Chapter 26

423 54 2
                                    

Nafas Ruby begitu sesak. Kepalanya pusing. Kakinya begitu berat untuk melangkah. Rasanya semua tubuhnya begitu sakit, namun Ruby tak memperdulikan itu semua. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari Hendry.

Satu hal yang terpenting untuknya saat ini, bertahan hidup. Kepala Ruby sakit bukan main. Hanya satu tempat yang terbesit di otaknya saat ini, yakni tempat persembunyiannya, pemakaman St. Barnes. Ruby hanya ingin bersembunyi dari Hendry. Ia khawatir lelaki itu akan menemukannya. 

Hari ini adalah salah satu hari paling buruk bagi Ruby. Hendry tidak pernah menyiksanya separah itu. Tampaknya keinginan Ruby untuk membawa Austin ke rumah sakit adalah pemicu nya. Hendry menjadi liar dan tidak ke kontrol.

Keadaan Austin hari ini juga tidak cukup baik. Badannya kembali demam dan ia hanya ingin membawa Austin ke rumah sakit. Tentu saja Hendry tidak mengizinkannya. Dalam keadaan mabuk dan membabi buta, ayah tiri Ruby itu memukul dan menendangnya tanpa belas kasihan. Ruby sudah memohon ampun namun  Hendry tidak mendengar satu kata pun darinya.
 
Ini bukan pertama kalinya Ruby dipukuli oleh Hendry. Namun bisa dikatakan ini adalah yang terparah. Satu hal yang membuat Ruby terus kembali ke rumah itu, hanya untuk bertemu Austin. Ya, Austin. Jika saja kakak tersayangnya itu tidak menolongnya saat itu, tentu ia masih bisa bekerja dan pergi ke kampus seperti mahasiswa pada umumnya. 

Kenangan itu tak terlupakan oleh Ruby. Sekitar beberapa bulan yang lalu, Ruby baru saja pulang dari kampusnya. Entah apa yang ada dibenak Hendry. Lelaki paruh baya itu memukuli Ruby ketika gadis itu baru saja memasuki rumah. Untung saja ada Austin yang menolongnya. Terjadilah perkelahian antara Austin dan Hendry. Namun, sayangnya, Hendry berhasil memukul kepala Austin menggunakan botol hingga pingsan. 

Sejak saat itu, Austin terbaring di tempat tidur. Kondisinya tidak membaik karena Hendry melarangnya untuk dirawat di rumah sakit. Ia khawatir Ruby akan melaporkannya ke polisi dengan tuduhan tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur. Kesempatan Hendry untuk mendapatkan uang warisan pun bisa gagal.

Akhirnya, Ruby berhasil menjejakkan kakinya di area pemakaman walaupun tertatih-tatih. Ruby mendorong pagar besi pemakaman itu. Ia hanya ingin bersembunyi dari Hendry dan mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Ia tahu lelaki paruh baya itu sedang berusaha mencarinya. Ruby duduk di balik nisan batu yang besar dan berusaha bernafas dengan teratur.

Ruby pun mengusap hidungnya. Darah. Ternyata darah itu mengalir dari hidungnya karena pukulan Hendry. Ia berusaha membersihkan darahnya, namun tidak kunjung berhenti. Pelipis dan bibirnya pun berdarah. 

Ruby kembali mengatur nafanya. Seketika ia merasakan di bagian bawah dadanya sungguh nyeri dan perih. Ruby mengangkat kaosnya dan terlihat ada lebam besar di sana. Ia mencoba meluruskan kakinya agar sakitnya reda, namun terasa sia-sia. Ruby menarik ujung celananya dan melihat kakinya memar. 

Ruby tampak pasrah. Terlalu banyak luka di tubuhnya. Ia tidak akan bertahan jika tidak segera ke rumah sakit. Namun di sisi lain, tubuhnya sudah tidak sanggup bergerak lagi. Lagipula, Ruby khawatir Hendry akan menemukannya.

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki yang bergerak di rerumputan. Ruby berusaha mencari benda tajam di saku jaketnya, namun hasilnya nihil. Ia pun meraih batu di sebelahnya dan bersiap untuk melemparnya pada siapapun yang mendekatinya. 

'Ya, Tuhan...tolong selamatkan aku kali ini.' batin Ruby. 

Suara langkah pun semakin dekat dan Ruby berusaha melemparkan batu yang ia genggam sekuat mungkin. "Pergi! Jangan dekati aku, pergi!" ujar Ruby sambil meringis kesakitan. 

"Ruby? Apakah itu kau? Jeez...apa yang terjadi padamu?" Alex membeku menatap sosok gadis yang tergolek lemah dengan luka di wajah dan sekujur tubuhnya. Bukan pemandangan macam ini yang Alex harapankan setelah beberapa hari ia tidak melihat Ruby. 

The Stars and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang