Bab 9

2.4K 353 10
                                    

Haloo, gaiss. Aku nggak jadi hiatus hahaha. Baiklah selamat membaca chapter baru ini. Semoga menghibur.

Btw ini muka Akar pas lagi galak, tetep ganteng haha

Btw ini muka Akar pas lagi galak, tetep ganteng haha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

Ruangan meeting itu tiba-tiba sehening di kuburan. Tidak ada yang berani berkomentar melihat mata Bu Dewa membesar nyalang. Solar tengah menggali kuburannya sendiri, dan ia tidak menyadari akan hal itu.

Solar keheranan saat menyadari tidak ada yang menanggapi pernyataannya itu. Apakah ia ada salah berkata? Ia berpikir berpendapat adalah hak setiap orang, jadi ia keluarkan saja apa yang ada di hatinya.

"Kenapa kamu pikir novel ini nggak layak disinetronkan?" suara Bu Dewa bagai suara monster yang tengah meraum-meraum kencang di tengah kota yang diserangnya.

"Menurut saya ceritanya udah terlalu umum. Nggak ada menariknya," jawab Solar sembali melirik rekan-rekannya yang masih membisu.

Mas Jamal sampai menggeleng karena jawaban Solar yang terdengar kurang logis. Sedangkan untuk mempertahankan pendapat pada Bu Dewa, logis saja tidak cukup, mereka juga harus mampu menggerakkan hati bosnya. Dan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Bu Dewa benar-benar emosi. Ia pun memberikan tugas yang sulit pada Solar. "Kalau gitu coba kamu tulis satu novel dari idemu sendiri. Kita lihat apa kamu mampu menyelesaikan novel itu atau nggak."

Solar melongo. Ia langsung ngeri mendengar tugas itu. Mereka kan tugasnya mengedit naskah sinetron dan mencari ide. Menulis novel membutuhkan kemampuan lain, dan tentu tidak akan selesai dalam sekejap.

Tiba-tiba saja Mas Jamal angkat tangan. "Maaf, Mbak. Nanti Solar saya kasih pengertian deh. Dia masih baru di sini, jadi ya, mohon dimaklumi, Mbak."

Bu Dewa melirik tajam Mas Jamal, ia tetap pada pendiriannya. Ia mengucapkannya setengah mengancam ke Solar. "Pokoknya saya tunggu novel yang kamu tulis. Selamanya juga bakal saya tunggu."

Nimas meringis mendengar suara Bu Dewa yang begitu dingin.

"Ya, sudah. Meeting kali ini selesai. Tugas kalian tetap bikin sinopsis dan cari penulis novel ini. Saya nggak kasih kalian deadline, tapi kalian jangan santai ya. Kalian boleh lanjut kerja," Bu Dewa keluar lebih dulu dari ruangan.

Sementara Solar masih melongo karena tidak percaya ia malah membuat masalah baru. "Gimana caranya gue nulis novel?"

Mas Jamal kemudian menghampiri Solar. "Pertamax, nanti gue harus ngomong sama lo ya pas istirahat. Gue mau nyampein pesan dari Surya."

Dahi Solar mengerut. Hanya saja, ia mengangguk ketika mendengar nama Mas Surya disebut. Sudah pasti Mas Jamal ingin menyampaikan hal penting. Lalu, ia berjengit saat sebuah buku terlempar di depannya. Ia langsung menoleh pada si tersangka. Siapa lagi kalau bukan Akar. "Kenapa lo, Kar?"

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang