32. Di Ujung Lelah

548 76 1
                                    

"Gue udah lelah, Vin." ucap Delia dengan mata sendu. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding kosan sambil memeluk kedua lututnya dan menatap kosong langit yang saat ini mendung.

Kelvin duduk di sampingnya, tangannya diletakkan di atas sebelah kakinya yang ditekuk. Ia tahu masalah Delia apa. Brie sudah menceritakan semuanya, dan tentu ia berpihak pada Delia.

"Istirahat, tapi gak boleh nyerah." kata Kelvin.

Masalahnya, meski Kelvin peduli pada Delia, ia tidak akan tahu kan kesakitan seperti apa yang Delia rasakan selama ini? Kelvin tidak akan tahu semua derita Delia.

Delia merasa sangat lelah. Tolong katakan pada Delia, bahwa ia terlalu bodoh jika ingin menyerah.

"Lo gak akan tau apa yang gue rasain Vin. Sejak bayi gue gak pernah tau siapa ayah gue, dan setelah gue tau siapa dia, dia malah membenci gue dan gak mau terima gue," lirih Delia mengeluarkan perasaan sesak di hatinya.

Kelvin tahu, saat ini Delia hanya butuh didengarkan, ia memilih tak banyak bicara. Membiarkan Delia mengeluarkan semua kesaktiannya selama ini.

"Sakit Vin..." Delia menjeda ucapannya selama dua detik. "Kalo kehadiran gue emang gak diinginkan, terus kenapa gue harus ada? Gue gak minta dilahirkan ke dunia ini, tapi kenapa seolah-olah gue yang salah di sini? Tolong bilang sama gue Vin, gimana caranya... gimana caranya biar gue gak benci sama diri gue sendiri?"

Kelvin memandangnya dalam, lalu mendekapnya erat. Ia bingung harus berkata apa, begitu pelik hidup Delia. Pantas saja untuk tersenyum pun ia sangat sulit.

"Gak ada yang menginginkan gue Vin... gak ada. Kehadiran gue adalah sebuah kesalahan. Gue gak pantes hidup di dunia ini."

"Enggak, Delia. Jangan bilang seperti itu."

"Kenyataannya memang begitu. Dunia ini jahat, semesta gak pernah berpihak sama gue. Apa gue harus mati aja?" tanya Delia sambil melepaskan pelukan Kelvin perlahan, lalu menatap pemuda itu, meminta jawaban.

Kalian boleh bilang Delia sudah kehilangan akal. Karena kenyataannya mungkin seperti itu. Lihat saja, rambutnya berantakan, pandangannya kosong, dan pikirannya kacau. Apalagi hatinya, sudah tak beraturan lagi bentuknya.

Kelvin tak memberi jawaban, ia hanya menggeleng dengan tatapan sendu.

"Gue udah capek Vin... capek banget... mungkin ini saat yang tepat untuk mati. Tolong kasih tau gue Vin, gimana caranya cepat mati tanpa harus bunuh diri?"

Kelvin tak bisa menjawab pertanyaan konyol Delia.

"Jawab gue Vin, gimana caranya?" desak Delia.

"Berhenti bicara begitu Del. Hidup kamu masih berlanjut, roda kehidupan masih berputar. Kamu gak sendirian, aku ada di sini."

Delia menggeleng, lalu menyeringai. "Omong kosong. Suatu saat nanti lo pasti bakal ninggalin gue juga."

"Enggak Delia, itu gak akan pernah terjadi." Kelvin tak ada lelahnya terus meyakinkan.

"Akan terjadi. Usia kita akan semakin tua. Lo lulus kuliah, kerja, terus nikah. Cewek lo gak akan suka kalo lo masih berteman sama gue. Dan akhirnya, gue sendiri lagi." kata Delia lalu tersenyum miris.

"Aku hanya akan menikah sama kamu." ucap Kelvin serius.

"Itu gak akan pernah terjadi." tampik Delia mengulangi ucapan Kelvin.

"Aku mencintai kamu. Dan kalo kita berjodoh, kamu gak akan bisa mengelak Del."

Mata Delia menatap Kelvin tajam. Apa cowok itu tidak salah bicara?

Dandelion✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang