Delia berjalan di koridor sambil bernyanyi-nyanyi kecil, matanya asyik menyelusuri ruangan-ruangan kelas yang sudah sepi. Sesekali ia tersenyum saat ada teman yang menyapanya.
"Delia!" seorang pemuda tinggi dengan gaya urakan berlari mengejar langkah Delia.
Mendengar namanya dipanggil, Delia langsung menghentikan langkahnya, dan berbalik memandang pemuda itu. "Iya, ada apa ya?" tanya Delia ketika pemuda itu sudah berada di hadapannya.
"Ini, buat kamu." cowok itu memberikan sebatang cokelat yang terlihat begitu manis karena dihiasi pita berwarna pink.
Delia menerima cokelat itu dengan senang hati. "Makasih. Tapi kamu siapa ya?" tanya Delia dengan wajah polosnya.
Dia terlalu sering mendapat hadiah dari cowok, bahkan dari cowok yang tidak dikenal sekalipun ia terima, karena ia tak mungkin menolak pemberian orang lain. Ibunya selalu bilang, ia harus menghargai perasaan orang lain, salah satunya dengan cara menerima pemberian mereka.
Cowok itu kemudian mengulurkan tangan kanannya. "Pandu, kelas sebelas IPS dua." ucapnya memperkenalkan diri.
"Oh. Pantes gak kenal, gak sekelas ternyata, hehe... tapi kok, bisa tau nama aku?" tanya Delia setelah melepaskan tangannya dari jabatan Pandu.
"Siapa sih yang gak tau nama Dandelion di sekolah ini, cuma kamu kan yang punya nama itu?"
Delia kemudian tertawa, benar juga pikirnya.
"Iya sih, ada gerangan apa ngasih aku cokelat? Ini kan bukan valentine," kata Delia penasaran pada niat Pandu. Ia berharap, semoga saja alasan Pandu berbeda dengan cowok lain—yang setiap kali memberinya cokelat atau bunga karena suka pada Delia.
Pandu terlihat sedang berpikir. "Eh, kita pulang bareng yuk!" ajaknya tidak menghiraukan pertanyaan Delia.
Boleh juga, pikir Delia. Setidaknya uang untuk membayar angkot hari ini akan selamat jika ia menerima ajakan Pandu.
"Delia pulang bareng gue." ucap seorang pemuda dengan nada dingin yang entah sejak kapan ada di sana.
Dia adalah Rian, kehadirannya membuat Delia melebarkan bola matanya tak percaya. Rian menarik tangan Delia agar berjalan mengikuti langkahnya, tidak peduli dengan keberadaan Pandu di sana.
"Pandu, aku duluan ya, bye!" Delia melambaikan tangannya ke arah Pandu yang hanya bisa tersenyum dengan berat melepasnya.
Rian mempercepat langkahnya, mau tak mau Delia pun melakukan hal yang sama, karena sejak tadi tangannya masih digenggam erat oleh Rian.
"Serius, kamu mau ngajak aku pulang bareng?" tanya Delia memastikan. Rian terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Delia.
"Cuek, jawab dong. Biasanya gak pernah mau tiap aku minta dianter pulang," Delia terus bicara, tidak peduli meski saat ini ia merasa seperti sedang bicara dengan batu berjalan sekalipun.
Tiba di parkiran, Delia hanya bisa mematung ketika Rian benar-benar akan mengantarnya pulang, ini masih tidak bisa dipercaya.
"Ayo buruan naik."
Delia mengangguk cepat dan segera naik ke motor vespa biru tua milik Rian.
Di perjalanan, Delia tidak bisa berhenti tersenyum karena perasaan bahagia.
"Eh, kok berhenti di sini? Rumahku masih jauh loh." Delia merasa bingung ketika Rian malah menghentikan motornya di taman kota.
"Ikut aja," ucapnya datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.