Haloo, ini update terakhirku sebelum hiatus 2 minggu. Jadi, Insya Allah kukembali tanggal 14 November.
Selamat membacaaa
.
.Solar tiba di kantor paling awal. Ia terkejut saat melihat foto-fotonya di pembatas sekat hilang. Hatinya berubah tidak keruan. Siapa orang yang menyingkirkannya? Padahal yang lain juga menempelkan berbagai macam catatan, foto, dan benda-benda lain di pembatas mereka masing-masing. Ia memutuskan akan memberikan perhitungan pada orang tersebut.
Kemudian Nimas tiba bersama Jo.
Jo yang paling terlihat senang dengan kehadiran Solar. "Mantap, Solar. Makin pagi aja datangnya."
"Kalian juga. Tumben barengan," Solar tentu menyadarinya.
"Gue habis nemenin Mbak Nim dari puskesmas."
Solar melihat keadaan Nimas. "Lo sakit apa, Nim?"
Jo mengibaskan tangannya. "Jangan diajak ngomong dulu. Lagi sakit gigi." Ia langsung merangkul Solar. "Yok, temenin gue ke depan. Gue mau beli cilor."
Fokus Solar masih ada pada Nimas. "Nimas, lo mau nitip cilor nggak?"
Nimas menggeleng tanpa mengutarakan apa-apa. Giginya benar-benar sedang ngilu.
Solar pun berusaha mengerti. Ia biarkan saja Jo membawanya pergi.
.
.
Jo sedang menunggu ibu penjual cilor memasak pesanannya. Ia memperhatikan Solar yang memasang wajah sendu. "Lo kenapa?"
Solar tersenyum tipis. "Lo selalu jadi orang pertama yang sadar kalau gue lagi badmood."
Jo punya alasan tersendiri kenapa mudah mengetahuinya. "Mungkin karena gue terlalu sering merhatiin lo."
Mata Solar seketika berbinar. "Ah, gombal lo," ujarnya sedikit terpingkal. Wajahnya seketika berubah sendu kembali. "Foto-foto sama piagam gue di pembatas hilang."
Jo baru tahu soal itu, dan memasang raut keheranan. "Masa? Semalem masih ada kok."
Solar sudah mengantongi pelakunya. "Paling Bude yang nyingkirin."
Jo punya pendapat yang berbeda. "Belum tentu, Solar. Bude memang suka seenaknya, tapi dia nggak pernah nyentuh barang-barang yang kami punya. Kalau dia kesel, harusnya dari dulu dia cabut piagam dan foto-foto itu."
Kalau bukan Bu Dewa, siapa lagi? Apa Ratu? Namun, apa alasannya? Ia lalu menyadari kalau mereka akhir-akhir ini jarang bersama. "Kemarin kalian makan malem bareng nggak?"
Jo memasang raut sedih. "Nggak. Gue juga baru nyadar kita jarang makan malam bareng sejak Mas Surya resign."
Ada hal lain yang sebenarnya cukup menarik perhatian Solar. "Ratu juga jarang ikut. Pas kita makan siang, dia lebih milih nitip makanan ke Mas Jamal, sampai Mas Jamal jengkel."
Jo paling tidak senang jika ada yang membahas Ratu. "Suka-suka Ratu deh. Emang lebih bagus kalau dia nggak ikut. Dia udah beda. Pengikut setia Bude."
Solar belum tahu masalah Jo dan Ratu yang sepertinya sulit diperbaiki. Ia akan menunggu sampai Jo siap menceritakannya. Lalu, ia teringat percakapannya kemarin dengan Ratu. Sebenarnya Ratu tidak sepenuhnya salah memilih mematuhi Bu Dewa. Masing-masing orang di ruangan itu punya tujuan yang berbeda. Dan Ratu memilih jalan itu. "Menurut gue wajar sih Ratu milih mengabdi ke Bu Dewa. Siapa sih yang nggak seneng udah jadi supervisor di umur dua puluh enam tahun?"
Jo mengoreksi Solar. "Alasan utama kenapa Bude angkat Ratu jadi supervisor karena memang nggak ada pilihan lain. Posisi supervisor itu nggak bisa kosong lama. Jadi, daripada harus cari di luar, Bude milih orang dari dalam. Ratu memang punya pengalaman lebih lama dari kita semua, tapi pengendalian emosinya nol besar. Buktinya lo kena omelan dia terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]
General FictionEND [TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA] . . Gimana rasanya punya bos yang kalau kita bikin kesalahan dikit, langsung minta kita resign? Solar (28) awalnya terkejut, baru sehari bekerja di divisi Creative production house yang memproduksi sinetron itu, i...