Rani begitu bahagia dengan kedatangan Delia. Sejak tadi ia tak ada lelahnya melemparkan banyak pertanyaan pada Delia, dan Delia hanya bisa menjawab sekenanya dengan senyum canggung. Meski begitu, Rani tetap menyukainya.
Dan saat ini, dua perempuan itu sedang duduk berdua di sofa ruang tamu, ditemani dua gelas jus mangga dan beberapa makanan ringan.
Kelvin? Entahlah. Cowok itu malah menghilang sejak mempertemukan Delia dengan ibunya.
Tidak, Delia tidak kesal pada Kelvin karena meninggalkannya, ia justru senang karena bisa mengobrol bersama ibunya Kelvin tanpa gangguan cowok itu.
"Apa Kelvin pernah bikin kamu kesel?" tanya Rani dari sekian banyak pertanyaan lainnya.
"Sering Tante," jawab Delia jujur, lalu terkekeh kecil.
Rani kemudian tertawa, cantik sekali.
"Duh maafin Kelvin yah," ucap Rani merasa bersalah.
"Gak apa Tan. Walaupun sering bikin kesel, tapi dia baik kok."
"Gitu ya? Kamu jujur banget sih, Tante jadi makin suka, tapi... boleh gak kalo mulai sekarang, kamu panggil Bunda aja?"
"Hah?"
Rani mengangguk sambil tersenyum. "Mau kan?" tanyanya dengan nada memohon.
"Eh," Delia bingung, tapi sangat bahagia.
"Ya, panggil Bunda ya?"
Kemudian Delia tersenyum dan Rani memeluknya lagi.
"Aku seneng deh, dipeluk sama Bunda, berasa lagi dipeluk sama ibu."
"Bunda juga senang bisa peluk kamu, kamu harus sering-sering ke sini ya, biar bisa temani Bunda ngobrol, masak, atau tanam bunga."
"Boleh?"
"Ya boleh dong Sayang, kapanpun. Bahkan, kalo kamu mau tinggal di sini juga boleh, tapi kalo udah nikah sama Kelvin."
"Uhuk,"
Kelvin yang sedang berjalan menuruni tangga sambil mengunyah snacks langsung tersendat mendengar ucapan bundanya.
"Kamu dengar Vin?"
"Bunda apaan sih, bahas-bahas nikah segala, kita masih muda tau." ucap Kelvin sambil duduk di samping Rani, lalu meminum jus milik Rani. Bukannya ia tidak suka mendengar ucapan ibunya. Hanya saja, ia takut Delia akan merasa tak nyaman dan kesal.
"Cuma bercanda kok, sampe diseriusin begitu. Iya maaf, tapi kalo Bunda doain biar kalian berjodoh, boleh kan?"
Kelvin dan Delia saling melempar tatapan dengan wajah tegang.
"Boleh banget Bun," ucap Kelvin dengan senyum lebar setelah beberapa detik keadaan hening.
Delia hanya bisa geleng-geleng kepala. Ingin marah, tidak enak juga karena ada ibunya Kelvin di sini.
...
"Dia anak kamu! Anak kamu! Anak kamu!"
Theo bangkit dengan peluh mengalir deras di wajahnya, padahal AC di kamarnya masih berfungsi. Napasnya memburu tak beraturan, tubuhnya bergetar hebat, dan jantungnya berpacu cepat.
Ini gila. Benar-benar gila! Suara itu, suara itu membuat Theo hampir kehilangan napasnya. Sudah pukul 12 malam, dan ia terbangun dari tidurnya karena mimpi itu. Mimpi yang amat buruk, yang akhir-akhir ini sering mengganggu tidurnya.
Dalam mimpinya, ia melihat Diana. Wanita itu datang menemuinya dengan pakaian serba putih sambil terus mengatakan bahwa Delia adalah anaknya. Yang membuat Theo sampai terbangun dari tidurnya, wanita itu sampai berteriak dan hampir akan mencekiknya. Untung saja, untung dia masih bisa menghentikan mimpi buruk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.