Zella berlari tak tentu arah, gadis itu terus menangis dan tak tau harus kemana. Yang ada dipikirannya saat ini hanya bagaimana caranya pergi dari tempat itu. Bahkan Zella benar-benar tak peduli jika orang-orang yang melihatnya akan mengatainya aneh atau gila.
"Kenapa sulit banget buat benci dia?" isak Zella yang kini duduk di pinggir trotoar.
Tujuannya pergi dari sekolah bukan hanya karena malas dengan ocehan siswa/siswi di sekolahnya. Tujuan lainnya adalah ia tak bisa jika harus terus menatap wajah Elvan. Ingin sekali rasanya benci, tapi sepertinya hatinya berkata lain.
"Kenapa nangis?"
Zella mendongakkan kepalanya dan menemukan seorang laki-laki berseragam berbeda dengan yang ia kenakan. Dari seragamnya, Zella yakin bahwa laki-laki ini bersekolah di SMA Harapan Bangsa.
"Hei! Lo bisa denger gue kan?" tanya laki-laki itu sekali lagi dengan tangan yang ia lambai-lambaikan di depan wajah Zella.
Zella tak suka dengan orang baru, ia selalu bersiap cuek dengan orang yang baru ditemuinya. Dan Zella yakin bahwa laki-laki ini masuk dalam tipe badboy. Terbukti dari penampilannya yang urakan dan untuk apa lagi ia berkeliaran di luar selain membolos karena jam pembelajaran untuk sekolah harusnya masih berlangsung.
"Kenapa nangis?" tanya laki-laki itu untuk yang kesekian kalinya.
"Bukan urusan lo!"
"Galak banget," gumam laki-laki itu pelan.
"Lo lagi ada masalah ya?" tanya laki-laki itu mencoba berbasa-basi.
Zella melirik malas laki-laki yang kini mendudukkan diri di sebelahnya, "Berhenti berusaha mencampuri kehidupan orang lain, mending lo pergi!"
"Gue mau di sini aja," jawab laki-laki itu dengan senyum kecilnya.
Malas berurusan dengan laki-laki itu, Zella bangkit dan berjalan pelan meninggalkan laki-laki asing itu.
"Sebentar dulu!" Laki-laki itu tiba-tiba menarik tangan Zella sehingga membuat Zella menghentikan langkahnya.
Zella berdecak kesal, "Jangan sentuh gue!"
"Nih!"
Zella mengerutkan keningnya bingung saat sebungkus tissue tersodor di depannya.
"Nangis aja sepuasnya kalau itu bisa bikin lo sedikit lebih tenang," ucap laki-laki itu kemudian memaksa tangan Zella agar menggenggam tissue itu.
"Tapi ingat, jangan kebanyakan nangis. Coba lo senyum, pasti makin cantik," lanjutnya.
Malas dengan ucapan laki-laki itu, Zella segera meninggalkannya tanpa ucapan terima kasih yang terlontar dari mulutnya.
Satu jam berjalan, Zella akhirnya sampai pada tempat dimana Elvan dulu pernah memberinya setangkai bunga tulip biru kepadanya. Ia kesini karena ingin sedikit memenangkan pikirannya, ia rasa tempat ini adalah tempat yang cocok. Zella duduk bersandar pada sebuah batang pohon tua.
"Gue harus gimana?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Tanpa diperintah air matanya luruh begitu saja. Semuanya terasa begitu menyakitkan, apalagi bayangan-bayangan rentetan masalah yang tak ada habisnya selalu menghampirinya. Bahkan saat ini, orang yang sangat-sangat ia percaya dan mulai ia cintai ternyata juga sama-sama menambah luka dihatinya.
"Kenapa semua orang gak bisa bersikap baik sama gue?"
Zella mulai memukul-mukul kepalanya sendiri. Ia benar-benar benci kehidupannya, bahkan ia membenci dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAZELLA
Teen FictionLaki-laki itu menyeringai, "Kerjakan atau ...." "Atau apa?" tanya Zella berani. Laki-laki itu melirik sekilas bibir Zella, "Gue cium." Zella tersenyum remeh, ia berani bertaruh bahwa laki-laki ini hanya mengancamnya. Dengan berani ia berjalan ke dep...