"Sunyi, gelap, dan sendirian. Sungguh aku benci, tapi hanya merekalah temanku."
.
22:23
Seperti malam biasanya, tidak ada suara apapun di dalam kosan dua petak itu kecuali suara hembusan napas gusar penghuninya.
Delia berusaha menjernihkan pikirannya. Dia mencoba untuk melupakan perasaan konyolnya jika Brie adalah saudarinya, tapi kenyataannya, hal itu malah semakin menyiksa dirinya.
Semakin dia tahan, dadanya malah semakin nyeri, dan nyeri itu sudah menjalar ke seluruh hatinya.
Pikirannya porak-poranda. Satu persatu pertanyaan mulai muncul dalam sanubarinya. Bagaimana jika ayahnya memang masih hidup? Bagaimana jika Sabrina Adelaide Adisaputra itu adalah saudarinya? Apa yang harus dia perbuat?
Suatu sore yang mendung....
Gadis itu terus menangis dan tak hentinya mencium tangan ibunya. Ibunya yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Sudah tiga hari Diana di rawat, bukannya semakin membaik, hasilnya justru malah sebaliknya. Keadaannya semakin memburuk. Dokter sudah mengatakan agar Delia harus tabah menerima kenyataan apapun yang akan terjadi pada ibunya.
Sejak ibunya di rawat, tak ada lelahnya Delia mengurusi segala kebutuhannya. Dia bolak-balik sendirian, kerja lebih keras untuk membayar biaya rumah sakit sendirian, tak ada satupun orang yang membantunya. Hanya Delia dan ibunya yang berjuang.
Dan sore ini, keadaan Diana semakin menghawatirkan. Tubuhnya sudah tak bisa digerakkan, kecuali mulutnya yang sejak tadi terus bergumam.
"Ibu mau bicara apa?" tanya Delia lirih. Sejak tadi mulutnya tak lelah terus memanjatkan doa agar Tuhan menyembuhkan ibunya.
Delia sangat berharap Tuhan mau mengasihinya dengan tidak mengambil nyawa ibunya saat itu juga. Dia sangat berharap ibunya bisa kembali sehat dan tidak akan meninggalkannya sendirian. Di dunia ini, harta paling berharga Delia hanyalah ibunya. Dia tak memiliki siapapun selain ibunya. Dan dia sangat belum siap jika harus kehilangan ibunya secepat ini. Dia masih sangat membutuhkan kasih sayang dari wanita yang telah melahirkannya itu.
"Sayang...." tangan Diana berusaha meraih puncak kepala Delia.
"Iya Bu, Ibu mau bicara apa?"
"Ayah...." suara Diana amat kecil dan hampir hilang. Namun, Delia berusaha memahaminya.
"Iya, ayah kenapa?" tanya Delia menggenggam kuat tangan lemah Diana yang diselingi infusan. Tangan itu bergetar hebat dan terasa sangat dingin.
Diana membuka mulutnya, berusaha terus berbicara. Napasnya semakin tak teratur. Suhu tubuhnya sudah jauh dari kata normal. Delia panik, ingin segera memanggil dokter, tapi tangan lemah itu melarangnya.
"Ja-jangan... benci... ay-ah ka-mu...."
Delia hanya mampu mengangguk dengan air mata yang sudah mengalir deras.
Ibunya semakin sulit meraih napas. Dia berusaha mengucapkan syahadat.
"Asy-ha-du...."
Delia semakin mengeratkan genggaman tangannya. "Asy-hadu an laa ilagaha illallah...." tuntun Delia, ibunya kemudian mengikuti dengan terbata.
"Wa asyhadu anna muhammadar rasulullah...."
"Wa asy-hadu ann-a muhham-madar rasul-ullah...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.