23

361K 30.8K 3.4K
                                    

"Apa kamu tidak bisa berhenti membuat saya malu?!" teriak Reno setelah menghempaskan tubuh Zella kasar ketika mereka berdua baru saja menginjakkan kaki pada lantai rumahnya.

Zella hanya menunduk takut, ia tau bahwa Papanya saat ini benar-benar marah kepadanya.

"Rain minta maaf, Pa."

Apa yang harusnya dikatakan oleh Zella selain permintaan maaf? Bahkan ia sangat yakin bahwa Papanya tak akan memberinya kesempatan untuk menjelaskan.

"Saya muak melihat tingkahmu!"

Zella bangkit perlahan-lahan kemudian berdiri tegak dengan mata yang menatap kedua ujung sepatunya,
mencoba tidak takut dengan bentakan Reno yang menggema di rumah besar ini.

"Papa harusnya dengerin penjelasan Rain dulu," lirih Zella takut-takut.

"Penjelasan apa lagi?! Apa kamu mengerti bahwa saya malu dengan semua tingkahmu?!"

"Apa kamu tidak bisa berhenti membuat masalah?!"

Dada Reno naik turun pertanda bahwa ia benar-benar marah dengan Zella. Tangan laki-laki itu bahkan sedari tadi mengepal di samping tubuhnya.

"Saya rasa kamu itu hanya bisa membuat masalah! Saya benar-benar malu punya anak seperti kamu! Bahkan saya yakin almarhum mamamu juga begitu," lanjutnya.

Zella tak bisa lagi menahan dirinya. "Rain begini karena Papa!"

Zella menatap Reno dengan air mata yang sudah berlinang membasahi pipinya, "Rain cuma mau Papa ngertiin Rain sekali aja. Apa semua itu susah buat Papa?"

Plak

Tamparan keras yang mendarat di pipinya membuat gadis itu kembali terjatuh ke lantai. Zella memegangi pipinya yang terasa benar-benar perih, bahkan lebih perih dari yang biasa ia dapatkan. Belum sempat gadis itu berdiri namun Reno memberi beberapa tendangan kasar di tubuhnya.

"Hidup kamu hancur! Saya benci dan malu telah ditakdirkan memiliki anak sepertimu!"

Reno menatap anak perempuannya yang sudah tak berdaya dengan napas terengah-engah. Bahkan beberapa lebam yang terlihat jelas di kulit putih Zella sama sekali tak membuat hatinya tercubit dan merasa bersalah barang sedikitpun.

Sedangkan Zella hanya bisa diam menerima amarah Papanya. Jujur hatinya jauh lebih sakit daripada tubuhnya. Kenapa ia selalu mengecewakan Papanya? Kenapa laki-laki itu selalu mengeluh kecewa? Bahkan hampir tak pernah mengatakan bahwa ia bangga memiliki anak seperti Zella. Ah Zella seharusnya sadar, apa yang bisa dibanggakan dari anak sepertinya?

Mengabaikan rasa nyeri yang menjalar di tubuhnya, Zella bangkit berusaha berdiri. "Rain minta maaf, Pa," pinta Zella pelan, bahkan hampir samar dengan isakan yang tak bisa gadis itu tahan.

Gadis itu menundukkan kepalanya, "Rain tau kalau Rain selalu mengecewakan Papa."

"Rain tau kalau Rain itu anak yang gak berguna dan selalu membuat Papa malu."

Zella menatap mata Reno kemudian menghapus kasar air matanya walau semua itu percuma karena lagi-lagi air matanya turun tanpa diperintah.

"Tapi yang Rain pengen cuma kasih sayang dari Papa. Rain udah gak bisa dapetin kasih sayang dari mama lagi."

"Rain cuma punya Papa, orang satu-satunya yang bisa Rain harapkan," ucapnya terisak.

Zella berjalan pelan berusaha mendekati Reno yang masih terdiam di tempatnya.

"Papa selalu kasar sama Rain, tapi Rain terima semuanya. Itu semua karena Rain sayang sama Papa."

"Dan Rain juga gak pernah ingin punya kehidupan yang hancur seperti ini," ucapnya serak.

Belum sempat ia bisa merengkuh tubuh Papanya tapi ia kembali jatuh ke lantai akibat dorongan kasar Reno.

Prangg

Zella memejamkan matanya kala guci antik yang berada di dekat Reno pecah begitu saja akibat tendangan laki-laki itu.

"Jangan pernah dekati saya, anak sialan!"

Zella menunduk menahan sesak dalam hatinya, "Apa Rain bener-bener udah gak berarti lagi bagi Papa?"

Reno menatap Zella tajam, "Saya yakin kamu pasti tau jawabannya."

"Cepat kemasi barang-barangmu!"

"Papa beneran mau usir Rain dari sini?" tanya Zella tak percaya.

"Kenapa tidak? Saya sudah mengatakan tentang ini sebelumnya. Kamu hanya akan saya pindahkan ke rumah yang lain," jawab Reno datar.

"Tapi kenapa, Pa?"

"Karena saya tidak bisa tinggal dengan anak seperti kamu!"

Zella menatap mata Reno lemah, "Tapi Rain gak mau, Pa."

Plak

Rasa sakit yang sebelumnya bahkan belum hilang tapi sekarang kembali ia dapatkan rasa sakit yang sama. Kenapa Reno tidak membunuh Zella saja? Zella tak akan marah jika harus mati di tangan ayahnya sendiri.

"Jangan pernah membantah!"

Tanpa rasa bersalah laki-laki paruh baya itu pergi meninggalkan Zella.

"Rain mau tinggal disini sama Papa," ucap Zella yang kini sudah memeluk kaki Reno.

"Rain mohon Pa," pinta Zella.

"Saya tidak akan berubah pikiran!" Dengan kasar laki-laki itu meghentakkan kakinya sehingga lagi-lagi Zella terjatuh.

Gadis itu hanya bisa terisak menatap Papanya yang kini melangkah ke lantai atas. Bukan hal seperti ini yang ia inginkan. Tapi apa yang bisa ia perbuat?

Zella berusaha bangkit dari posisinya walaupun jujur tubuhnya terasa sangat sakit. Ia berjalan lemah menuju kamarnya untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Papanya tadi. Sepertinya ia sudah tak punya harapan lagi.

^^^

Zella menutup pintu utama rumah barunya. Matanya menatap sekeliling rumah yang terlihat benar-benar sepi. Rumah ini memang terlihat besar jika hanya ditinggali oleh dirinya sendiri. Ia sama sekali tak mempermasalahkan ukuran, tapi ia jauh lebih senang tinggal bersama papanya walau selalu diperlakukan kasar. Dipikirannya sama sekali tak terbesit jika akan berakhir disini.

Tubuhnya luruh terduduk di lantai dan bersandar pada pintu kayu di belakangnya. Air matanya kembali jatuh begitu saja, mengingat bagaimana papanya mengantarkannya kesini kemudian meninggalkannya begitu saja. Kenapa tak ada rasa bersalah dan kasihan yang terbesit dalam hati laki-laki itu? Tak ada perlakuan manis layaknya seorang ayah kepada anaknya.

Zella menatap bingkai foto yang sedari tadi berada di pelukannya. Senyum menenangkan mamanya membuat hatinya semakin sakit.

"Rain gagal, ma."

"Rain gak bisa jaga Papa seperti yang mama minta."

Gadis itu mati-matian berusaha menahan isakannya, "Rain minta maaf sudah menjadi anak yang memalukan sama seperti yang sering papa katakan."

Zella benar-benar rapuh, ia memeluk kedua lututnya yang tertekuk kemudian terisak menahan sesak di dalam hatinya. Ia tak pernah merasa sehancur ini.

"Rain bener-bener minta maaf."

Apa arti keluarga yang sesungguhnya? Tempat melepaskan keluh kesah? Tempat ternyaman untuk berpulang? Bahkan Zella tidak lagi merasakannya. Kehangatan keluarga yang sering Zella lihat dari orang lain sepertinya tidak berlaku pada hidupnya. Rasanya hari ini semuanya benar-benar hancur. Detik ini, Zella benar-benar merasa sendirian.

^^^

Part ini bikin kalian nangis-nangis jungkir balik? Atau malah bikin kalian geram setengah mati? Atau tidak untuk keduanya?

RAZELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang