Sudah tiga hari Delia tinggal di rumah ayahnya. Sudah tiga hari juga belum ada yang bisa menerima kehadirannya. Sesekali Hannah mendekati dan mengajak dia bicara, tapi saat itu juga Emma langsung menyuruh Hannah agar menjauhinya. Dan Brie, anak itu semakin jarang ada di rumah. Sekalinya ada di rumah dan bertemu Delia, dia langsung pergi dengan wajah risih, padahal Delia berniat ingin dekat dan akrab dengannya.
Lalu ayahnya, semakin sibuk dengan pekerjaannya, hingga selalu pulang larut malam. Bahkan sejak kemarin Delia tidak melihat wajahnya.
Juga Kelvin, ke mana cowok itu? Kenapa dia menghilang? Kenapa dia belum juga menemui Delia? Apa Delia punya salah padanya? Padahal, Delia ingin sekali mengucapkan banyak terimakasih padanya karena dia sudah berhasil membuka mata Delia untuk melihat sudut yang berbeda dari kehidupannya.
Di rumah ini, tak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan diam. Semua pekerjaan rumah sudah diurus oleh beberapa pekerja di sini. Dan karena hal itu dia jadi tidak betah di rumah. Tiga hari lalu dia sudah menceritakan pada ayahnya tentang keluarganya di kolong jembatan. Dia ingin sekali ayahnya mau membiayai anak-anak di sana agar sekolah dan memberi pekerjaan untuk orang tuanya. Tanpa diduga, ayahnya mengabulkan permohonannya itu.
Sekarang, adik-adiknya sudah bisa sekolah, dan ayahnya memberi uang pada orang tua mereka untuk modal usaha. Terserah mereka mau buka usaha apa. Delia tentu sangat bahagia karena itu.
Namun, dia masih merasakan sebuah kekosongan. Masih ada bagian yang hampa, dan jujur, dia belum merasakan kebahagiaan.
Di saat seperti ini, saat dia hanya bisa melamun di kamar dengan tatapan nanar melihat jendela kamar, yang dia rindukan malah kosannya.
Rasanya kosan sempit itu lebih nyaman daripada rumah super luas ini. Di sana Delia merasa lebih bebas, lebih leluasa, dan suara para tetangga kosan yang tak pernah dia sapa, juga kicauan burung lovebird milik Pak Muhib. Ah, kenapa Delia begitu merindukannya? Lebih baik tinggal di kosan sempit tapi dada terasa lapang, daripada tinggal di rumah luas, tapi dada terasa sesak.
Tidak ada Delia rasakan sedikitpun kebahagiaan di rumah ini.
Delia melebarkan matanya saat mendengar sebuah ketukan pintu. Karena kamarnya dekat dengan pintu utama, segera dia berlari untuk membuka pintu itu.
"Kelvin!" Delia tersenyum girang saat melihat sosok yang sudah lama dia tunggu-tunggu ada di hadapannya sekarang.
Cowok itu tersenyum manis hingga matanya tertutup. Sungguh, Delia sangat merindukan senyum itu. Jadi seperti ini rasanya ditinggal tanpa pemberitahuan? Delia sering sekali melakukannya pada Kelvin. Apa Kelvin sedang balas dendam padanya? Menyebalkan sekali.
"Kangen, boleh peluk gak?" ucap Kelvin, mulai keluar sifat menyebalkannya.
Kelvin melebarkan kedua tangannya, seolah bersiap menyambut pelukan Delia.
"Enggak." kata Delia sambil menepis tangan Kelvin, lalu berjalan ke beranda.
"Kok gak diajak masuk ke dalam? Kasih minum gitu," ucap Kelvin mengikuti langkah Delia.
Seolah tidak peduli, Delia malah duduk di samping beranda, sambil memeluk lututnya.
"Ini bukan rumah gue tau."
"Oke deh, haus ku juga langsung hilang tuh setelah liat senyum manis kamu tadi," goda Kelvin lalu duduk di samping Delia.
"Apaan sih!" wajah Delia terlihat malu-malu.
"Kayaknya kamu seneng banget Del aku datang ke sini? Hayo ngaku, kamu juga kangen kan sama aku?" tanya Kelvin dan terus menatap wajah Delia lekat-lekat. Entah kenapa dia begitu suka melihat Delia yang terlihat malu-malu begini, kesannya jadi lebih manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.