Zella masih duduk diam di atas ranjangnya, dengan ponsel yang sedari tadi ia pegang dan layar ponselnya yang menyala memperlihatkan room chat dari nomor tidak dikenal tapi gadis itu tau pasti siapa yang mengirimkannya pesan. Ah bahkan hanya satu pesan dan tidak lebih, tapi entah kenapa sedari tadi dirinya terus memperhatikan isi pesan itu. Ia enggan membalasnya tapi senang memperhatikannya.
Pintu kamarnya yang berderit menandakan seseorang mencoba masuk ke dalam kamarnya membuat gadis itu segera mematikan ponselnya lalu menatap seseorang di ambang pintu. Matanya menatap malas orang itu, gadis yang menjadi kakak angkatnya berdiri angkuh di sana kemudian berjalan santai mendekatinya.
"Lo deket sama Elvan?" tanya Shireen cepat.
"Apa urusannya sama lo?" sinis Zella.
Shireen menatap Zella tak suka, "Jauhin dia!"
Zella tertawa ringan, ia berdiri kemudian berjalan memutari tubuh Shireen. Saat tepat berada di depan gadis itu, ia menatap Shireen dari atas sampai bawah.
"Emang lo siapanya dia?"
Zella mengangguk-anggukan kepalanya pelan, "Oh gue tau, lo kan gadis yang terobsesi sama Elvan tapi sayangnya dia gak pernah ngelirik lo kan?"
Shireen mengepalkan tangannya kuat, jika bisa ia sudah menjambak gadis ini sekarang juga.
"Kasihannya kakak gue ini," ejek Zella sambil menepuk-nepuk pundak Shireen namun dengan cepat di tepis oleh gadis itu.
"Lo jangan coba-coba deketin dia ya!"
"Masalahnya ada dimana? Lo kan bukan pacarnya Elvan." Jawaban santai dari Zella mampu membuat bibir Shireen terbungkam.
"Gue suka sama dia," jawab Shireen setelah terdiam selama beberapa menit.
Zella melipat tangannya di depan dada, "Kalau gue juga suka sama dia? Lo mau jauhin dia?"
"Enggak!" jawab Shireen cepat.
"Begitupun dengan gue," ucap Zella dengan senyum miringnya, berusaha meremehkan gadis di depannya itu.
"Lo egois!" desis Shireen pelan, berusaha meredam emosinya agar tidak ketahuan oleh Reno.
"Gue egois?" Zella tertawa kecil kemudian menunjuk meja riasnya, "coba lo jalan kesana terus ngaca, siapa yang egois di sini."
Cukup sudah, kesabaran Shireen telah habis. Ia mencengkram erat kedua bahu Zella. "Jauhin Elvan! Lo gak boleh merebut semua milik gue!"
"Hei aunty, sejak lahir lo gak dikaruniai otak ya? Gue yang merebut atau lo yang jadi perebut? Sadar diri! Benalu gak usah sok tersakiti disini!" sarkas Zella yang tanpa sadar membuat gadis itu semakin emosi.
"Lo jauhin dia atau rahasia keluarga ini gue bongkar?" Shireen tersenyum kala melihat air muka Zella berubah. Ia tau apa yang menjadi kelemahan gadis itu.
Zella mendorong kasar tubuh Shireen, "Lo gak boleh bicara apapun tentang keluarga ini!"
"Kenapa enggak?" tanya Shireen santai.
"Lo mau bikin nama baik Papa semakin buruk?" Zella memalingkan wajahnya, "cukup kelakuan gue yang bikin papa malu."
"Gue rasa kalau berita anak kandung yang diperlakukan kurang baik gak akan begitu merusak nama baik papa, salah lo sendiri yang suka cari masalah," jawab Shireen santai.
"Lo jangan coba-coba lakuin itu!" Zella tidak akan membiarkan gadis itu merusak nama baik papanya, semua ini sudah ia rahasiakan dari dulu sampai-sampai ia mau menuruti perintah Elvan agar laki-laki itu tidak membocorkannya. Lalu gadis gila ini? Dengan mudahnya dia mengancam akan membocorkan hanya karena laki-laki.
"Jauhin Elvan atau semuanya terbongkar."
Sial! Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak mungkin menjauh dari majikannya bukan? Kenapa dia dihadapkan dengan dua manusia yang suka mengancamnya dengan ancaman yang sama?
"Gue gak bisa jauhin dia, tapi gue gak akan suka sama dia," jawab Zella berharap semoga Shireen bisa mengerti.
"Gue bilang jauhin dia!" titah Shireen tak terbantahkan. Pasalnya gadis itu benar-benar yakin kalau mereka berdua terus berdekatan, tidak ada kata tidak mungkin jika tumbuh sebuah rasa diantara mereka.
"Gue gak bisa!" teriak Zella kesal.
Shireen tersenyum saat bisa memancing emosi gadis itu, tiba-tiba Shireen mengacak-acak rambutnya sendiri, bahkan ia sudah mendudukkan dirinya di lantai. Shireen tersenyum kecil dan Zella sangat yakin bahwa gadis itu akan memulai dramanya.
"Lo ngapain sih?" tanya Zella tak santai.
"Ini pelajaran buat lo!"
Shiren mulai memposisikan dirinya kemudian berteriak kesakitan. Sedangkan Zella mulai mendekati gadis itu berusaha untuk menariknya agar mau berdiri. Sesekali matanya menatap takut-takut ke arah pintu kamarnya, ia takut jika Reno akan muncul dari sana.
Shireen masih melancarkan aksinya, bahkan gadis itu mulai berbicara yang tidak-tidak. Zella hanya bisa berharap semoga Reno tidak cukup bodoh hingga mau percaya dengan gadis ular ini. Dan sepertinya, harapannya gagal lagi. Reno sudah berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam yang jelas tertuju ke arahnya.
"Kau apakan kakakmu lagi, Rain?!"
"Rain gak apa-apain dia Pa," ucap Zella berusaha meyakinkan Papanya.
Reno segera menghampiri Shireen yang terduduk di lantai, ia membantu anaknya itu agar berdiri.
"Dia menyakiti kamu lagi?" tanya Reno lembut.
Shireen menganggukkan kepalanya lemah, "Shireen cuma mau mengobrol tapi dia malah jambak Shireen."
Zella membulatkan matanya mendengar jawaban gadis itu, ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat tatapan Reno sekarang tertuju ke arahnya.
"Kenapa kamu terus menyakiti kakakmu?" tanya Reno datar.
"Rain gak lakuin apa-apa Pa, tolong percaya sama Rain," pinta Zella.
Plak
Ringan sekali tangan Reno jika akan menyakiti Zella. Zella sudah menebak ini semua akan terjadi. Ia berusaha kuat, mendongakkan kepalanya walaupun pipinya benar-benar terasa perih.
"Rain gak bohong, Pa. Dia yang bohong," ucap Zella sambil menunjuk wajah Shireen.
Kilatan marah jelas terpancar dari mata Reno. Laki-laki itu mencengkeram rahang Zella kuat.
"Sekali lagi kamu membuat masalah, saya tidak segan-segan mengeluarkan kamu dari rumah ini!"
Reno berjalan mendekati Shireen, kemudian memerintahkan gadis itu agar masuk ke dalam kamarnya.
"Papa mau usir Rain dari sini?" tanya Zella pelan.
Setelah Shireen pergi, Reno menatap mata Zella, "Saya muak melihatmu!"
"Tapi Rain mau disini sama Papa."
"Saya benar-benar kecewa denganmu, dan saya tidak hanya sekedar mengancam."
"Saya juga tidak akan membiarkan seseorang yang sewaktu-waktu bisa menyakiti putri saya tinggal di rumah ini," lanjutnya.
Salahkah jika hati Zella sakit? Seseorang tolong katakan bahwa Zella tidak salah.
"Papa udah dibutakan sama gadis itu, Zella gak seburuk itu Pa," ucap Zella masih berusaha meyakinkan Reno.
"Dari dulu kamu tidak pernah sadar diri."
Reno berbalik lalu melangkah meninggalkan kamar Zella, namun langkah kaki laki-laki paruh baya itu terhenti di ambang pintu.
"Bahkan saya malu mengakui kamu sebagai anak kandung saya."
Setelah mengatakan kalimat itu, Reno sudah hilang dari pandangan Zella. Kalimat yang sekarang terngiang-ngiang di kepalanya. Kalimat yang mungkin tak akan pernah Zella lupakan. Dan malam ini, gadis itu benar-benar pasrah pada hidupnya. Papanya yang menjadi alasannya bertahan tapi sekarang tidak menginginkannya. Haruskah Zella pergi? Bukan pergi dari rumah ini, tapi pergi menyusul mamanya.
^^^
KAMU SEDANG MEMBACA
RAZELLA
Teen FictionLaki-laki itu menyeringai, "Kerjakan atau ...." "Atau apa?" tanya Zella berani. Laki-laki itu melirik sekilas bibir Zella, "Gue cium." Zella tersenyum remeh, ia berani bertaruh bahwa laki-laki ini hanya mengancamnya. Dengan berani ia berjalan ke dep...