Dandelion
Nama itu benar-benar mengganggu Theo. Dia sulit untuk berpikir jernih sejak anak itu datang dan mengaku sebagai anaknya.
Theo berpikir, sebenarnya apa mau anak itu? Benarkah dia anak Diana? Dan benarkah wanita yang dia tinggalkan dua puluh satu tahun lalu itu sudah meninggal? Lantas, apa Diana tidak menikah lagi?
Diana saat itu masih sangat muda, dan sangat cantik tentunya. Theo memang pernah sangat mencintainya, tapi dia lebih mencintai ibunya. Dia tidak mau menjadi anak durhaka. Dia tak mau membuat orang tuanya dipermalukan karena dia menikahi perempuan miskin yang sudah tidak memiliki orang tua. Meski berat, dia terpaksa harus meninggalkan Diana begitu saja untuk menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya.
Karena Hannah tak kalah cantik, tak sulit bagi Theo untuk melupakan Diana. Sekali dua kali dia memang masih sering merindukan perempuan itu, bahkan sering memimpikannya. Tapi dia berpikir, untuk apa dia mengingat perempuan itu lagi? Dia pasti sudah memiliki suami baru, mengingat jika dulu begitu banyak lelaki yang menyukai Diana.
Diana harus memiliki lelaki yang lebih baik darinya. Sebab dia tidak mungkin bisa sukses tanpa bantuan orang tuanya. Theo tidak mau hidup susah, apalagi jika harus susah bersama istri dan anak-anaknya kelak. Oleh sebab itu, dia sudah mengikhlaskan Diana untuk dimiliki oleh lelaki lain.
Dan setelah dua puluh satu tahun berlalu. Setelah Theo bahagia hidup bersama istri dan anaknya. Setelah karirnya sedang berada di puncak kesuksesan. Kenapa anak itu harus datang?
Theo tidak mungkin percaya begitu saja, sekalipun anak itu menangis darah di hadapannya.
Bisa saja kan dia punya niat jahat pada keluarganya? Atau, dia memang anak Diana, tapi dari lelaki lain?
Apa gadis itu pikir Theo akan luluh melihat air matanya? Tidak. Theo tidak akan pernah percaya jika gadis itu anaknya. Sampai kapanpun.
Namun, di saat anak itu tidak lagi menemuinya. Dan seolah hilang ditelan bumi. Kenapa dia justru malah semakin mengganggu pikiran Theo?
"Kamu kenapa?" tanya Hannah saat melihat wajah gelisah suaminya akhir-akhir ini.
Perempuan itu lalu duduk di samping Theo, di sofa ruang kerjanya.
"Bagaimana jika dia memang anakku?" tanya Theo dengan nada lemah.
"Jadi kamu mulai percaya dengan ucapan anak itu?" tanya Hannah.
Hannah sudah tahu jika Theo pernah menikah siri. Karena Theo pernah mengatakan hal itu sebelum menikahinya, dan karena awal melihat Theo dia sudah dibuat jatuh cinta, maka dia tidak mempermasalahkan hal itu.
Tidak pernah ada dalam benaknya bahwa Theo memiliki anak dari mantan istrinya itu, tapi jika itu memang terjadi, Hannah harus berbuat apa? Dia juga tidak bisa kan menyalahkan Theo apalagi anak itu?
"Aku juga bingung."
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan jika dia memang anak kamu?"
"Tidak mungkin."
"Jika mungkin?"
Theo kemudian memandang wajah istrinya lekat. "Apa kamu akan menerimanya? Atau, kamu akan meninggalkan aku?"
Hannah mengulum senyum lembut, lalu menggenggam lengan besar suaminya. "Apapun yang akan terjadi, aku tidak akan mungkin meninggalkan kamu," ucapnya. "Tapi bagaimana dengan kamu? Bisakah kamu menerima anak itu?"
Theo menggaruk rambutnya frustasi. "Aku bingung Hannah. Aku benar-benar bingung. Tentu aku tidak percaya dengan anak itu, tapi... kenapa ucapannya selalu mengganggu pikiranku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.