20. Sebuah Pengakuan

525 73 4
                                    

Langkah Delia terhenti ketika sosok pemuda jangkung tengah berdiri di puncak tangga.

Pemuda itu kali ini tidak memberikan senyuman manisnya yang biasa selalu dia tebarkan pada Delia, yang Delia temukan hanya tatapan mata tajam dengan lipatan tangan di dada.

"Kenapa gak bilang kalo udah berhenti kerja?" ucap Kelvin, terdengar agak ketus.

Dia kecewa pada Delia, karena dirinya baru tahu kalau Delia sudah tidak bekerja, itupun yang memberitahunya adalah tetangga kosan Delia. Meski bahagia juga, karena berarti lelaki yang dulu Kelvin panggil bapak itu tidak akan mengganggu Delia lagi.

"Ini masalah gue, gak ada hubungannya sama lo." balas Delia, tak kalah ketus.

"Tapi aku teman kamu, apa gunanya teman kalo gak bisa saling bantu?"

Delia tidak merespons. Dia sudah kelelahan hari ini, pakaiannya bahkan sudah tak beraturan lagi.

Kelvin mendekati Delia. "Del, kalo kamu emang butuh kerja, bisa kok kerja di distro aku, dan aku akan bayar seperti gaji di tempat kerja kamu sebelumnya."

Delia membelalakkan matanya. Tentu itu sangat tidak masuk akal. Mana mungkin gaji di distro sama dengan gaji di pabrik. Ya kali kalo distronya besar dan rame, apa Kelvin mau memberikan semua keuntungannya pada Delia? Bodoh sekali.

"Jangan bego. Nanti lo bisa bangkrut."

Kelvin terkekeh geli. "Emangnya gaji kamu di tempat kerja dulu berapa?"

"Empat juta."

Kelvin cengo. Empat juta?! Dirinya bahkan hanya punya satu pekerja yang setiap bulannya dia bayar satu juta, dan itu sudah terbilang normal karena waktu kerjanya hanya lima jam, sisanya Kelvin yang jaga. Duit dari mana dia, keuntungan setiap bulannya saja tidak sampai segitu.

Dan ya, meski niat Kelvin baik, tapi Delia tetap tidak akan mau bekerja di bawah perintahnya. Delia tidak mau setiap hari bertemu cowok itu. Bisa keenakan nanti dia kalo Delia menjadi bawahannya.

"Tapi ini bukan cuma masalah gaji. Berapapun gajinya, gue tetep gak akan mau kerja sama lo."

"Kenapa?"

"Gak mau gue tiap hari ketemu sama lo," ucap Delia sambil berjalan menuju kosannya.

"Takut jatuh cinta sama aku ya?"

Delia memutar bola matanya jengah. "Ngarep. Lo mau ngapain sih ke sini mulu?"

"Yaelah, gitu amat ngomongnya. Kemarin kan aku gak ke sini."

"Bodo amat." gumam Delia.

"Kalo gak mau kerja di distro aku, aku bisa bantuin kok cari pekerjaan baru, kamu tinggal bilang aja mau kerja di mana?"

Kelvin memang pasti bisa membantu Delia, sebab jaringan pertemanannya luas. Namun, Delia masih merasa segan untuk menerima bantuannya.

"Nanti gue pikirin dulu."

Kelvin tersenyum lebar. Dia akan sangat senang jika Delia mau menerima bantuannya, meski agak kecewa juga karena Delia tak mau bekerja di distronya. Padahal, dia sudah membayangkan alangkah hari-harinya akan sangat menyenangkan jika bisa bertemu Delia setiap hari.

°

Delia sudah memutuskan untuk menerima tawaran baik Kelvin. Sejak kemarin Kelvin sudah banyak menawarkan Delia lowongan pekerjaan, dan dari sekian banyak itu, Delia memilih untuk bekerja di restoran.

Di sinilah dia berada, di sebuah restoran mewah bernuansa klasik milik Brie. Tidak, milik orang tua Brie lebih tepatnya. Namun, karena banyaknya restoran yang orang tua Brie punya di berbagai kota, jadilah Brie yang kebagian harus mengelola restoran ini.

Dandelion✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang