Di sebuah taman yang sepi, Delia duduk di samping ayahnya, di bawah pohon rindang yang menghadap ke danau kecil.
Pandangan Delia lurus ke depan. Dia tidak mau memulai pembicaraan sebelum Theo yang memulainya.
"Apa Diana tidak pernah menikah lagi?" tanya Theo to the point.
"Kenapa anda menanyakan hal itu?" kata Delia tanpa berniat menatap wajah lawan bicaranya.
"Jawab saja."
"Tidak. Ibu saya tidak pernah menikah lagi, karena ibu selalu menunggu anda," Delia kemudian tersenyum miring.
"Menunggu pria bajingan. Sungguh bodoh." gumam Delia, merasa tak habis pikir.
"Jaga ucapan kamu."
Delia memandang Theo dengan senyum menantang. "Jaga ucapan saya? Lalu apa kabar dengan anda? Anda bahkan tidak pernah menjaga ucapan anda ketika bicara dengan saya!" erang Delia sudah kehilangan kesabarannya.
Rasanya Delia ingin menangis, berteriak, meraung, menumpahkan segala kesakitan di hatinya.
Mau menjaga sikap atau tidak, Theo sudah membencinya bukan? Jadi Delia sudah pasrah sekalipun Theo tidak akan pernah mau mengakui dia sebagai anak. Delia tidak mau dan tidak akan mengemis lagi.
"Jadi, apa tujuan anda menemui saya lagi? Apa belum puas anda menyakiti saya?"
Dan... air mata yang paling Delia benci -menangisi ayahnya- harus jatuh lagi.
"Bunuh saja saya sekalian, Pak... biar Bapak bisa hidup tenang, biar keluarga Bapak bisa bahagia lagi...." demi apapun, hati Delia seperti disayat ratusan pisau mengatakan hal itu.
"Toh, kehadiran saya juga tidak pernah diinginkan oleh siapapun."
Delia menunduk, dia mulai terisak. Dengan berat, dia berusaha menarik napasnya yang mulai tidak teratur karena dadanya sangat sesak.
Andai dia tidak lahir ke dunia ini, ibunya mungkin masih hidup sekarang dan tidak akan menjadi pelacur demi menghidupinya. Andai dia tidak ada, ayahnya pasti bisa hidup bahagia tanpa gangguannya. Iya, Delia yang salah di sini.
"Jika kehadiran saya hanya membuat hidup Bapak menderita, saya gak akan mau Pak, bertemu Bapak. Saya juga gak meminta untuk dilahirkan ke dunia ini, kalo kehadiran saya cuma jadi pengacau...." lirih Delia.
"Bapak tahu? Saya menderita Pak... sejak kecil saya gak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Jangankan kasih sayang, seperti apa wajah Bapak saja saya tidak tahu."
"Lalu foto itu?"
"Foto itu baru saya dapatkan empat tahun lalu, bersamaan dengan kebohongan besar ibu yang terbongkar."
Kebohongan besar apa? Apa maksud semua ini? Apa anak ini sedang mengarang cerita? Tapi kenapa tangisnya begitu lirih, hingga dada Theo ikut sesak mendengarnya.
Delia kemudian menghapus air matanya. "Udahlah. Ngapain juga saya bicara panjang lebar sama anda, percuma juga kan, karena anda gak akan pernah percaya."
Namun, saat Delia akan bangkit, dengan cepat Theo menahannya. "Jelaskan semuanya pada saya, saya mohon."
Apa yang harus Delia lakukan sekarang? Apa dia akan menuruti permintaan Theo? Atau, dia pergi saja? Tapi bukankah ini kesempatan? Lantas, apa Theo akan mempercayai semua ucapannya?
Akhirnya, Delia memutuskan untuk tetap di sana. Perlahan, dia menceritakan semuanya.
Menceritakan semua perjalanan hidup yang dia lalui hanya berdua dengan ibunya. Tanpa Delia duga, Theo mendengarkan ceritanya dengan wajah tak bisa diartikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion✓
General Fiction"Ibu udah gak ada, dan ayah... sejak lahir gue gak pernah tau siapa dan di mana dia. Bahkan, dia mungkin gak akan pernah tau, kalo gue ada." Ini cerita tentang Delia, seorang gadis pemilik senyum semanis sari tebu, yang selalu merasa hidupnya kelabu.