°16°

36.3K 4.5K 38
                                    

Raja Huang berdeham, memecah keheningan didalam ruangan itu. "Jadi, Putri Mei Yue, apa benar kau mengalahkan Putri Hong Ling saat latih tanding dikelas bela diri?"

"Benar," jawab Mei Yue dengan dagu yang diangkat tinggi. "Dia sudah menghina ku. Jika aku kalah, pasti dia akan menghina kerajaan kita juga," sambungnya dengan suara pelan pada kalimat terakhir, namun masih bisa terdengar dengan jelas. "Sebenarnya, tanganku ini sudah gatal ingin membunuhnya. Tapi aku cukup waras untuk tidak melakukan hal itu," ujar Mei Yue tenang.

"Ck, kau memang tidak waras," decak Yuwen sinis.

"Kau lebih tidak waras." Mei Yue membalas sengit.

Ayolah, kenapa bertengkar lagi? Tidak bisakah kakak beradik ini akur untuk sebentar saja?

"Hei, berhentilah bertengkar," tegur Yu Fei.

"Dia yang memulainya!" Kata Yuwen dan Mei Yue, kompak.

"Jangan meniru ku!"

"Kau yang meniru ku!"

Yi Fei menghela nafas. Padahal 'kan niatnya ingin melerai mereka berdua. Tapi mengapa mereka malah semakin bertengkar?

Sedangkan raja memijit pelipisnya. Mengapa ia harus memiliki anak seperti mereka? Untung sayang.

•••

Mei Yue asik memainkan api yang keluar melalui ujung jari telunjuknya. Sementara itu, Peiyu juga asik sendiri dengan kegiatannya, yaitu menata rambut Mei Yue. Sejak tadi, ia sibuk mencoba berbagai macam gaya pada rambut tuannya itu.

Mereka masih larut dalam kegiatan masing-masing. Sampai kedatangan putra mahkota, dan jendral Han serta tiga orang prajurit menghentikan kegiatan tersebut.

Putra mahkota menyembunyikan keterkejutannya saat melihat ujung jari telunjuk Mei Yue mengeluarkan api. Tapi sayangnya, Mei Yue mengetahui keterkejutannya itu.

"Kau terkejut karena aku bisa menguasai elemen api." Itu bukan sebuah pertanyaan. Yuwen bergeming, sedangkan Mei Yue tersenyum dengan dagu diangkat tinggi. "Aku juga bisa menguasai elemen es. Mau lihat tidak?" Tanyanya angkuh.

Yuwen berdecak pelan, kemudian mengambil posisi duduk disebelah adiknya itu. "Sekarang bukan waktunya untuk pamer," ujarnya, membuat Mei Yue menatapnya datar. "Ada sesuatu yang ingin ku sampaikan," sambung Yuwen.

Mei Yue mengangkat sebelah alisnya tinggi, seolah mengatakan "apa?" Yuwen yang paham dengan ekspresinya itu, berdeham pelan sebelum mengeluarkan suara.

"Apa kau tahu—"

"Tidak," potong Mei Yue.

Sekarang ekspresi Yuwen jadi semakin datar. Lebih datar dari sebelumnya.

"Dengarkan dulu, aku belum selesai bicara," kata Yuwen, berusaha sabar. Ia menghela nafas saat Mei Yue menunjukkan cengirannya yang menyebalkan.

"Semenjak kejadian kau kabur dari istana, ayahanda mengkhawatirkan mu—"

"Benarkah?"

"Mei Yue." Yuwen menatap tajam adik perempuannya itu, kesal karena Mei Yue lagi-lagi memotong ucapannya. Bahkan jendral Han dan tiga orang prajurit yang berdiri disampingnya pun nyaris tertawa.

"Ck, kau terlalu banyak basa-basi. Katakan saja langsung tujuanmu datang ke sini," decak Mei Yue. Ia jadi heran, mengapa pria minim ekspresi ini mendadak banyak bicara? Rasanya jadi aneh.

Yuwen menatap adiknya lekat, lalu menghela nafas sebelum melanjutkan. "Jianheeng, Chyou, Shilin," panggilnya kemudian.

Tiga prajurit yang sedari tadi berdiri di samping jendral Han, segera berlutut dengan satu kaki.

"Mereka adalah para prajurit pilihanku dan Han. Mulai sekarang, mereka adalah pengawal pribadi mu," ucap Yuwen. Tatapannya tak beralih dari Mei Yue yang kini terdiam dengan ekspresi tak terbaca.

"Baiklah," kata Mei Yue setelah terdiam cukup lama. Seraya berdiri, ia menatap tiga prajurit yang masih berlutut itu dengan senyum penuh arti. "Kalau begitu, kalian harus menemaniku keluar," ucapnya, membuat Yuwen terbelalak. "Siapkan kuda ku," perintahnya kemudian.

"Tidak, Mei Yue!" Kata Yuwen tegas.

Mei Yue mengangkat sebelah alisnya tinggi. "Apanya yang tidak?" Tanyanya.

"Kau tidak boleh keluar."

Mei Yue memutar bola matanya, jengah mendengar jawaban kakak pertamanya itu. "Sekarang 'kan aku sudah punya pengawal. Kau tidak perlu—"

"Tidak untuk hari ini. Sebaiknya kau istirahat saja," potong Yuwen. Kemudian ia berdiri, hendak meninggalkan paviliun milik putri Mei Yue.

"Lalu apa gunanya tiga prajurit ini? Apa mereka hanya akan menjadi pajangan saja di paviliun ku?" Tanya Mei Yue sambil menunjuk Jianheeng, Chyou, dan Shilin.

Langkah Yuwen terhenti. Ia berbalik, melangkah kearah Mei Yue. Kemudian menyentil dahi gadis itu cukup kuat, membuat sang empu meringis pelan.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Mei Yue, kesal. Ia meringis, sakit juga ternyata sentilan kakaknya itu.

"Jangan keras kepala, Mei Yue," ucap Yuwen. Ia berbalik lagi, lalu menoleh lewat bahunya. "Sekali tidak, tetaplah tidak!" Tegasnya. Setelah itu ia benar-benar berlalu pergi bersama jendral Han.

Mei Yue mengerucutkan bibirnya saat Yuwen dan jendral Han sudah tak terlihat lagi dari pandangannya.

"Mengapa tidak boleh keluar? Aku bosan disini!" Gerutunya.

Ia menghempaskan tubuhnya di kursi. Ujung jari-jarinya mengeluarkan duri-duri es yang sepertinya sangat tajam. Mungkin bisa sampai menembus kulit.

Peiyu dan tiga pengawal pribadinya, diam-diam bergidik ngeri. Berharap, semoga duri-duri es itu tidak menancap di tubuh mereka.

Satu persatu barang di ruangan itu membeku, termasuk kursi yang ia duduki saat ini. Ayolah, dia sudah sangat bosan. Satu jam hanya duduk saja dan membekukan isi ruangan ini tidak mampu menghilangkan rasa jenuhnya.

"Aku sangat bosan!"

Pekikan Mei Yue itu membuat Peiyu, serta tiga pengawalnya tersentak kaget. Kalau bukan seorang putri, mereka pasti sudah membungkam mulut gadis itu.

Mei Yue berdiri, kemudian berjalan keluar dari bangunan tempat tinggalnya itu, ralat tempat tinggalnya 'putri' Mei Yue.

"Tuan putri, anda mau kemana?" Tanya Peiyu.

"Minta izin pada raja," jawab Mei Yue tanpa menghentikan langkahnya. Dibelakang, ada Peiyu dan tiga pengawal pribadinya yang mengikuti.

"Izin untuk apa?" Tanya Peiyu lagi.

"Izin untuk keluar istana."

***

Iya, aku tau chapter ini emang gak nyambung.

[✓] The Reincarnation Mission Of The Yin GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang