"Ngapain lo ke sini?" tanya Delia dingin pada Brie.
Keduanya kini saling beradu tatapan tajam.
"Jelasin sama gue, apa maksud lo nampar bokap gue?"
"Karena dia punya banyak salah sama gue." ungkap Delia sambil mencengkram erat pagar besi di belakang kosannya.
"Salah? Dia bahkan gak kenal sama lo. Dan harus lo tau, keluarga gue bisa aja laporin lo ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik kalo lo ngomong yang enggak-enggak."
"Gue gak takut, laporin aja. Bakal gue jelasin semuanya nanti di depan polisi."
"Maksud lo apa hah?! Lo berani berurusan sama keluarga Adisaputra?!"
Tanpa Brie tahu, bahwa Delia juga bagian dari keluarga mereka.
"Mau lo apa sih? Ingat, gue udah baik ya sama lo. Lo butuh kerjaan gue kasih, tapi lo? Lo bahkan gak ada pamit keluar atau minta maaf. Apa lo gak tau caranya berterima kasih? Atau, orang tua lo gak pernah ngajarin etika yang baik sama anaknya?"
Delia memejamkan matanya. Tidak, dia harus kuat dan tidak boleh emosi apalagi sampai menangis.
"Gue mau lo minta maaf sama bokap gue sekarang."
"Gak mau."
Merasa sangat dongkol, Brie akhirnya menarik rambut Delia dengan kasar. "Heh cewek bar-bar, lo harus sadar diri dong lagi bicara sama siapa sekarang!" berangnya.
Delia melepaskan tangan Brie dengan kasar. "Gue gak peduli ya lo anak siapa. Gue gak punya urusan sama lo. Yang salah itu bokap lo. Jadi lo gak usah ikut campur!"
Kali ini Brie mencakar wajah Delia dengan kuku-kuku panjangnya. "Ya karena lo punya salah sama bokap gue, jadi ini ada hubungannya sama gue! Gue cuma mau lo jelasin apa salah bokap gue dan minta maaf sama dia! Lo yang salah bego!"
Plak!
Delia menampar wajah Brie dengan keras. Hanya karena dia orang tak punya, bukan berarti dia bebas dihina dan direndahkan seperti ini.
Brie menatapnya dengan mata memerah menahan amarah, dia ingin membalas tamparan itu, tapi urung karena kehadiran sosok pemuda yang kini sudah berdiri di belakang Delia.
"Delia," panggil Kelvin.
Delia segera memutar tubuhnya, dia menatap wajah Kelvin yang sangat jelas sedang menyimpan kekecewaan.
Kelvin mendekat, lalu mengusap pipi merah Brie dengan pelan, dia memandang Delia tak habis pikir.
"Aku kecewa sama kamu," desis Kelvin menatap Delia penuh kekecewaan, lalu menarik tangan Brie untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Delia menggeleng, mulutnya bergetar ingin menjelaskan semuanya pada Kelvin. Dia menggenggam sebelah tangan kosong Kelvin, hatinya memohon agar Kelvin tetap di sini.
Namun, Kelvin melepaskan tangannya perlahan dan pergi tanpa senyuman yang biasanya selalu dia tampilkan pada Delia.
"Jangan pergi Kelvin, gue mohon... gue butuh lo... jangan tinggalin gue sendiri."
~
"Masih sakit?" tanya Kelvin setelah selesai mengobati luka di wajah Brie.
Kelvin membawa Brie ke rumahnya, dan dengan cepat dia mengobati wajah Brie yang lebam karena tamparan keras Delia.
"Sedikit," jawab Brie, lalu meringis.
"Makasih ya Vin, lo udah belain gue."
"Gak ada yang gue belain kok. Gue bahkan gak tau masalah kalian apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.