Chapter 25

419 49 0
                                    

hi, semua!
aku lagi suka masukin youtube video :)
pas aku lagi nulis chapter ini, aku sambil dengerin Lovely-nya Billie Eillish feat. Khalid.
semoga suka yaa 🥰

enjoy & happy reading!

----------

Sudah beberapa hari ini Ruby menghilang. Ia tidak ingin bertemu dengan Alex. Tragedi di perpustakaan beberapa hari yang lalu membuatnya hilang arah. Ruby begitu menyukai Alex. Sampai-sampai begitu sakit rasanya hati Ruby ketika melihat lelaki yang ia sukai bermesraan dengan perempuan lain.

Ketika melihat Alex berciuman dengan Bianca, rasanya dinding pertahanan Ruby runtuh. Ia tidak ingin mempercayai apa yang ia lihat, tapi kenyataan berkata lain. Alex tampaknya memang ditakdirkan bersama dengan Bianca sejak awal. Ruby tahu, jika Alex dan dirinya berada di dua dunia berbeda.

Pikiran Ruby kacau balau. Kepalanya dipenuhi asumsi-asumsi dan pertanyaan liar. Apakah Alex mempermainkannya? Apakah Bianca sengaja mengacaukan hubungannya dengan Alex? Apakah sikap Ruby terlalu berlebihan? Ah, semuanya bercampur aduk menjadi satu.

Beberapa hari ini, Ruby pergi tanpa arah tujuan. Ia pun tidak ingin berada dalam jangkauan Alex. Ia ingin menenangkan pikirannya. Namun, kini ia sudah bisa bernafas dengan normal. Membangun kembali benteng pertahanannya sedikit demi sedikit. Memulihkan hatinya yang sakit.

'Aku membutuhkanmu, Austin.' batin Ruby. 

Ruby begitu merindukan kakaknya. Dulu, Austin selalu ada untuknya. Mendengarkan keluh kesahnya. Memberikan solusi untuk setiap masalah yang dihadapi oleh Ruby. Namun, sejak Austin terbaring sakit, Ruby merasa ia hidup  seorang diri. Tidak memiliki bahu untuk bersandar.

Kini, Ruby berada di depan rumah Hendry. Ia hanya ingin bertemu dengan Austin, sebentar saja. Ruby menatap rumah tua bercat putih kusam itu. Ia menghela nafas panjang sebelum melangkah memasuki rumah itu. Ia pun berdiri sejenak di depan pintu kayu berwarna merah marun. Ruby pun memberanikan diri untuk beranjak masuk lebih jauh ke dalam rumah itu. 

Ruby tidak melihat siapapun di ruang keluarga. Ia pun segera melangkah menuju kamar Austin yang terletak di ujung lorong. Ruby melihat kakaknya terbaring lemah di atas kasur. Tubuhnya demam tinggi. Ia harus membawa Austin ke rumah sakit secepatnya. 

"Bertahanlah, Austin. Aku akan membawamu ke rumah sakit." ujar Ruby pelan.

Ruby menyingkap selimut Austin. Meletakkan sebelah lengannya di bahu Ruby. Berusaha untuk mengangkat tubuhnya, namun tampaknya usaha Ruby sia-sia. Tubuh Austin terlalu berat. Ia pun mencobanya sekali lagi. 

"Apa yang kau lakukan, tikus kecil? Mau membawa kakakmu kabur dari sini, huh?" ujar Hendry sambil berdiri di ambang pintu. 

Ruby terkejut bukan kepalang. Ia membaringkan kembali Austin di tempat tidurnya. Ruby pun berusaha menjelaskan keadaan Austin pada Hendry. Berharap ayah tirinya itu bisa mengerti kondisi Austin.

"Austin demam tinggi, Hendry. Kondisinya menurun. Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang juga." ujar Ruby memohon pada Hendry.

"Ke rumah sakit? Tidak ada yang boleh keluar dari rumah ini!" bentak Hendry.

"Aku mohon, Hendry. Biarkan aku membawa Aus…" belum selesai Ruby berbicara, Hendry sudah memukul pipi Ruby dengan punggung tangannya. 

Ruby pun tersungkur di lantai. Pipinya perih bukan main. Ia pun mengusap pipinya yang memar. Bibir Ruby pun ikut berdarah karena pukulan itu cukup keras.

"Apa kau tuli? Aku sudah bilang tidak boleh ada yang keluar dari rumah ini. Apa kau mengerti?" ujar Hendry sambil menendang perut dan wajah Ruby berulang-ulang. 

Ruby berusaha melindungi diri dengan tangannya, namun tendangan Hendry cukup keras sehingga tetap mengenai wajah dan bagian tubuhnya yang lain. Sesekali Hendry mengayunkan pukulannya ke arah tubuh Ruby. Gadis itu pun meronta kesakitan.

"Hendry, tolong hentikan. Aku mohon." ujar Ruby memohon. Ia pun berusaha untuk merangkak keluar kamar, namun Hendry menginjak kakinya dengan sekuat tenaga.

Ruby pun berteriak kesakitan. Ia berkali-kali meringis dan memohon ampun pada Hendry. Namun, tidak diindahkan oleh lelaki paruh baya itu. Hendry tetap menyakitinya. Lelaki itu tampak puas menyiksa Ruby.

"Jangan kau pikir bisa lari dariku, Ruby. Kau pikir kau bisa dengan mudah membawa kakakmu keluar dari sini? Hah! Oh, satu hal lagi, berikan uang warisan ibumu padaku. Jika kau ingin Austin hidup besok!" teriak Hendry.

Hendry menarik rambut Ruby sehingga gadis itu terpaksa berdiri mengikuti arah tarikan, walaupun kakinya terasa sangat sakit. Hendry pun mendorong kepala Ruby ke arah lemari kaca, hingga lemari itu pecah.

"Tidak akan ku...berikan warisan ibuku padamu. Sedikitpun." bisik Ruby lemah.

Mendengar jawaban Ruby yang menolak permintaannya mentah-mentah. Hendry pun melanjutkan siksaannya pada Ruby. Gadis itu tergeletak dan terdiam di lantai. Tiba-tiba, Hendry terjatuh. Ternyata Austin menarik kaki lelaki paruh baya itu sehingga ia tidak bisa berjalan. 

"Lari, Rubs, lari!" teriak Austin lemah.

Ruby menatap kakaknya yang tergeletak di lantai sambil memegang kaki Hendry. Ruby pun berusaha merangkak ke arah pintu keluar dan meraih pegangan pintu itu. Ia pun merangkak menuruni tangga teras dan berusaha berlari.

Ruby bisa mendengar Hendry meneriakinya dari dalam rumah dengan sumpah serapah. Ia pun berusaha berlari walaupun kakinya terasa sakit minta ampun. Ruby tidak berhenti berlari, tidak sekarang.

Gadis itu tidak bisa berpikir jernih saat ini. Ia berusaha menahan sakit di sekujur tubuhnya. Hanya satu hal yang ada di kepalanya saat ini yaitu bertahan hidup dan lari dari siksaan Hendry.

----------

Sore sudah menjelang malam dan matahari mulai terbenam. Hari itu, jalanan cukup sepi. Alex mengendarai Porsche Panamera hitam-nya dengan sedikit liar. Sudah beberapa hari ini Ruby menghilang dari pandangannya.

Alex sudah mencoba menghubungi nomor handphone Ruby untuk kesekian kalinya, namun selalu disambungkan ke kotak pesan. Ia mencoba mencari tahu alamat rumah gadis itu, tapi tidak ada informasi yang jelas. 

Informasi yang ia dapat dari Jake juga tidak terlalu lengkap. Jake hanya mendeskripsikan daerahnya. Seingat Alex, Ruby berjalan kaki menuju St. Barnes. Ada kemungkinan hari gadis itu berjalan dari rumahnya. Alex pun bergegas untuk memutar arah laju mobil sport-nya itu dan segera menuju ke arah pemakaman St. Barnes.

Alex sudah mengitari pemukiman di sekitar pemakaman itu. Ia pun mulai putus asa. Alex merasa ini adalah hal terkonyol yang pernah ia lakukan, mengelilingi kompleks perumahan asing. 

Alex memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah kecil bercat kuning muda, yang terletak tidak jauh dari pemakaman. Ia menyandarkan kepalanya ke headrest jok mobilnya, mencoba merenungi apa yang ia lakukan. 

'Mengapa kau menyiksaku seperti ini, Ruby Maxwell?' batin Alex.

Tampaknya Alex lebih dari sekedar menyukai Ruby. Gadis itu berhasil membuat Alex menjadi gila. Ia tidak bisa tidur dengan lelap sejak kemarin...tidak, bahkan sejak mengenal Ruby. Terlalu banyak momen yang membuat Alex menjadi seseorang yang over-thinking. Ia belum pernah seperti ini sebelumnya. 

Alex menghela nafas panjang dan berat,  lalu mengusap rambut coklatnya. Ia pun memutuskan untuk menghubungi kembali sekali lagi nomor handphone Ruby. Seketika matanya tertuju ke seberang jalan, melihat sosok yang ia kenal sedang berlari-lari kecil dan terjatuh beberapa kali. Sosok berjaket hitam itu nampak susah payah berjalan, namun tetap memaksakan diri. 

Jalanan besar itu tidak terlalu terang. Lampu jalan pun begitu redup. Alex berusaha untuk melihat sosok itu dari kejauhan. Sosok itu tidak terlihat begitu jelas, namun ia yakin sosok itu adalah gadis yang ia cari. Tanpa berpikir panjang, Alex pun membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil. 

"Ruby!!!" teriak Alex.

----------

To be continued

Jangan lupa vote dan comment yaaa
Thank you 💕💕💕

The Stars and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang