Bab 24 (Part 2)

1.6K 317 29
                                    

Selamat Tahun Baru 1442 H. Selamat liburan gaiss. Banyak banget hari liburnya minggu ini wkwkw. Ya udah aku update lagi. Makasih buat para pembaca yang udah nyediain waktu baca ceritaku ini.

Selamat membaca yaakk

.

.

Meeting kali ini ada karena aduan yang dilayangkan Mas Surya tentang Bu Dewa ke Pak Bakar. Ia menepati janjinya untuk membawa masalah Bu Dewa di forum manager/supervisor yang dihadiri juga oleh CEO Cahaya Gemilang itu. Secara mengejutkan Pak Bakar bersedia menjadi penengah antara creative dan Bu Dewa. Pasalnya masalah creative dengan Bu Dewa itu menumpuk. Mereka terlalu sering berkonflik.

Padahal antara atasan dan bawahan itu perlu kerja sama yang bersinergi. Anak buah memang tidak boleh seenaknya, apalagi bos yang punya jabatan lebih tinggi. Bu Dewa terlalu sering membuat aturan sendiri di luar aturan perusahaan.

Mas Surya mencoba sekali lagi untuk menyampaikan suaranya agar junior-juniornya tidak makan hati terus.

Pak Bakar yang membuka meeting itu. "Siang, semua. Maaf ya ganggu kalian yang lagi kerja. Saya cuma ingin mencoba menyelesaikan masalah kalian dengan Dewa. Jadi, silakan bicara jujur, tapi dalam batas koridor kesopanan. Jangan ada permusuhan di antara kita."

Dari cara bicaranya, Solar beranggapan Pak Bakar adalah sosok yang bijak, tapi ia tahu Bu Dewa akrab dengan CEO itu, jadi ia tidak bisa berharap apa-apa darinya.

Pak Bakar kembali bicara. "Jadi, kemarin Surya menyampaikan pada saya tentang Dewa yang main mengakui pekerjaan anak buahnya sendiri tanpa adanya persetujuan." Ia kemudian menghadap Bu Dewa. "Benar kejadiannya kayak gitu, Dewa?"

Bu Dewa memasang wajah tanpa ekspresi. "Saya kira Bu Lia nggak akan inget sinopsis itu siapa yang nulis. Sinopsisnya saja masih harus diperbaiki. Jadi, dibawa santai aja lah. Bukan masalah yang harus dibesar-besarkan."

Creative terdiam mendengar pembelaan Bu Dewa yang memuakkan.

Solar melirik Pak Bakar yang tidak bereaksi apa-apa dengan ucapan Bu Dewa yang menurutnya sudah keterlaluan itu. Ia sudah menduganya bakal begini. Bu Dewa malah semakin berani karena pendukung besarnya ada di sini. Kesombongannya memang tidak ada yang menyaingi. Mereka sampai tidak tahu harus berkata apa untuk membalasnya. Sekarang yang tidak sopan itu siapa?

Mas Surya sudah menebak Bu Dewa tidak akan sudi mengakui kesalahannya, tapi ia punya gertakan lain. "Mbak Dewa masih sering ngancam kita resign, Pak. Gara-gara itu flow kerja creative nggak stabil karena karyawannya terlalu sering keluar-masuk. Bapak nggak masalah kayak gitu?"

"Saya akui creative paling sering mengalami pergantian karyawan di masa kepemimpinan Dewa." Pak Bakar kemudian menepuk bahu Bu Dewa untuk memberikannya kesempatan. "Ngomong dong, Dewa. Kenapa kamu sering ancam mereka resign?"

Jo menahan diri agar tidak mengeluarkan kata-kata makian. Kenapa Pak Bakar malah melemparnya balik pada Bu Dewa? Harusnya CEO itu langsung berkata tegas bahwa Bu Dewa tidak seharusnya sembarangan mengancam orang untuk resign, terutama di kesalahan-kesalahan yang bisa didiskusikan secara baik-baik.

"Saya punya alasan yang kuat kok. Solar nggak angkat panggilan saya dua puluh kali, itu namanya mangkir dari tanggung jawab. Lalu, Jo yang baru datang ke kantor pukul dua siang, kenapa dia nggak ngabarin saya dia begadang gara-gara kerjaan? Kemarin ada lagi Akar yang petantang-petenteng nantangin saya, nggak ada sopan santunnya. Jadi, saya cukup far kan?"

"Far?" Mas Surya lantas tertawa. "Maksudnya fair kali, muke lu jauh!"

Creative berusaha menahan tawa. Di saat yang tegang seperti ini Bu Dewa tanpa sengaja menunjukkan kekurangannya.

Mas Jamal kemudian angkat bicara. "Mbak, maaf ngomongnya nggak usah pakai bahasa Inggris. Soalnya saya nggak ngerti."

Solar menggigit bibirnya kuat-kuat karena peres-an Mas Jamal yang tepat sasaran. Merendah, tapi untuk menjatuhkan. Suatu saat mungkin Solar akan mempraktikannya pada orang yang pantas mendapatkannya.

Mas Surya menyampaikan pendapatnya kembali. "Menurut saya Mbak Dewa berlebihan. Masa datang siang aja nggak boleh? Naskah dari penulis baru dikirim ke kami pas malam hari. Terus kami begadang sampai pagi, kerja dua puluh empat jam. Kalau aturannya seenaknya begitu kami juga bakal habis, Pak. Kami ini bukan robot."

Bu Dewa tidak mau kalah. "Kalian tinggal laporan ke saya kalau baru tidur pagi. Saya bakal izinin kalian datang paling lama jam satu siang. Nggak repot, kan? Saya nggak tahu kalian lagi ngerjain apa. Jadi, komunikatif dikit lah."

Mas Surya kembali melontarkan kalimat-kalimat menusuknya. "Jam satu siang itu nggak cukup kalau anak-anak buah lo baru tidur jam delapan pagi! Udah keseringan kayak begini! Lo yang harusnya lebih komunikatif. Lo yang mimpin kami. Kenapa kami harus laporan ke lo terus? Lo nggak pernah nanya ke kami lagi ngerjain apa. Lo nggak pernah tahu progres kerja kami, padahal lo ada di ruangan yang sama!"

Bu Dewa terlihat shock sampai bibirnya jadi kelu.

Sementara itu Pak Bakar hanya menggeleng. Ia menepuk beberapa kali bahu Bu Dewa. "Tuh, Dewa. Coba kamu deket sama bawahan-bawahanmu, jadinya mereka juga bakal respek ke kamu."

Entah kenapa nasihat Pak Bakar itu tidak nendang. Seperti seorang ayah yang sedang memberikan wejangan pada anaknya sendiri. Padahal Mas Surya mengharapkan ketegasan dari Pak Bakar.

"Gitu doang, Pak?" Kesabaran Mas Surya mulai terkikis.

"Menurut saya, Dewa punya alasan yang kuat membuat aturan-aturan yang ketat. Kalian jangan terlalu baper lah. Dewa orangnya memang nggak gampang akrab sama orang lain, tolong lah ngertiin bos kalian. Dewa masih mending lho, saya yakin di luar sana ada banyak bos yang lebih semena-mena," Pak Bakar mengeluarkan pernyataan yang menyayat hati seluruh creative.

Jangan baper. Padahal kalau lagi baper Bu Dewa tidak segan menyuruh anak buahnya membuat surat pernyataan.

Diminta mengerti perilaku Bu Dewa yang tidak mudah akrab dengan orang lain.

Dan katanya masih banyak bos yang lebih buruk dibandingkan Bu Dewa.

Mas Surya hanya mampu menggeleng karena pembelaan Pak Bakar terhadap Bu Dewa sudah tidak masuk diakal. Padahal ia sudah berusaha menyebutkan segala kekeliruan yang dilakukan atasannya itu. Kesabarannya habis sudah. "Saya memang salah bawa masalah ini ke Bapak. Harusnya saya bisa nebak Bapak nggak akan pernah nyingkirin Dewa."

Pak Bakar menghela napas panjang. Ia berusaha bersabar menghadapi Mas Surya yang mulai berapi-api. "Memangnya kamu mau saya gimana, Surya?"

"Ganti head creative, Pak!"

Pak Bakar tersenyum lembut. "Surya, cari head kompeten untuk creative itu susah."

"Susah apanya? Bapak bisa ketemu sama Dewa karena dia anaknya teman baik Bapak! Yang susah itu cari head yang nggak banyak gaya kayak Dewa!" Mas Surya sengaja memanggilnya Dewa karena inilah saat yang tepat.

"Surya, jangan memancing saya," Pak Bakar memberikan peringatan keras.

Diomeli seperti itu, Mas Surya tidak menahan dirinya lagi. "Emang bullshit banget ini kantor."

"Surya, ngomong yang sopan!" Pak Bakar pun ikut tersulut emosinya

"Gimana saya bisa ngomong sopan, kalau Bapak ngebela Dewa terus!"

Mas Jamal berusaha menenangkan Mas Surya dengan mengguncang bahunya. Tim creative yang lain masih terdiam karena terlampau kaget.

"PH ini nggak akan pernah bener selama Dewa yang jadi head creative." Mas Surya mengeluarkan secarik kertas, lalu melemparkannya dengan kasar ke meja. "Gue ngajuin resign."

Keputusan Mas Surya itu bagai mimpi buruk untuk tim creative. Terutama Solar yang tidak menyangka ia akan menangis kembali setelah susah payah berhasil menghentikannya.

Yah begitulah, setiap kantor punya dramanya sendiri. Yang bertahan lama biasanya hanya mereka yang merasa dihargai dengan baik. Yang tikus juga akan tetap bertahan karena punya pendukung besar yang duduk di atas panggung.

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang