Ruby Maxwell, seorang gadis dengan kehidupan yang rumit, berusaha untuk 'tidak terlihat' di kampusnya. Ia hanya ingin menyelesaikan studinya, sesuai dengan keinginan ibunya. Namun semua itu berubah ketika ia harus berurusan dengan lelaki populer di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langit sudah semakin gelap. Sepulang dari kelas terakhirnya, Alex langsung menancapkan gas Nissan GTR miliknya menuju basecamp sahabat-sahabatnya, yakni kediaman Nicholas Reeves, yang terletak tidak jauh dari area kampus.
Sahabat Alex, Nicholas Reeves, Lucas West, dan Aaron Wilson sudah berada di sana terlebih dahulu. Mereka berkumpul di kamar Nick yang dijadikan basecamp di dalam mansion milik keluarga Nick itu. Ia membutuhkan penyegaran setelah apa yang terjadi tadi siang di perpustakaan.
Mansion Nick memang salah satu tempat yang mereka gunakan sebagai basecamp. Hal itu dikarenakan kamar Nick dilengkapi dengan berbagai macam permainan dan tentu saja, bar mini dengan minuman keras yang lengkap.
Setelah lima belas menit berkendara, Alex memasuki area mansion dan memarkirkan Nissan GTR hitam miliknya di depan lobby mansion bergaya Classic American, yang didominasi warna putih dan abu-abu tua itu. Ia mendorong pintu kayu besar dan masuk melalui ruang utama.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Alex pun menaiki tangga bermaterial marmer putih dengan cepat dan segera menuju kamar sahabatnya itu. Tanpa basa-basi, Alex langsung mendorong pintu kayu berwarna coklat tua yang terletak di ujung lorong mansion lantai dua.
“Hi, dude! Apa yang terjadi di ruang dekan? Ouch, you look terrible.” ujar Nick, melihat sahabatnya yang terlihat kusut.
“Berikan aku vodka dengan es, Nick, kepalaku sangat panas sekarang.” ujar Alex langsung berjalan menuju bar kecil yang terletak di ujung kamar Nick.
“Alex, apa yang terjadi tadi siang sehingga kau tidak ikut latihan football? Pelatih Carr menanyakanmu terus padaku. Apa kau terlibat masalah?” tanya Lucas, sahabat Alex lainnya.
Alex menghela nafas dengan keras seperti kuda. Ia mengeluarkan dompet dan handphone dari sakunya dengan kasar dan melemparnya ke kasur Nick. Mengingat-ingat insiden tadi siang, membuat kepala Alex semakin pusing.
“Aku terlibat kekacauan di perpustakaan dengan Ruby Maxwell. Kami dihukum membuat rangkuman sepuluh novel dan membereskan perpustakaan setelah sepulang kelas, hingga semuanya rapi kembali.” ujar Alex sambil meneguk vodkanya.
“Hah? Ruby Maxwell? Apa dia gadis berkulit pucat yang selalu memakai baju tertutup itu?” ujar Aaron.
Alex hanya mengangguk sambil menyalakan sebatang rokok. Kepalanya pening dirundung begitu banyak pertanyaan dari teman-temannya.
“Maxwell? Kurasa aku pernah mendengar namanya…rasanya aku pernah satu kelas dengannya.” ujar Lucas.
Nick berdiri dari kasurnya. Ia berjalan menuju rak buku yang terletak di sudut ruangan. Ia terlihat mencari sesuatu dari rak buku itu. Tak lama, ia pun kembali dengan membawa sebuah buku berukuran cukup besar dengan sampul hardcover berwarna biru.
“Yup, aku berhasil menemukannya di foto kelas awal tahun. Voila!…I present you, Ruby Maxwell.” ujar Nick dengan bangga memperlihatkan foto Ruby di album tahunan miliknya.
Secara bergantian, ketiga sahabat Alex melihat foto Ruby dalam buku tahunan itu. Ruby menggunakan pakaian yang simple. Hanya long sleeve t-shirt bermotif garis-garis hitam dan putih, black skinny jeans, juga sneakers. Rambut brunette-nya dibiarkan terurai, jatuh dibahunya.
Tidak ada yang spesial dari gaya berpakaiannya. Hampir seperti kebanyakan mahasiswa pada umumnya. Namun wajah Ruby terbingkai sempurna dengan rambut panjang semi ikal berwarna brunette dan poni depan.
“Wow, dia cukup cantik, Lex. Lihat, dia punya bibir yang seksi dan mata yang indah.” kata Aaron serius menatap foto di album tahunan itu.
Alex memandangi foto Ruby di buku tahunan milik Nick. Bila dilihat dengan seksama, Ruby memang terlihat cantik tanpa perlu polesan make up tebal seperti Bianca dan teman-temannya. Ya, cantik natural.
Seketika, Alex menggelengkan kepalanya, berusaha tersadar dari pikirannya karena baru saja mengakui bahwa Ruby adalah gadis yang cantik. Alex mengernyitkan alis dan memukul-mukul keningnya.
“Are you kidding me? Yeah, right…cantik dari Hongkong. Perilakunya sangat menyebalkan. Benar-benar membuatku pusing.” kata Alex sambil berdecak kesal lalu lanjut meneguk vodka dan menghisap rokoknya.
“Yeah, kurasa kau benar, Aaron, dia cantik. Hati-hati, Lex, kau bisa terpikat dengannya nanti..hahahaha.” Nick tertawa puas lalu Alex memukul pelan bahu sahabatnya itu.
“Ah! Aku ingat, aku pernah satu kelas dengannya, di kelas kalkulus…Dia pintar, namun kurasa perilakunya cukup aneh." ujar Aaron mengerutkan keningnya, berusaha mengingat perilaku aneh Ruby.
"Yup, gadis itu cukup aneh. Aku pernah memergokinya masuk ke pemakaman St. Barnes dan tiduran di sana saat malam hari.” ujar Lucas sambil mengacungkan telunjuknya.
“Hah? Pemakaman? Apa yang dilakukannya disana? Apa dia seorang dukun?” ujar Nick kebingungan.
Lucas mengangkat kedua bahunya, "Entahlah. Dia hanya masuk dan rebahan di atas rumput, diantara kuburan-kuburan itu."
“Ah ya! Ruby juga selalu menggunakan plester di wajahnya, entah kenapa. Ia terlihat seperti preman yang suka berkelahi.” ujar Aaron.
"Wah, kau harus berhati-hati, Alex. Nanti kau kena bogemnya." ujar Nick sambil tertawa keras.
“Oh, I bet she is good at fighting.” ujar Alex sinis, mengingat kejadian tadi siang. Bisa dibilang, Ruby adalah satu-satunya perempuan yang berani memaki dan berkata sinis padanya. Hampir kebanyakan gadis cenderung berlaku genit dan manja kepadanya.
“Haha…and I bet you will fall for her.” ujar Lucas, dibarengi dengan tawa semuanya. Alex mengeleng-geleng kepalanya dan ia pun mendorong Lucas hingga terjungkir dari sofa.