Rombongan burung bersayap hitam terbang elok menuju pulang ke sarang mereka masing-masing, langit mulai berwarna kemerahan dari ufuk barat. Jalanan cukup ramai, sebab para karyawan berhamburan pulang.
Delia tersenyum melihat para karyawan yang berhamburan pulang, senyum miris lebih tepatnya. Dia merasa iri pada mereka, yang bisa pulang ke rumahnya, melepas lelah dengan berkumpul bersama keluarga. Seperti apakah rasanya? Bolehkan Delia merasakannya sekali saja?
Kadang, dia sering tak sadar meneteskan air mata saat malam datang, menangisi hidupnya yang hanya berteman dengan kesunyian.
Delia selalu merindukan ibunya, dia juga sering bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ayahnya masih hidup? Dan jika ayahnya masih hidup, apakah mungkin dia akan mengakui Delia sebagai anaknya? Kadang, keinginan untuk mencari ayahnya sering terlintas dalam benak Delia. Namun, dia juga sungguh takut hal buruk yang selama ini sering menghantuinya akan terjadi. Apalagi mengingat jika ayahnya dulu pergi tanpa alasan apapun. Delia yakin, jika masih hidup, pria itu pasti sudah bahagia bersama keluarga barunya.
Sebenarnya Delia juga sangat muak menjalani hidup seperti ini. Dia butuh teman, itulah faktanya. Namun, dia terlalu pengecut untuk mengakui hal itu. Benar yang Kelvin katakan, Delia masih terjebak di masa lalu.
Dia masih tak percaya jika Kelvin sungguh ingin menjadi temannya. Jika dia mau menjadi teman Kelvin, dia takut dunianya akan berubah, dari yang buruk menjadi lebih buruk. Dia tahu Kelvin punya banyak teman, dan dia takut jika nantinya semua teman Kelvin tidak ada yang menyukainya. Apalagi Delia cukup sadar diri, jika dirinya dan Kelvin itu berbeda. Pergaulan merekapun berbeda. Kelvin terlalu tinggi untuk Delia raih, dan dia terlalu rendah untuk Kelvin raih. Itulah yang Delia pikirkan, dia memang terlalu pesimis.
Sudah lima hari Kelvin tidak menemui Delia. Cowok itu hanya mengganggu Delia lewat puluhan pesan dan panggilan yang tak pernah Delia jawab, itupun sudah berlalu dua hari lalu karena ponsel Delia sudah rusak. Delia berharap, semoga kali ini Kelvin benar-benar menghindarinya, dan menyadari kebodohannya karena terus mengemis ingin menjadi teman Delia.
"Delia," Delia berdecak sekali dan menendang kerikil yang ada di depannya. Itu pasti suara Arfan yang Delia yakini akan mengajak pulang bareng, tapi kali ini, Delia tidak mendengar suara motornya.
Sepasang kaki jenjang itu berlari mengejar Delia. Delia menghentikan langkahnya di samping jalan yang agak sepi.
"Del, kali ini kamu gak boleh nolak pulang bareng saya, karena saya gak bawa motor. Kita jalan bareng ya?"
Delia menatap Arfan tak percaya, seingatnya Arfan pernah bilang kalo rumahnya itu cukup jauh, tapi kenapa hari ini dia tidak membawa motor?
"Bukannya rumah Bapak jauh?" sudah kebiasaan Delia memanggil Arfan dengan sebutan bapak. Meski usianya baru 27 tahun, tapi Arfan adalah atasan Delia, jadi Delia harus menghormatinya. Padahal, Arfan tidak suka dengan penggilan itu, karena dirinya belum merasa cukup tua untuk disebut bapak.
"Kebiasaan deh, selalu panggil saya Bapak, saya gak suka itu ya. Kamu santai aja, ini kan udah di luar pekerjaan," kata Arfan.
Delia hanya mengangguk, walau sebenarnya dia sangat tidak nyaman. Dia yakin meski ini di luar pekerjaan, keesokan harinya pasti akan tetap jadi bahan gosip, sebab akan ada saja orang yang tahu kedekatan mereka. Padahal, Delia tidak pernah merasa punya hubungan apa-apa dengan Arfan.
"Emang jauh sih, tapi tenang aja. Setelah nganterin kamu sampe kosan, saya bisa naik angkot."
"Gak perlu nganterin, kosan saya deket kok."
"Saya kan mau tau kosan kamu Del, biar bisa main. Oh iya, kenapa nomor kamu gak bisa dihubungin?"
"Rusak."
"Kok bisa? Apa kerusakannya parah? Mungkin saya bisa bantu."
"Oh, gak apa kok, gak perlu dibantu."
"Kamu kenapa sih selalu bersikap dingin sama saya? Apa karena omongan orang-orang? Atau, kamu memang tidak menyukai saya?" tanya Arfan tiba-tiba, lalu menggenggam tangan Delia.
Delia yang kaget langsung berusaha melepaskan genggaman itu, tapi terlalu erat hingga dia kesusahan.
"Jawab Delia," desak Arfan.
"Lepas dulu tangan saya."
Air muka Arfan mulai berubah. "Tidak, sebelum kamu jawab pertanyaan saya," ucapnya tegas. "Apa kamu masih belum percaya bahwa saya benar-benar mencintai kamu? Harus dengan cara apalagi saya meyakinkan kamu? Selama ini saya selalu berusaha sabar memahami dan menunggu jawaban kamu, tapi kesabaran seseorang juga ada batasnya, Del."
Arfan menatap lekat-lekat iris coklat Delia. Sementara Delia hanya bisa mengumpulkan napas sebanyak mungkin, menahan kesabarannya.
"Kalo Bapak lelah, silahkan lupakan saya." ucap Delia setelah menghembuskan napas gusar.
Arfan tersenyum kecut. "Semudah itu kamu bicara? Kamu pikir hati saya ini apa?" tanya Arfan dengan wajah tidak habis pikir.
"Belajarlah Del, belajar buka hati kamu buat saya."
Delia menggeleng. "Gak bisa Pak, maaf."
"Kenapa?"
"Bapak sadar kan Bapak siapa dan saya siapa? Bapak itu staf dan saya hanya operator biasa. Bapak sudah tau kan saya ini orangnya seperti apa? Jadi tolong, jangan paksa saya untuk menyukai Bapak." tegas Delia.
"Kamu terlalu merendahkan diri. Bagi saya, kamu lebih dari istimewa Delia."
"Tapi saya gak peduli. Saya gak suka sama Bapak, dan Bapak harus sadar itu!" bentak Delia, membuat Arfan semakin mengeratkan genggaman tangannya.
"Tidak. Kamu harus jadi milik saya." tekan Arfan tepat di depan wajah Delia.
"Lepasin tangannya," ucap seseorang hingga membuat Delia dan Arfan langsung mengalihkan pandangannya ke orang itu.
Kelvin, cowok itu sudah berdiri di sana sejak tadi di belakang Delia, dan tentu dia mendengar semuanya.
"Apa lo gak dengar ucapan gue? Lepasin tangan Delia." ucap Kelvin sambil berjalan mendekati Delia.
Arfan menggeleng tidak peduli.
"Siapa lo?" tanya Arfan.
"Gue pacarnya Delia, puas lo." balas Kelvin dengan wajah menantang.
Delia menatap Kelvin tajam, lancang sekali mulutnya, batin Delia kesal.
Arfan kemudian menatap Delia, meminta penjelasan. "Bener Del?"
Delia berpikir cukup lama, hingga kemudian dia malah mengangguk pelan.
Arfan akhirnya melepaskan tangan Delia, meski perasaan panas seperti menjalar ke seluruh dadanya sejak kehadiran Kelvin.
"Cuma pacar, gak ada jaminan kalian berjodoh. Delia tetap akan menikah sama gue."
Kelvin terkekeh geli mendengar penuturan Arfan. "Dih, ngarep si Bapak! Udah deh, mendingan pergi aja, sebelum gue ngajak baku hantam."
"Lo pikir gue takut?"
"Oh, jadi ngajakin berantem nih?"
Keadaan malah semakin panas. Dua lelaki itu kini saling beradu tatapan tajam, Arfan bahkan sudah mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, seolah bersiap melemparkan tinjuan ke wajah Kelvin.
Tidak ingin ikut campur dalam urusan yang sangat tidak penting bagi Delia, dia pun memutuskan untuk pergi begitu saja, meninggalkan dua lelaki yang hatinya memanas karena dirinya itu. Sungguh, apapun yang akan terjadi pada dua lelaki itu, Delia tidak ingin peduli, masa bodoh apapun yang akan menimpa mereka. Dia hanya ingin menenangkan hatinya sekarang, dan tidak boleh ada yang mengganggunya.
TBC🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.