.
"Kenalin diri lo, Del." perintah Brie.
Delia berdiri dengan tubuh kaku. Ada banyak orang di sana, dan semuanya adalah keluarga Brie. Mereka menatap Delia dengan wajah merendahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.