28. Sedikit Rindu

481 65 1
                                    


"Hati ini sudah banyak menerima kesakitan. Pikiranku sudah kacau dan aku lelah, kapan semua ini berakhir?"

...

Delia duduk termangu sambil bersandar dan menatap pemandangan malam dari jendela kereta. Ia menengadahkan kepalanya, melihat bintang-bintang yang bersinar terang.

Dalam pikiran yang sedang kacau, ia merasa sangat merindukan ibunya.

Sore tadi ia berangkat ke stasiun, membeli tiket untuk pergi ke kota kelahirannya. Dengan tas gendong berisi beberapa pakaian dan uang pas-pasan, ia memberanikan diri untuk pergi.

Sudah hampir dua tahun. Sejak ia meninggalkan kota itu, ia tidak pernah kembali ke sana lagi, bahkan untuk sekedar berkunjung saja tidak. Ia hanya belum siap mengingat semua kenangan manis pahit bersama ibunya. Namun, rasanya hari ini ia sudah tidak tahan ingin mengunjungi makam ibunya.

Selama ini jika ia rindu pada ibunya, ia hanya bisa mengirimkan doa, dan itu hampir setiap malam. Kali ini ia butuh mengunjungi kuburan ibunya, ia ingin membersihkan kuburan itu, mendoakan langsung dan curhat di depan pusaranya.

Delia jadi merasa bersalah, harusnya ia lebih sering berkunjung ke kota itu, bukan malah berusaha melupakannya. Karena bagaimanapun juga sudah banyak sekali kenangan yang ia lalui di sana, dan ia tidak bisa melupakan kotanya, sekuat apapun ia berusaha. Lantas, apa benar ia hanya ingin berkunjung ke sana? Atau, kembali tinggal di sana?

"Apa Bapak sudah tidak punya hati, hingga tega bicara seperti ini?"

"Dan apa kamu sudah kehilangan akal, hingga berani mengaku-ngaku sebagai anak saya?"

"Saya memang anak Bapak!"

"Tidak. Kamu bukan anak saya!"

"Perlu bukti apalagi agar anda percaya? Jika anda meminta tes DNA sekarang, saya pasti tidak akan menolak."

"Tidak perlu, karena hasilnya pasti negatif. Saya hanya meminta kamu pergi, dan jangan pernah berani datang ke sini lagi, apalagi mengganggu keluarga saya."

"Apa yang membuat anda angkuh begini? Padahal, ibu selalu bilang kalo anda adalah orang yang baik, juga sangat penyayang."

"Saya memang baik, tapi tidak pada orang jahat seperti kamu."

Delia menggeleng. Matanya sudah sembab karena terlalu banyak air mata yang tumpah.

"Saya tidak percaya kenyataan ini. Saya pikir, anda masih mencintai ibu saya dan akan merasa menyesal, tapi ternyata...."

"Lebih baik kamu pergi sekarang, sebelum istri dan ibu saya kembali, dan saya akan meminta satpam untuk mengusir kamu lagi." Theo bahkan tidak pernah tertarik untuk menatap wajah anaknya itu.

Tidak kah ia lihat, mata Delia begitu mirip bentuknya dengan matanya? Dan masih banyak kemiripan lainnya. Tidak bisakah Theo membuka sedikit saja hatinya untuk menerima gadis malang itu?

"Saya hanya akan pergi jika Bapak sudah mau mengakui saya."

Kemudian Theo menatapnya tajam, sambil mengangkat jari telunjuknya tepat di depan wajah Delia. "Ingat ini, kamu tidak akan menang melawan saya. Saya punya segalanya, dan tidak sulit bagi saya untuk melenyapkan kamu, jika kamu masih keras kepala."

"Saya tidak takut dengan ancaman anda. Satu hal yang pasti, anda akan sangat menyesali perbuatan anda ini terhadap saya."

"Cepat pergi."

Delia harus melakukan cara apalagi? Keinginannya untuk memeluk pria itupun lenyap.

"Maafin aku Bu, aku gak bisa ngeyakinin ayah, dan aku gak bisa berhenti membenci dia. Dia udah jahat sama aku Bu. Dia udah menghina anaknya sendiri," batin Delia lalu pergi dengan tawa penuh kegetiran.

Dandelion✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang