Kelvin masih setia berdiri di depan pintu kosan Delia, bahkan kini ia sedang asyik bersandar sambil bersiul-siul. Andai Delia membuka pintu itu secara tiba-tiba, Kelvin pasti akan langsung jatuh dengan mengenaskan ke dalam kosan Delia yang sempit itu.
"Mau sampai kapan Del mengurung diri? Tenang, akan selalu aku tungguin kok."
Sudah setengah jam lebih Delia belum membuka pintu itu kembali, dan membiarkan Kelvin ngoceh sendiri. Biar saja, biar mulutnya sampai berbusa, lalu ia lelah dan pergi. Itu yang Delia harapkan.
"Walah, yakin mau tetep nunggu? Kalo dia gak mau keluar sampe besok gimana?" sahut pria yang sedang sibuk memberi pakan untuk kedua burungnya, dengan logat Jawa yang kental.
Merasa bosan, Kelvin kemudian menghampiri pria paruh baya itu, dan menyapanya dengan hangat.
"Emang bakal tahan gitu Pak, dua hari di dalem kosan?"
"Jangankan dua hari, seminggu aja Delia bertahan."
Kelvin melebarkan bola matanya tak percaya. "Ah, masak sih Pak? Gak percaya saya."
"Ya siapa juga yang suruh percaya, wong Bapak cuma bercanda," ucap pria itu lalu tertawa.
Kelvin menggeleng tak habis pikir. Garing sekali candaan bapak ini, pikirnya.
"Kenalin, Pak Ganjar, wirausahawan pakan burung." Pak Ganjar dengan bangga memperkenalkan diri.
Kelvin menerima jabatan tangan Pak Ganjar dengan senang hati. "Kelvin, pemilik distro yang sudah bercabang di sepuluh negara."
Pak Ganjar kemudian menatap Kelvin takjub. Namun, sedikit tak percaya.
"Tapi bohong Pak, hahaha...."
Merasa kesal, Pak Ganjar kemudian mengibaskan tangannya sambil mendengus.
"Tapi bener kok, saya punya distro. Kalo Bapak gak percaya, akan saya kasih alamatnya, Bapak boleh datang ke sana."
"Beneran? Baik, nanti akan Bapak pikirkan. Asal kalo Bapak ke sana, kamu kasih gratis ya?"
"Dasar manusia." batin Kelvin menyesali ucapannya.
"Ngomong-ngomong, kamu ini pacarnya Delia?"
Tidak mau berbohong, Kelvin hanya menjawab dengan gelengan kepala disertai senyuman kecil.
"Masa sih? Kalo bukan pacar, lalu siapa? Setahu Bapak, dia itu jarang sekali kedatangan tamu apalagi laki-laki, atau mungkin gak pernah?"
"Pak Ganjar bercanda apa serius nih?"
"Ya serius lah, memang begitu yang Bapak tahu."
Kelvin semakin tertarik berbicara dengan Pak Ganjar.
"Dia itu jarang ada di kosan, sibuk bekerja. Kemarin saja sepertinya pulang malam lagi, dan kalo ada di kosan, jarang sekali keluar apalagi ngobrol sama tetangga, paling hanya ke minimarket saja," ujar seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster, muncul dari dalam kosan Pak Ganjar.
"Kalo ditanya pun paling jawabnya hanya singkat, jarang senyum pula. Padahal anaknya cantik, masih muda lagi. Sayang sekali kalo hidupnya hanya di habiskan untuk bekerja," lanjut ibu itu menceritakan Delia.
Kelvin hanya diam mendengarkan, rasa keingintahuannya semakin meronta.
"Ya bagus dong Bu kalo masih muda sudah rajin bekerja, biar sukses di hari tua," ujar Pak Ganjar pada istrinya.
"Memang sih, tapi kan lebih bagus lagi kalo punya waktu juga buat main, atau bersosialisasi dengan orang gitu. Biar hidupnya tidak membosankan," belum selesai ibu itu bicara, suara pintu terbuka terdengar dari kosan Delia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.