Kelvin menghentikan langkahnya di depan pintu perpustakaan. Dia tidak jadi masuk karena memilih menunggu sahabatnya yang kini tengah berjalan ke arahnya.
"Kok gak ke kantin? Tadi gue ke sana, eh lo malah gak ada."
Kelvin hanya tersenyum melihat wajah cantik sahabatnya. Namanya Sabrina Adelaide, tapi lebih sering dipanggil Brie. Seorang gadis keturunan Indonesia-Belanda, yang banyak digilai kaum adam.
Kelvin sudah mengenal Brie sejak SMA, dan keduanya sudah sangat akrab. Kelvin mahasiswa jurusan DKV, sedangkan Brie mengambil jurusan manajemen. Meski tidak satu jurusan, tapi hampir tiap hari mereka bertemu. Jika Kelvin tidak datang ke kelas Brie, maka Brie yang akan mencarinya, seperti sekarang ini.
"Kenapa? Kangen ya?" tanya Kelvin dengan nada bercanda.
"Ih, ngapain kangen? Enggak lah, geer banget." kilah Brie sambil menyenggol lengan Kelvin dengan wajah sebal.
Kelvin kemudian melingkarkan tangannya di leher Brie, dan membawa Brie menjauh dari tempat itu.
"Kalo gak kangen, ngapain nyariin?"
Brie belum menjawab, dia terlihat seperti sedang mencari alasan.
"Ya... gimana ya? Heran aja gitu lo gak ke kelas gue," alibi Brie.
Sambil tertawa, Kelvin kemudian mengacak rambut bergelombang Brie yang indah.
"Alesan aja lo. Masih ada kelas gak?"
"Enggak, kenapa?"
"Jalan yuk."
Tanpa bertanya lebih lanjut, secepat kilat Brie tersenyum lebar menerima ajakan itu.
Sulit dijelaskan bagaimana kedekatan mereka. Dibilang sahabat, tapi terlalu dekat, sampai orang sering mengira mereka telah berpacaran. Namun, dibilang pacaran, tidak juga. Karena Kelvin bahkan tidak pernah menyatakan jika dia menyukai Brie, begitupun dengan Brie.
Entahlah, tidak ada seorang perempuan pun yang spesial di hati Kelvin saat ini selain ibunya. Namun, yang sering terpikirkan akhir-akhir ini mungkin ada, dialah Delia. Kelvin tidak bisa berhenti memikirkan gadis jutek itu. Entah perasaan suka atau apapun itu, Kelvin tidak paham. Yang jelas, dia ingin bisa dekat dengan Delia.
°
Seperti pada waktu istirahat sebelum-sebelumnya, Delia selalu makan di kantin perusahaan seorang diri. Dia tidak pernah tertarik untuk mengumpul bersama karyawan lain. Sebenarnya pernah ada beberapa orang baik yang mengajaknya makan bareng, tapi dia selalu menolak. Dan akhirnya, seperti sekarang ini, Delia tak pernah memiliki teman bahkan seorangpun. Namun, hal itu bukanlah sebuah masalah untuknya.
Hidup Delia tetap baik-baik saja meskipun tidak memiliki teman, Delia yakin itu.
"Hai, Del," sapa seorang lelaki bernama Arfan kepada Delia yang sedang makan tanpa nafsu.
Delia hanya menatapnya sekilas, lalu lanjut makan.
"Boleh duduk di sini?" tanya lelaki itu. Tanpa menunggu jawaban, dia duduk begitu saja di samping Delia.
Delia sudah biasa mendengar pertanyaan basi itu, jadi dia malas untuk menjawab. Karena mau menjawab atau tidak, toh lelaki itu tetap saja duduk di sampingnya.
Dan perasaan Delia mulai tidak nyaman sejak Arfan datang. Delia yakin, tak lama lagi kupingnya pasti akan terasa panas.
"Sombong banget tuh perempuan," ucap seorang perempuan yang duduk tak jauh dari meja Delia.
Perempuan itu memandang Delia dengan wajah tak suka. Nah kan, benar perasaan Delia.
Delia menghela napas. Sabar. Hal ini sudah biasa dan sering sekali terjadi. Delia hanya perlu menutup kupingnya rapat-rapat. Dengan cepat Delia mengambil earphone di tasnya, kemudian mencolokkannya pada ponselnya. Dia menutup kedua lubang telinganya dengan earphone putih itu, dan mendengarkan musik dengan volume yang cukup tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.