going to hell

425 40 6
                                    

Ku gunakan dinding hitam sebagai alas rasa sakit.
Hanparan udara dingin sebagai pembalut rasa luka.
Apa aku akan baik-baik saja?

Lilin hitam bersinar dengan kokoh,saat tiupan angin seolah ingin memadamkannya,beberapa kali hewan kecil mulai tertawa,mengiringi langkah setengah nyawa.

Gadis itu dan bayangannya.
Bermodalkan cahaya sang rembulan gadis itu menusuri sesuatu yang sedang di tapakinya,dengan kaki pincang dan sebuah kayu yang membantu pergerakannya.

Tiupan angin kembali menggoyahkan langkahnya,meninggalkan tempat keramat dengan seribu luka,dia dan lilin kecil mulai membawa sebuah jalan tanpa arah,menyusuri setiap asa yang di genggamnya.

Ini terlalu gelap,dengan mata telanjang dan lilin kecil,gadis itu menahan setiap isakan yang mungkin akan membanjiri sudut wajahnya,membopong tubuhnya sendiri sekuat tenaga,hingga detik berikutnya dia terjatuh dan mulai tak berdaya.

Malam yang dingin.
Kedua bola matanya tak henti menatap sesuatu yang indah di angkasa sana,terang namun sangat jauh,gadis itu mencoba menggapai berusaha sekuat tenaga,namun tak ada yang ia dapat,lemah dirinya terlalu lemah.

_

Bunyi dobrakan membuat pria yang sibuk menyalakan rokok menoleh,sedikit kesal namun nafasnya kembali teratur.

"Aku ingin menjemput Nadine,dimana dia?"

Calum hanya mengangkat bahu acuh,menarik rokok dari sudut bibirnya hingga kepulan asap memenuhi ruang tamu.
"Aku tidak tau."

"Hei? Apa-apaan kau Calum! Katakan sebelum aku menghancurkan rumah ini!"
Brian melemparkan tatapan sinis dengan kedua tangan yang sibuk melonggarkan dasi.

"Kau cari di atas atap pun,tidak akan menemukannya."
Calum bersandar,dan mulai menghela nafasnya pelan.

"Lalu kau sesantai ini saat dia menghilang?"
Brian mencoba menormalkan emosi yang siap meledak-ledak.

"Itu lebih baik."
Calum menatap layar besar yang ada di hadapannya,sepuluh menit terakhir di habiskannya dengan menunggu panggilan dari seseorang,tak kuasa menahan rasa gelisah,dia justru mengambil beberapa kotak rokok dan membakarnya tanpa benar-benar menghisapnya sampai tandas.

"Cari dia!"

Calum menoleh,menatap ayahnya tanpa minat.
"Pergilah,aku sedang tidak ingin di ganggu."

"Kenapa kau semakin kurang ajar? Dengar,jika aku menemukannya tak akan ku biarkan kau menemuinya sekalipun kau hampir mati!"

Brian berlalu,tak lupa membanting pintu tanpa ampun,seolah apa yang baru saja di lakukannya benar-benar membuat Calum akan menyesali perkataannya.

Ponsel berdering.
Detik berikutnya hanya rasa ketegangan yang pria itu rasakan,saat usai menerima panggilan .
Ponsel terjatuh menimbulkan bunyi benturan yang tak kalah kuat , wajahnya memucat, seolah menambah kesan dingin yang sibuk di pancarkannya,detik-demi detik ruang tamu telah berubah menjadi kegaduhan saat dengan leluasa dia melempar meja,memporak porandakan sofa,hingga pecahan layar tv sebagai akhir dari aktivitasnya.

"Gadis sialan! Harusnya sudah dari dulu aku membunuh mu!"
Dia berbisik pelan,membawa setiap air mata yang meluncur bebas diantara rahang kokohnya.

Brak!
Lagi-lagi bunyi pecahan dan kegaduhan lah yang ia berikan,memecah belah rumah yang kelewat sepi,dia benar-benar gila,bahkan figuran yang di jaganya bertahun-tahun itu telah hancur bersamaan dengan tubuhnya yang merosot,memeluk diri dengan rasa hampa.

Andai dengan membunuh bisa mengendalikan emosinya,mungkin pria yang sibuk menilai gadis yang terlelap itu akan melakukannya,berapa banyak 10 atau bahkan 20 orang sekalipun,asalkan rasa puasnya dapat tersalurkan.

Bad Cousin  |Selesai• Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang