"Kamu tiap hari kerjaannya rapat, ninjau berkas, dan ketemu klien. Lagi sama aku pun kamu kerjaannya bales email. Aku gak lebih berguna dari jepitan dasi kamu, Art."
Mulut Arthur terbuka ketika pria itu melepaskan pandangan dari ponselnya, mencoba membantah sebelum menyadari apa yang dikatakan Resa itu benar. Ia tidak punya cukup data untuk membela diri atapun menyanggah, jadi mulutnya hanya dikatupkan kembali. Mata cokelatnya melirik arloji di tangan, Arthur harus segera kembali ke kantor karena ada conference call dengan kakeknya sore ini. "Jadi, maunya gimana?"
"Aku ...." Wanita di depannya terdiam, mungkin memikirkan perkataan Arthur.
Ketika air mata mulai menuruni wajah Resa satu per satu, Arthur hanya bisa mengerjap. Ia tidak paham apa yang baru saja terjadi, berpikir jika dirinya salah bicara. "Aku kecewa, kamu bahkan gak coba nyanggah!"
Tuh, kan, bener.
"Resa—"
"Kalau kamu gak mau coba buat luangin waktu lebih banyak untuk hubungan ini, kita putus!"
Di pikirannya tergambar permainan baseball dengan dirinya sebagai pemukul dan seorang juri lapangan berteriak lantang.
Strike three! Batter, out!
Pasalnya, sudah tiga kali dalam satu tahun ini Arthur diputuskan karena kesibukannya. Sasa, Karin, dan—sekarang—Resa. Bahkan sebelum ia sempat mengenalkan mereka pada ibunya, Alta. Lupakan rencananya untuk menikah sebelum umurnya beranjak dari 30, jika terus seperti ini, Arthur tidak akan menikah bahkan hingga usia 35.
Tidak ingin lebih banyak membuang waktu, Arthur berdiri sembari mengeluarkan dompet dari saku celana. Wanita di hadapannya hanya termenung, air matanya tampak berhenti untuk beberapa saat. Ketika Arthur mencari kartu kredit milikmya untuk membayar makan siang mereka, Resa menyalak, "Kamu mau ke mana? Kita lagi bicara serius!"
"Katanya putus, kan? Ya, udah, selesai," ujar Arthur akhirnya setelah berhasil menemukan kartu yang dicarinya dan beranjak menuju kasir. Panggilan Resa tidak dihiraukannya, ia tidak membicarakan apa-apa lagi selain memberi tahu wanita itu bahwa Arthur sudah memesankan taksi untuknya.
Sakit hati? Tentu. Arthur kembali mengingat pertemuannya dengan Resa ketika ponsel wanita ceroboh itu tertinggal di meja samping tempatnya menunggu klien. Mereka tersenyum, mereka berkenalan, berujung pernyataan rasa suka Arthur setelah tiga bulan berkenalan.
"Kamu gak berusaha lagi setelah dapet," sambut Rubi ketika menaruh dokumen untuk bahan rapat di atas meja Arthur, seakan bisa membaca pikiran pria itu. Arthur yang sedang melamun sejak beberapa menit lalu menatap wanita yang berdiri di hadapannya dengan mata yang menyipit. "Kamu aja yang aku bawa ke Mama."
Mendengar itu, Rubi hanya bisa berkacak pinggang, tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Rambutnya, yang sangat lurus dipotong sebahu, bergerak pelan mengingatkan Arthur pada Presiden Coin dalam film The Mockingjay. "Mama suka sama kamu dan kamu gak pernah ribut kalau aku banyak kerjaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jam Tangan Milik Arthur ✔
RomanceSemenjak kematian sang ayah tahun lalu, Arthur meninggalkan sekolah doktornya di London dan berkutat dalam keseharian sebagai penerus perusahaan milik kakeknya, Riezky Syah. Didahului oleh salah satu adik kembar ke pelaminan, Arthur membuat ibunya k...